Fenomena yang selalu menarik perhatian kala Ramadhan, bagi saya, adalah pernak-pernik yang menyangga Ramadhan itu sendiri. Pernak- pernik itulah yang menjadikan Ramadhan semakin menarik. Bahkan, Ramadhan menjadi komodifikasi yang sangat laku di pasaran. Berbagai media memanfaatkan momentum ini dengan berbagai kepentingan, ekonomi tentunya. Akan tetapi, saya tidak hendak memotret fenomena itu.
Ramadhan adalah masa di mana suguhan budaya berbaur dengan wahyu Tuhan, bernama puasa. Ramadhan tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa ia "dihadirkan" sebagai entitas yang sakral dengan bungkus yang profan. Dan satu lagi, Ramadhan di Indonesia adalah suatu yang sangat khas dan berbeda dengan Arab Saudi, misalnya, meski yang menjalankan ritual ini sama-sama Muslim. Kekhasan yang diekspresikan dalam pelbagai adat dan tradisi lokal masyarakat itulah yang saya maksud sebagai pernak-pernik Ramadhan itu.
Saya ingin mengajukan hipotesa bahwa di Indonesia telah terjadi semacam "Indonesianized Islam" dengan merujuk pada kemeriahan Ramadhan lengkap dengan secondary theological ceremonies yang membungkusnya dengan sangat rapi dan menjadikan perintah Tuhan itu semakin mengakrabi kehidupan masyarakat.
Banyak ekspresi ditunjukkan saat umat Islam Indonesia memasuki dan berada dalam orbit Ramadhan. Di salah satu kampung adat di Bali, umat Islam setempat menyambutnya dengan pawai rodat. Di Semarang ada tradisi dugderan yang tidak dikenal selain hanya untuk menyambut bulan Ramadhan. Kesenian dan tradisi itu bersama-sama hadir sebagai cara menyambut datangnya Ramadhan.
Lalu, ada tradisi membangunkan sahur, tadarus Al Quran malam hari, ngabuburit, bersalam-salaman saat Idul Fitri, makan ketupat bersama dan menyulut petasan (betapa pun aparat pontang-panting melarangnya). Kita juga kerap disuguhi pemandangan menghibur sesaat menjelang magrib. Mahasiswi berparas cantik berjejer di sepanjang jalan sembari menjajakan penganan untuk berbuka puasa.
Tradisi-tradisi ini, kecuali tadarus, sependek pengetahuan saya sangat partikular sifatnya. Ia adalah kearifan lokal yang merupakan kreativitas kultural bangsa Indonesia. Ritual seperti itu tidak akan pernah kita temukan di negara-negara lain.
Kehadiran local genus yang mewarnai Ramadhan itu menjadi ilustrasi bahwa Ramadhan telah menjadi ajang kontestasi budaya- budaya lokal. Budaya itulah yang sebenarnya menjadikan Ramadhan lebih berkarakter. Budaya masyarakat yang hadir bahkan tidak hanya sebagai faktor pelengkap, tetapi ia menjadi penyangga ibadah di bulan suci. Ibadah puasa menjadi sangat merakyat karena dilatari oleh budaya lokal yang menjadi semacam simple and logical bridge.
Dalam kajian-kajian sosiologi agama, menyembulnya dimensi budaya dalam spektrum ritual keagamaan memang tidak bisa diingkari. Karena sesungguhnya agama itu sendiri adalah kumpulan dari partikel- partikel budaya yang kemudian berdialektika dengan kehendak Tuhan.
Meski diyakini ada dimensi wahyu, agama tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa dalam prosesnya ada dimensi kemanusiaan dan lokalitas yang ikut memengaruhinya. Dan, kehadiran agama yang penuh dengan nuansa lokalitas justru semakin meneguhkan fungsi agama yang hadir untuk manusia, bukan Tuhan. Tak heran jika di dalamnya agama selalu meniscayakan kerja-kerja kebudayaan.
Di meja akademik, studi tentang relasi agama dan lokalitas atau budaya lokal biasanya menekankan pada aspek agama yang dipahami sebagai ekspresi kebudayaan sebuah masyarakat. Ruang demografis yang berbeda membuat konstruksi kebudayaan menjadi sangat variatif. Masing-masing memiliki konsepsi mengenai agama dalam frame masyarakat. Walhasil, agama dalam studi kebudayaan berada dalam wilayah antropologis dan sosiologis. Sifat yang empiris inilah yang biasanya menjadi titik pangkal kajian-kajian keagamaan.
Sebagai salah satu aspek penting dalam agama, ritual (puasa, shalat, dan lainnya) memiliki peranan penting sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama. Ritual merupakan jalan yang efektif untuk mentransformasi tempat dan waktu. Tempat-tempat ritual seperti masjid, gunung, kuil, gereja dapat ditransformasi ke dalam lokus kekuasaan dan kekaguman. (Mc Guire, 1992 : 16).
Aspek ritual memang menjadi catatan menarik dalam sebuah agama. Inilah yang mendorong E Thomas Lawson dan Robert N McCauley dalam Rethinking Religion mencoba merumuskan ritual dalam tiga kapasitas. Ritual bisa dimaknai, pertama-tama dalam artian ungkapan performatif. Yang kedua, ritual bisa juga diartikan sebagai komunikasi informasi. Dan yang terakhir, ritual dijelaskan sebagai sistem formal. (Lawson dan McCauley, 1990 : 45-49).
Jadi, selain menjadi "arena kontestasi" budaya, Ramadhan juga bisa kita mengerti dalam kapasitas yang seperti disitir Lawson dan McCauley, yakni sebagai sebuah tampilan, komunikasi, dan sistem formal. Ramadhan di Indonesia karenanya memiliki kompleksitas makna yang tinggi. Di sinilah yang menjadikan pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan di Indonesia menjadi lebih variatif dan berbeda dengan Ramadhan di tempat yang lain.
Ekspresi keagamaan yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia menunjukkan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia adalah masyarakat yang memiliki peradaban adiluhung yang patut kita jaga.
Ini menunjukkan bahwa Islam dan agama-agama lain dalam bentuknya yang berbeda, lahir dari hasil transaksi antara kehendak Tuhan dan kebudayaan manusia. Wajar jika kemudian banyak suara yang menghendaki agar dimensi partikular yang ada dalam Islam harus dipisahkan dari universalitasnya.
Meskipun demikian, ini bukan berarti kita tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam, tetapi tentu akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Karena bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat memaksa kita untuk memperbaharui cara pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai moral yang dikandungnya.
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar