ADA beberapa peristiwa masa lampau yang berskala nasional di bulan Oktober dan selalu diperingati. Karena memiliki makna historis yang kuat dan mendalam pengaruhnya terhadap perjalanan sejarah negeri tercinta ini, yakni peringatan hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 5 Oktober, peringatan hari kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktoter dan peringatan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober. Dari ketiga peringatan nasional tersebut, ada satu peristiwa yang selalu diperingati tanpa mengedepankan ''master pelaku'' sejarah sebagai ikon untuk dilibatkan secara formal dalam pelaksanannya, yaitu pemuda di setiap peringatan sumpah pemuda.
Kalau kita merujuk pendapat Max Weber tentang peranan pemuda secara umum, pemuda tidaklah pernah diuntungkan, karena sejarah perjuangannya kelak dihargai atau dikutuk oleh generasi penerusnya, adalah tergantung apakah ia bisa dan mampu menjadi ''sesuatu'' yang lain dari zaman yang besar pendahulunya atau tidak.
Dalam kontek ke-Indonesiaan, asumsi sosiologi Jerman itu bisa benar juga bisa tidak. Sebab pemuda Indonesia pernah mencatat prestasi-prestasi gemilang dalam perjalanan sejarahnya, antara lain peristiwa 28 Oktober 1928 yang dipelopori Boedi Oetomo yang mencetuskan kesepakatan dari hasil kerapatan para pemuda Indonesia yang bertekat: Berbangsa satu, Bangsa Indonesia, Berbahasa satu, Bahasa Indonesia, Bertanah Air satu, tanah air Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 23 juli 1973, sebanyak 34 orang muda plus 14 organisasi kepemudaan berkumpul di Gedung Joeang'45 Jakarta, membentuk sebuah wadah bagi organisasi kepemudaan untuk menunjukkan eksistensi pemuda Indonesia yang kemudian diberi nama Komite Nasional Pemuda Indonesia yang disingkat KNPI.
Keberadaan mereka tidak lain adalah ingin memperlihatkan bahwa pemuda saat itu bukanlah ''pengekor", sekaligus ingin berbuat sesuatu untuk negara dan bangsanya melalui sebuah kesepakatan kelahirannya yang dikenal dengan ''Deklarasai Pemuda Indonesia".Suatu realitas historis yang tak dapat dibantah bahwa setiap masa dan zaman senantiasa memperlihatkan peran pemuda. Meskipun, terkadang peran historis itu fluktuatif sifatnya, tapi jelas kaum muda selalu menjadi ''kunci'' bagi terjadinya perubahan. Dalam membuat dan merekayasa perubahan-pemuda menjadi intens-bahkan penentu.
Hal itu, dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan, motivasi, kepedulian dan rentang waktu dimana pemuda berada dan memerankannya. Jika persepsi semacam itu disepakati, maka pergumulan pemuda dalam menkonstruksi masa depan bangsa dituntut tumbuhnya sikap yang realistis dalam menilai sejarah masa lalu, dan situasi masa kini. Satu dari pergumulan kaum muda kita adalah ''memproklamirkan" terciptanya negara RI. Cita-cita itu terwujud, dan bukti sejarah yang lain menyatakan bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan komitmen pemuda untuk mewujudkan Indonesia Raya, melalui Sumpah Pemuda.
Urgensi dan posisi strategis kaum muda itulah jika dikaitkan dengan dimensi kesejarahan masa lalu, kekinian dan ''ke-akan-an'' dapat diletakkan dalam beberapa basis dialogis. Pertama, pemuda bukanlah pewaris masa lampau, tapi merupakan pembaharu dalam kehidupan bangsa. Kedua, pemuda bisa menjadi akses tapi juga sekaligus ancaman. Ketiga, pemuda dituntut untuk selalu mengaktualisasikan potensi dirinya. Keempat, pemuda dapat menjadi kekuatan destruktif terhadap stabilitas sebuah bangsa. Kelima, pemuda menjadi kekuatan alternatif, karena kekritisan pemikiran dan gagasannya dalam pergumulan bangsa.
Transisi dan transformasi kehidupan pemuda semacam itu, merupakan indikasi bangsa Indonesia telah dan sedang memasuki abad renaisance. Artinya, pemuda Indonesia bukan saja menjadi kekuatan kebersamaan dalam mengusir dan menghalau penjajahan kolonialisme - imperalisme - karena perasaan senasib seperjuangan - untuk mencapai kemerdekaan. Tapi lebih jauh untuk mengantarkan negara ini menggapai cita-cita kemerdekaan yang adil dan makmur dalam suasana berkeadilan dan berkedaulatan rakyat.
Tranformasi kesejarahan berpuncak dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sedangkan transformasi universal yang komprehensif dipertaruhkan kepada solidaritas terhadap sesama manusia Indonesia yang saling menghargai akan hakekat dan martabat kemanusiaan lewat kehadiran kehidupan yang lebih baik, yaitu pembangunan, guna mencapai keadilan dan kemakmuran yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar