Rentetan peristiwa bom di tanah air yang selama ini terjadi membuktikan bahwa aparat Indonesia tidak berdaya menangani teror bom di dalam negeri. Namun beberapa waktu lalu Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dengan pemberitaan tewasnya Dr Azahari selaku teroris yang paling dicari selain Nordin M Top karena diduga sebagai otak dari berbagai kegiatan terorisme (pengeboman) yang selama ini terjadi di Indonesia. Indonesiapun (termasuk aparat yang terlibat) akhirnya mendapatkan banyak pujian dari berbgai kalangan dan juga luar negeri karena keberhasilannya membekuk salah satu otak kegiatan teroris di Indonesia. Namun pada akhirnya kejadian tadi mengundang sejumlah pertanyaan dari para pengamat intelijen di Indonesia terkait dengan kematian Dr Azahari yang terkesan tidak meyakinkan. Pro dan kontra seputar kematian Dr Azahari pun merebak dan banyak menghiasi media massa kala itu.
Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita perlu tahu apa yang disebut dengan terorisme. Menurut sebuah definisi, “Terrorism is a premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.” (Terorisme adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivaskan politis, ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Terorisme sendiri (dari bahasa latin terer, kengerian) adalah tindakan destruktif yang misterius. Terorisme adalah misteri karena kemunculannya yang mendadak dan menggetarkan.
Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror adalah menciptakan state of terror (suasana teror/ketakutan) dan juga rasa cemas dan chaos yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Ia mewakili kepentingan pihak small group yang tak mudah dilacak. Small group bisa berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan, misalnya ideologi, sosial-politik, agama, atau bahkan kepentingan pribadi sekalipun.
Berdasarkan definisi di atas, setidaknya terdapat empat unsur pokok dalam kegiatan terorisme yaitu:
• Tindak kekerasan yang terencana dengan rapi dan bukan bersifat spontan.
• Perbuatan yang berlatar belakang politis bukan kriminal tapi dalam pelaksanaannya kerap melakukan tindakan kriminal untuk mencapai tujuan. Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada.
• Sasaran terorisme kebanyakan adalah masyarakat sipil, bukan instalasi militer ataupun pasukan bersenjata karena tindak terorisme memilih sasaran yang dapat menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
• Dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan di dalam negeri (atau di luar negeri) yang merasa tidak puas atau bahkan marah terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara.
Hal itulah yang menyebabkan tindak terorisme sangat sulit dicegah. Jika kita amati setidaknya ada tiga penyebab yaitu mudah dilakukan dengan peralatan dan metode yang sederhana, merupakan pilihan utama bagi pihak yang inferior dalam perimbangan kekuatan, dan mempunyai daya tarik bagi individu dengan kondisi kejiwaan tertentu. Terorisme bisa berkembang setidaknya oleh tiga hal yaitu ada motivasi yang kuat, ada ruang gerak yang relatif luas, dan daya tangkal nasional yang kurang memadai (lemah).
Terlepas dari itu semua, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di negara ini, atau bahkan di dunia ini takkan pernah lepas dari yang namanya politik. Dari berbagai peristiwa terorime di dunia, terbukti bahwa kegiatan terorisme sangat erat hubungannya dengan politik. Politik merupakan wilayah konsep dan praksis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berupa sesuatu yang abstrak, namun dalam koridor tertentu masih dapat diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praksis, politik tidak hanya terjadi dalam wilayah yang kecil seperti desa, akan tetapi dapat juga terjadi di wilayah yang besar seperti dalam suatu negara atau bahkan antar negara sekalipun.
Menurut Harold D Lasswell, politik adalah perkara “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Ketika ditelusuri lebih jauh maka esensi dari definisi politik di atas adalah konflik, karena politik adalah perihal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan sehingga rentan sekali terjadi konflik. Sementara itu, kekuasaan sendiri mempunyai pengertian sebagai konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Dalam banyak kasus yang terjadi selama ini, politik sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, sehingga tidaklah mengherankan jika politik sering bermakna “kotor” dan identik dengan “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem yang demokratis, seharusnya politik mempunyai makna dan dipraktikkan secara positif dan rasional, karena dalam sistem ini politik adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Tapi ternyata tidak demikian halnya yang terjadi di lapangan. Sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa politik dan terorisme mempunyai hubungan yang erat sekali.
Ketika kita meyakini bahwa setiap tindak terorisme pasti berbau politis, maka hal ini akan mempengaruhi bagaimana cara kita menganalisa tindak terorisme yang terjadi selama ini, yang pasti berkaitan dengan kejadian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Kita juga harus memahami bahwa kegiatan terorisme adalah merupakan bagian dan bentuk dari kegiatan intelijen yang dilandasi perjuangan paham ideologi yang sangat berbeda dari kegiatan kriminal dan jenis gangguan keamanan lain yang bisa ditanggulangi oleh pihak kepolisian. Hal ini menyebabkan sebuah konsekuensi bahwa yang harus berada di barisan terdepan dalam mencegah tindakan terorisme sesungguhnya adalah aparat intelijen, karena merekalah yang diberikan kemampuan dan keterampilan untuk melakukan operasi clandestine dan kegiatan-kegiatan lain yang pada dasarnya tidak mungkin dilakukan oleh aparat kepolisian karena keterbatasan kemampuan dan wewenang yang mereka miliki. Meskipun sejak era orde baru dalam struktur organisasi di lembaga kepolisian Indonesia dibentuk fungsi intelijen, namun pengetahuan intelijen mereka adalah intelijen kriminal, bukan tentang pertahanan dan keamanan negara.
Cara kerja polisi untuk menghimpun informasi pun berbeda dengan cara kerja orang-orang intelijen, sebab jenis informasi yang dihimpun oleh kedua instansi sudah berbeda. Yang satu (intelijen) untuk kepentingan early warning, dan yang satunya lagi (polisi) untuk pemberkasan di pengadilan. Polisi bekerja dengan titik-tolak TKP (Tempat Kejadian Peristiwa). Secara garis besar polisi hanya bergerak setelah bom meletus. Selama bom belum meletus, polisi tidak bisa bergerak, apalagi menangkap orang. Di lain pihak, intelijen bekerja dengan asumsi-asumsi yang dibangun menurut hasil monitoring terus-menerus terhadap gerak-gerik orang atau kelompok yang dicurigai hendak melakukan tindak kejahatan. Intelijen berpedoman pada prinsip pre-emptive strike (sikat/ hancurkan dulu sebelum sasaran beraksi).
Partisipasi dari segenap masyarakat (Indonesia), optimalisasi kerjasama antar instansi yang berwenang dan terkait baik di tingkat regional, nasional maupun internasional, serta pemberdayaan peranan PBB sebagaimana mestinya sangat dibutuhkan untuk meng-counter tindak terorisme. Jangan sampai kita tertipu oleh propaganda yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terkesan menganggap orang/ kelompok/ negara lain sebagai teroris, tetapi justru pihak tersebutlah teroris yang sebenarnya. Tentu kita akan mengetahui hal tersebut ketika kita menggunakan akal kita untuk berfikir, bukan dengan emosi.
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar