Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut. Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab'.Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme masing-masing pemikir mengaplikasikan hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx. Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan jaman.
Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.
Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Pandangan Teori kritis
Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.
Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42).
Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.
Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.
Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis.
Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern.
Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusiaNamun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran palsu”.
Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya.
Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta
Rabu, 27 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar