Rabu, 28 Mei 2008

Melihat Kapitalisme di Dalam Islam Indonesia

Jika Kristen punya etika protestan yang menjadi spirit kapitalisme di Eropa barat sebagaimana yang diketemukan Max Weber dalam The Protestant Ethics And The Spirit of Capitalism (1937), maka Islam juga punya etos bisnis yang bahkan menurut Perter L Bernstein, mengungguli etos bisnis bangsa manapun di dunia ini (The Power of Gold, John Wiley and Sons, 2000).By nature dan by teaching, Islam sangat mendorong entrepreneurship. Islam adalah agama kaum pedagang. Lahir di kota dagang, dan disebarkan ke nusantara oleh kaum pedagang. Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara. Tidak berlebihan karenanya bila dikatakan bahwa etos entrepreneurship sudah melekat dan inheren dengan diri umat Islam. Islam mengangkat derajat kaum pedagang sehingga profesi ini yang pertama mendapat kehormatan untuk membayar zakat.
Sejarah penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia, sampai abad ke-13 M dilakukan oleh para pedagang muslim. Hal ini menjadi bukti lain bahwa etos bisnis (dagang) kaum muslim sangat tinggi, yang menyeruak hingga mancanegara. Termasuk keberadaan Islam di Indonesia. Adalah para pedagang yang membawa dan menyebarluaskannya. Selain ilmu agama, mereka juga mewariskan keahlian berdagang ke masyarakat, khususnya di kalangan masyarakat pesisir.
Dalam Peddlers and Princes (1963), Clifford Greetz menyatakan bahwa di kalangan pribumi kepeloporan di bidang perdagangan berada di tangan para santri. Pedagang dan pengusaha di Mojokuto, selain orang Cina, pastilah santri reformis. Di luar perusahaan-perusahaan yang dimiliki Cina, semuanya adalah milik orang Islam reformis atau yang terpengaruh oleh gagasan reformisme Islam. Pada bagialn lain dari penelitiannya pada 1950-an itu, Greetz menjelaskan bahwa reformisme dan puritanisme Islam merupakan doktrin bagi hampir semua pengusaha dan entrepreneur di sana. Watak kehidupan puritan yang asketik ini mengajarkan kesalehan yang paling tinggi ialah selain iman itu sendiri, seseorang yang sudah beriman harus banyak beramal saleh. Sebuah dorongan yang dalam istilah Weberian disebut religious calling.
Kuntowijoyo dalam penelitiannya mengenai para pengusaha kerajinan besi di Batur, Klaten, juga melihat adanya hubungan yang erat antara kehidupan keagamaan para santri dan perilaku kewirausahaan mereka. Puritanisme Islam, di samping menganut sikap hidup asketisme, juga memiliki doktrin mewajibkan para pengikutnya untuk lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam usaha ekonomi. Bekerja dianggap sebagai makna yang sebenarnya dari Al-Quran dan hadis. Tidak hanya itu, semangat kapitalisme sempat menjadikan penyokong bagi kongsi-kongsi Islam dari orang-orang Melayu di Aceh, dari orang-orang Palembang, dan juga etnis Bugis di Sulawesi. Organisasi pergerakan Sarekat Dagang Islam, adalah salah satu bukti bahwa semangat kapitalisme umat Islam ikut mendorong terjadinya perubahan ekonomi, social, dan politik bangsa ini.

Sementara itu organisasi massa Islam yang sampai sekarang masih eksis seperti Muhammadiyah tidak lain sesungguhnya didirikan oleh para saudagar santri dan para pedagang di kota-kota. Sejarah Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan bangkitnya kekuatan ekonomi para saudagar, seperti pengusaha tekstil atau tenun di Pekajangan, Pekalongan, dan yang ada di daerah Laweyan, Surakarta.
Demikian pula Nahdlatul Ulama (NU), yang sejatinya didahului dengan gerakan organisasi Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang). Menurut peneliti NU, Martin van Bruinessen, orientasi bisnis NU itu juga dipengaruhi oleh visi Sarikat Islam (SI). Wahab Chasbullah penggerak penting NU, pernah terlibat di SI sejak masih belajar di Mekkah. Komposisi pengurus NU periode pertama merupakan kolaborasi ulama (di Syuriah) dan pengusaha (di Tanfidziyah).
Sejarah panjang Islam di Indonesia menunjukkan adanya potensi umat Islam untuk memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian bangsa. Saat ini, ketika gerakan ekonomi syariah mulai menggeliat. Yakni ditandai dengan kehadiran lembaga-lembaga keuangan yang dikelola secara Islami. Memang hasil gerakan ekonomi syariah itu tidak serta merta terlihat. Hanya saja, adanya keberpihakan ini bisa dijadikan momentum untuk mendorong atau merekonstruksi kembali tumbuhnya jiwa kewirausahaan umat Islam di Indonesia.


Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta

Selasa, 27 Mei 2008

Jaringan Islam Liberal (JIL) Sebagai Kelompok Strategis

Sekilas Tentang JIL

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Forum ini berawal dari sekedar komunitas diskusi beberapa intelektual muda Muslim di ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Forum ini berkembang menjadi forum diskusi via internet beralamat islamliberal@yahoogroups.com. Pada awal tahun 2001, forum ini mendapat bantuan yang sangat besar dari jurnalis senior Goenawan Mohammad, baik berupa sebidang tanah yang dijadikan sekretariat resmi di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, maupun berupa pendanaan. Sejak Februari 2001 pula forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti : Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren danMasyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.
JIL tidak punya sistem keanggotaan untuk menjaga kelonggaran dan inklusivisme. Saat ini koordinator JIL adalah Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh Islam liberal muda. Pendanaan JIL juga datang dari The Asia Foundation sebuah yayasan yang peduli terhadap sekulerisme, pluralisme, liberalisme, hingga kesetaraan gender. Dari yayasan inilah Ulil juga pernah mendapat penghargaan. Lewat programnya, seperti diskusi publik, talkshow, sindikasi media, dan workshop, JIL berusaha konsisten, mempromosikan dan menyebarluaskan gagasan nahdah. Perhatian utama JIL: bagaimana menciptakan dan menjaga ruang kebebasan di Indonesia. Sebagaimana tokoh Islam Liberal awal, JIL meyakini kebebasan adalah kunci bagi kesejahteraan dan kebahagiaan. Tak ada kebahagiaan tanpa kesejahteraan dan tak ada kesejahteraan tanpa kebebasan.

JIL dan Kelompok Stragis

JIL termasuk dalam bagian kelompok strategis. Untuk melihat JIL sebagai kelompok strategis maka indikatornya adalah sebagai berikut :
(Hal ini berkaitan dengan kelompok strategis yang memiliki sumber daya strategis)
1. Ilmu pengetahuan (JIL Memberikan pemahaman mengenai Konsep Liberalisme Islam dengan menggunakan berbagai media seperti buletin dan forum diskusi secara langsung maupun melalui Internet dengan melibatkan para kaum intelektual untuk berpikir kritis mengenai konsep liberalisme islam),
2. Tujuan keagamaan (JIL Memperjuangkan Konsep Liberalisme Islam),
3. Harta benda (JIL pada awalnya di danai oleh Gunawan Muhamad kemudian didanai oleh lembaga The Asian Foundation)


Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta

Maulid Nabi Dan Pencerahan

Tepat pada 12 Rabi’ul Awwal tahun fil (gajah) lahirlah seorang manusia teladan umat sepanjang zaman, uswah hasanah yang menjadi cerminan manusia terbaik sepanjang masa, yang syariatnya tak pernah lekang di makan zaman dan tak pernah lapuk ditelan waktu, dialah Muhammad Saw. Hari lahir Nabi Muhammad Saw biasa disebut dengan istilah Maulid Nabi atau dalam bahasa Jawa biasa disebut mulud.Pada hakekatnya, peristiwa kelahiran seorang anak manusia merupakan hal yang biasa terjadi di muka bumi ini. Menjadi istimewa, ketika seseorang yang lahir kemudian mampu memberikan kontribusi yang besar bagi sejarah peradaban manusia. Dia berhasil menggoreskan tinta emas dalam catatan kehidupannya, mengubah kondisi masyarakat yang penuh dengan kebiadaban, ketertindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan, menjadi sebuah masyarakat yang beradab, merdeka, cerdas, egaliter, toleran, dan hidup dalam suasana penuh keadilan dan kesejahteraan.berbagai catatan positif inilah yang membedakan seorang manusia dengan lainnya dalam menapaki kehidupan. Dan, ini yang terdapat pada diri Rasulullah Muhammad Saw. Sehingga pantas jika peristiwa kelahiran beliau (Maulid Nabi) menjadi momen bersejarah yang selalu lekat dalam ingatan umat Islam dan diperingati setiap tahun.
Masyarakat Arab Pra-Islam (Zaman Jahiliyah)
Kondisi masyarakat Arab jahili pra-Islam pada waktu Muhammad dilahirkan, bukanlah sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Pelbagai kebobrokan melingkupi seluruh sendi kehidupan; agama, sosial-politik, budaya dan sendi-sendi kehidupan lainnya.Dalam ranah agama, paham paganisme (penyembahan terhadap berhala) menjadi keyakinan yang mendarah daging bagi masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, menurut catatan sejarah setiap suku memiliki berhala sendiri. Takhayul bagi mereka adalah sebuah agama yang kuat, seluruh sendi kehidupan mereka dikendalikan oleh takhayul.Kehidupan sosial-politik saat itu juga sangat memprihatinkan. Fanatisme kesukuan menjadi harga mati. Setiap orang bangga akan eksistensi sukunya, sehingga tidak ada ruang bagi orang lain di luar sukunya. Mereka selalu menganggap bahwa hanya suku atau kelompoknya yang paling baik dan berkuasa.
Maka, ketika sentimen primodialisme kesukuan ini dinodai, pertumpahan darah pun tak dapat dielakkan lagi. Di sisi lain, masyarakat ketika itu sangat memarginalkan posisi perempuan. Eksistensi perempuan tidak dihargai sama sekali. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak memiliki harkat dan martabat sebanding dengan kaum laki-laki. Keberadaan mereka, baik secara sosial-politik, budaya maupun ekonomi tidaklah bebas. Bahkan mereka dianggap sebagai beban hidup.Kondisi yang tidak kalah buruknya terjadi pada aspek budaya. Sejarah menyebut masyarakat Arab ketika itu dengan istilah jahiliyah (masa kebodohan). Ilmu pengetahuan menjadi barang langka. Masyarakat Arab pada waktu itu, menganggap belajar baca-tulis adalah suatu hal yang sia-sia dan hanya buang-buang waktu saja. Kondisi seperti ini yang pada gilirannya menyebabkan mereka berpikir sempit, lebih mengedepankan otot daripada otak. Setiap persoalan diselesaikan dengan cara kekerasan, tidak dengan pikiran jernih.

Di tengah kondisi masyarakat yang demikian rusak di berbagai sendi kehidupan itulah, lahir seorang anak manusia yang kelak merombak seluruh tatanan kehidupan jahiliyah, membebaskan masyarakat dari kebodohan menuju pencerahan, kebiadaban menjadi keberadaban, serta ketertindasan menuju kemerdekaan dengan pancaran sinar ilahi, dialah Muhammad saw.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, pada usianya yang ke-40, Muhammad Saw mendapat titah berupa wahyu dari Allah Swt. untuk menjadi seorang Rasul (utusan). Mulai saat itu, Muhammad Saw resmi diangkat menjadi seorang Rasul yang mengemban misi profetik, menyebarkan risalah ilahiyah, menegakkan dakwah amar makruf nahi munkar. Sadar akan amanat yang telah diembankan kepadanya, maka kemudian beliau menyusun strategi dakwah untuk membebaskan masyarakat Arab dari belenggu kemusyrikan, kungkungan kebodohan, cengkeraman penderitaan dan penindasan, serta memperjuangkan harkat dan maratabat manusia sesuai dengan kodratnya.
Perlahan tapi pasti, beliau mulai mengikis paham paganisme, menghilangkan kemusyrikan menuju masyarakat tauhid, mengubah kepercayaan kepada takhayul menuju rasionalitas di bawah bimbingan wahyu, membebaskan kaum mustadh’afin (lemah) dari ketertindasan menuju masyarakat merdeka, serta mengangkat harkat dan martabat perempuan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
Dalam kurun waktu 23 tahun masa kenabiannya, beliau berhasil membebaskan masyarakat dari beragam bentuk kejahiliyahan; baik dalam bidang akidah, ibadah, ilmu pengetahuan, sosial-politik-ekonomi maupun segala sendi kehidupan lainnya. Selama bentangan waktu tersebut, dalam menjalankan misi dakwahnya, dengan dilandasi semangat pembebasan (liberatif), pencerahan (enlightenment) dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan petunjuk wahyu, beliau sukses menciptakan sebuah tatanan masyarakat madani (berperadaban) yang penuh dengan semangat religius, mencintai ilmu pengetahuan, berpikir rasional di bawah bimbingan wahyu, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya, kehadiran seorang Muhammad di tengah kondisi masyarakat yang bobrok baik kehidupan agama maupun sosialnya, mampu memberikan nuansa kehidupan baru yang lebih agamis, membebaskan dan mencerahkan.


Delano Trias Prasetyo
mahasiswa semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta