Birokrasi identik dengan pemerintah baik itu pusat maupun daerah, merupakan organisasi publik yang mempunyai komposisi terstruktur, hierarkhis, mempunyai pembagian kerja dan spesifikasi tugas yang sistematis dan jelas, kode etik, disiplin dan memiliki kontrol operasional. Dalam sejarah perkembangannya, birokrasi di Indonesia mengadopsi nilai-nilai luhur budayanya sendiri berupa azas gotong royong dan kekeluargaan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan berubah menjadi pamong praja (pegawai negara). Tapi apa yang ada ternyata telah mengalami distorsi sehingga mengalami perubahan dengan berbagai variasi karakter yang ada sekarang ini. Kelemahan dari birokrasi adalah perilaku paternalistik yang berlebihan, perilaku ini melahirkan budaya ABS (Asal Bapak Senang) yang telah memasung tingkah laku birokrat terhadap kemurnian panggilan tugasnya yang mulia. Pelayanan yang semakin menyimpang tidak lagi berbasis kepada peningkatan kesejahteraan umum dan publik sebagaimana fungsi semula tetapi lebih berat kepada pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan segelintir orang yang disebut hubungan patron-klien yang hampir sama dengan ABS. Kelemahan birokrasi juga bersumber dari luar dan salah satunya adalah faktor politik dimana pada pemerintahan masa lalu dan sekarang ditempatkan sebagai sumber rebutan atau sebagai arena pertarungan antar berbagai kekuatan politik. Realita yang terjadi pada birokrasi Indonesia. Pengaruhnya jelas, birokrasi terkotak-kotak kedalam berbagai perpecahan berdasarkan kekuatan kutub-kutub politik yang ada ketika itu yang mengakibatkan pelayanannya kepada publik melahirkan standar ganda antara loyal pada pemerintah atau tunduk pada partai politik yang menunjuknya, dan pada era reformasi yang menjadi noda hitam pemberdayaan birokrasi adalah politisi yang mempolitisasi birokrasi.
Dalam era otonomi daerah ini, reformasi birokrasi menemukan
momentum yang lebih tepat. Dengan diberikannya kewenangan yang demikian luas
beserta sumber pembiayaannya, daerah dituntut kreatif dan tidak bergantung
kepada Pusat dalam menjalankan fungsinya. Sementara di lain pihak, tuntutan
kebutuhan masyarakat yang harus dilayani birokrasi kian kompleks dan bertambah
kuantitasnya, di samping tingkat kesadaran publik yang makin tinggi. Kondisi
ini mengharuskan organisasi publik siap melakukan perubahan-perubahan
fundamental organisasional untuk menuju good governance.
Tantangan peningkatan kualitas pelayanan publik ini menjadi
demikian urgen mengingat karakteristik warga masyarakat kita kini yang kritis
dan relatif makmur. Daya kritis ini dipicu oleh kuantitas warga yang
berpendidikan tinggi semakin banyak. Sementara itu kemakmuran status ekonomi
warga mendorong terciptanya kebutuhan-kebutuhan pelayanan publik baru yang
perlu diselenggarakan pemerintah, sehingga tuntutan publik atas pelayanan
menjadi kian kompleks. Kompleksitas tuntutan pelayanan yang disertai tingginya
daya kritis publik menjadikan posisi organisasi publik rentan kritik, sehingga
dibutuhkan upaya antisipasi sedini mungkin untuk memuaskan publik selaku
konsumennya.
Dilihat dari perspektif historis, selama ini, tumbuhnya birokrasi
sangat bersifat top-down dan menjadikan publik senantiasa menjadi objek
kekuasaan. Ini terbukti dengan sebutan birokrasi sebagai "pangreh praja"
(pemerintah masyarakat) yang kemudian berganti sebutan "pamong praja".
Ketidakberpihakan birokrasi kepada publik ini tidak lepas dari awal kemunculan
mereka yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah kolonial untuk
mengeksploitasi publik. Kondisi ini berlanjut dan makin menjadi-jadi terutama
pada kurun waktu rezim Orde Baru berkuasa. Kondisi objektif birokrasi yang
demikian lama diwarnai oleh "kekuasaan atas publik", bukan "kekuasaan untuk
publik", memerlukan waktu yang lama untuk bisa mengubah orientasinya tersebut.
Selain itu, faktual secara kuantitas mesin birokrasi yang ada
selalu terkesan gemuk dan tidak efisien. Ini dapat dilihat dari sedemikian
banyaknya lembaga departemen ataupun nondepartemen atau dinas daerah yang
dibentuk yang kerap tidak mempertimbangkan kebutuhan riil daerah. Bahkan ada
beberapa departemen atau dinas daerah yang eksistensinya hanyalah untuk
mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Sebut, misalnya, jabatan Pembantu
Gubernur atau Pembantu Bupati yang merupakan jabatan buangan yang tidak
strategis dan diperuntukkan bagi person yang tidak dikehendaki elite tetapi
bergolongan kepangkatan tinggi. Akibatnya, terjadi inefisiensi dan
inefektivitas birokrasi.
Kondisi itu jelas tidak menguntungkan pada saat kita dihadapkan
dengan tuntutan global sekarang ini yang berputar serba cepat dan efisien.
Karenanya perlu diupayakan revitalisasi birokrasi. Upaya optimalisasi kapasitas
birokrasi itu dapat dibagi dalam 3 aspek, yaitu aspek kelembagaan, aspek sumber
daya manusia (SDM), serta aspek manajemen organisasi dan finansial.
Pada aspek kelembagaan, isu utama yang berkembang ialah keharusan
melakukan restrukturisasi fungsi dan organisasi birokrasi yang secara riil
besar menuju sebuah organisasi birokrasi yang smaller, faster and cheaper
(kecil, cepat dan murah). Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang
diperlukan saat ini ialah yang secara fisik organisasional kecil tetapi secara
kualitatif kapasitasnya besar, sehingga kualitas pelayanan publik yang
diberikan akan makin baik sementara biaya yang terpakai dapat ditekan sedikit
mungkin. Dengan begitu, rasionalisasi birokrasi, baik secara praktis maupun
teoritis, sudah mendesak dilakukan dengan pertimbangan peningkatan efisiensi
anggaran dan kualitas pelayanan publik.
Pada aspek SDM, isu utamanya ialah upaya menciptakan SDM yang
kompeten dalam bidangnya yang mencakup beberapa strategi, di antaranya
rekrutmen atau pensiun dini, pengembangan pegawai dan peninjauan sistem jenjang
karir. Sebagai indikator, kompetensi seorang birokrat meliputi beberapa
kriteria: (1) Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang timbul
di dalam pasar. (2) Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan
fungsi instrumental birokrasi, namun harus melakukan terobosan melalui
pemikiran yang kreatif dan inovatif. (3) Memiliki wawasan futuristik dan
sistemik. (4) Memiliki kemampuan mengantisipasi memperhitungkan dan
memi-nimalkan risiko. (5) Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru.
(6) Memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang
mempunyai produktivitas tinggi. (7) Memiliki kemampuan mengoptimalkan
sumberdaya yang tersedia dengan menggeser kegiatan yang berproduktivitas rendah
menuju yang tinggi
Dari tujuh kriteria itu bisa disarikan, kompetensi seorang birokrat
adalah kemampuannya menjembatani antara negara dan masyarakat. Artinya,
birokrasi harus mampu menyediakan pelayanan publik yang adil dan inklusif
sebaik-baiknya, dan birokrasi harus memiliki kompetensi memberdayakan
masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting.
Sementara itu kondisi riil birokrasi terlihat kuantitas PNS
(pegawai negeri sipil) sudah berlebihan. Beberapa waktu lalu, hal itu
memunculkan wacana pensiun dini bagi PNS, yang hingga kini tidak sempat
direalisasikan karena banyak pertimbangan. Yang kemudian dipakai ialah
menerapkan kebijakan zero-growth dalam rekrutmen PNS, yang tentunya akan dapat
mengurangi jumlah PNS dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Tetapi, kini,
reformasi birokrasi sudah sangat urgen dilakukan.
Alangkah lebih baiknya bila kebijakan pensiun dini ini dapat
diterapkan untuk kasus-kasus khusus yang berkaitan pelanggaran disiplin
pegawai, baik dalam bentuk kasus asusila, perjudian maupun tindakan kriminal
lainnya yang dilakukan oknum PNS. Keuntungannya, di satu pihak mengurangi
kuantitas PNS, di lain pihak bisa memacu kinerja dan menjaga disiplin PNS yang
ada.
Untuk aspek manajemen organisasi perlu dilakukan perubahan
organisasional mendasar. Selain birokrasi harus memiliki jiwa entrepreneurship
yang tinggi, perlu pula dirubah penekanan dari top-down approach ke pendekatan
yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Sementara untuk aspek
finansial perlu dilakukan penggalian sumber dana yang tidak memberatkan
masyarakat, yaitu melalui partnership dengan pihak swasta, selain dengan
menekan kebocoran pengeluaran. Tetapi, akhirnya penting dicatat, semua strategi
itu hanya bisa diimplementasikan bila ada political will elite daerah yang
berkuasa, mengingat adanya kepentingan yang berbeda-beda pada level elite
daerah. Memang idealnya, elite harus bisa menyesuaikan kepentingan yang berbeda
itu dengan tetap pada satu komitmen, yaitu keberpihakan kepada masyarakat
banyak.
Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta
Rabu, 27 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar