Ramadhan memang selalu diharapkan akan membawa perbaikan. Ibarat pit stop dalam
sebuah balapan, setelah melewati bulan suci tersebut, setiap umat Muslim
semestinya mendapat energi baru untuk “berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebajikan” sebagaimana diperintahkan dalam Al Quran.
Sayangnya, kini Ramadhan tidak sebatas wahana untuk menyucikan jiwa dan
menjalankan berbagai ritual agama. Selama puluhan tahun, Ramadhan ikut
berproses dengan berbagai fenomena “global” sekaligus tradisi “lokal”.
Akibatnya, banyak praktik yang secara intrinsik tidak ada hubungannya dengan
agama, bahkan menurut sebagian orang tak kompatibel dengan ajaran agama itu
sendiri, justru lebih menonjol selama Ramadhan.
Merangsang konsumsi
Sosiolog University of Oxford, Walter Armburst (2004), menyimpulkan bahwa
Ramadhan selanjutnya menjadi peristiwa yang dapat dipergunakan untuk tujuan
yang multiguna. Ramadhan menjadi “sesuatu” yang lebih jauh bisa dipakai untuk
mewujudkan agenda yang berbeda-beda; mulai dari menjual produk, merangsang
konsumsi, hingga mempromosikan sikap politik.
Para pemasar kelas dunia sejak lama menandai kedatangan Ramadhan sebagai the
most important business period, dan tentu saja pada hari-hari besar agama lain.
Pada bulan ini umat Muslim memang tidak makan dan minum seharian, sebulan
penuh, tetapi ajaibnya konsumsi makanan meningkat signifikan (Indonesian
Consumers, 2004).
Akibat larut dalam budaya konsumen, Ramadhan tidak lagi sekadar bulan untuk
mengonstruksi kesalehan, merekatkan kasih sayang, atau mengurangi ketimpangan
sosial-ekonomi. Alih-alih menghilangkan kesenjangan, yang banyak kita baca
justru promosi paket menginap dan makan sahur seharga ratusan ribu rupiah di
hotel-hotel berbintang. Di layar kaca, penonton disuguhi kuis dengan hadiah
miliaran rupiah.
Terjadinya persinggungan antara gairah beragama masyarakat dan motif mengeruk
keuntungan pebisnis merupakan kecenderungan yang merata di negara- negara
Muslim. Modernitas dan globalisasi telah mereproduksi apa yang disebut oleh
para sosiolog sebagai “komersialisasi Ramadhan”, mirip komersialisasi yang
terjadi pada Hari Natal dan Hanukah (Islam in the Market Place: Does Ramadhan
Turn into Christmas?, Sandicki & Omeraki, 2006). Pada titik inilah muncul
seruan tentang perlunya purifikasi hal-hal ritual dari yang sekular.
Purifikasi tradisi
Terciptanya keadilan tetap mensyaratkan penegakan hukum tanpa pandang bulu
serta kehadiran institusi yang berwibawa. Demikian halnya, selain memerlukan
kedermawanan dan solidaritas sosial yang ditumbuhkan dengan ritual puasa,
kemiskinan hanya akan dapat diatasi dengan pilihan kebijakan yang tepat dan
sungguh-sungguh prorakyat miskin. Dalam hal ini, langkah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melarang pemberian parsel merupakan contoh yang baik sebagai
upaya kecil mengikis korupsi sekaligus membantu menegaskan posisi agama.
Seorang warga asing yang sudah 20 tahun bermukim di Arab Saudi mengaku enggan
keluar rumah di sore hari selama Ramadhan. Pasalnya, di negara tersebut setiap
bulan puasa angka kecelakaan lalu lintas meningkat signifikan akibat banyak
warganya tergesa-gesa pulang ke rumah menjelang buka puasa (The Washington
Times, 7/11/04).
Berpuasa harus menjadi kekuatan yang mendorong perubahan dan perbaikan berbagai
segi kehidupan. Menurut ulama besar Mesir, Yusuf al-Qardhawi, di antara hikmah
penting Ramadhan adalah menimbulkan kehendak (iradah) dan membangkitkan
semangat (Fiqh Shiam, 1995). Tekad dan semangat yang kuat inilah yang perlu
dipergunakan oleh umat Islam untuk merebut lagi “kendali diri”, dan bukan malah
sebaliknya semakin dikendalikan syahwat konsumtivisme sehingga melanggengkan
berbagai akhlak buruk di tengah-tengah masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar