Minggu, 13 Desember 2009

ketika eskalasi konflik Bank Century terus berlanjut

upaya pemerintah menyelamatkan Bank Century dari kehancuran akibat perampokan sistematis yang dilakukan pemiliknya berkembang cepat dan langsung masuk ke pusat medan politik yang panas.

Sejatinya, pengucuran dana (yang menurut Menkeu Sri Mulyani sebatas menaikkan CAR atau rasio kecukupan modal) sebesar Rp. 6,7 triliun hanya akan berbuntut pada pengusutan hukum di BPK, KPK atau kepolisian jika terindikasi ada oknum yang merekayasa pengucuran dana segar tersebut.

Artinya, dengan asumsi ada orang-orang di pemerintahan dan di manajemen Bank Century yang menikmati keuntungan secara haram dari pengucuran dana, maka kasus ini, seperti biasa, akan kembali menambah daftar panjang koruptor dan penjahat berkerah putih Indonesia.

Tapi ternyata yang merebak belakangan adalah konflik horizontal antara Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkeu Sri Mulyani dan Mantan Gubernur BI Boediono yang terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 2009-2014.

Jusuf Kalla yang merasa dirinya hendak dibenamkan dalam kasus ini langsung bereaksi. Dia segera mengoreksi tanggal audiensi antara dirinya dengan Sri Mulyani dan Boediono.

Sebelumnya Sri Mulyani mengaku melaporkan kasus Bank Century ke Wapres Jusuf Kalla tanggal 22 November atau sehari sebelum LPS mengeluarkan dana pertama sebesar RP. 2,7 triliun lebih. Tapi menurut JK, Menkeu baru menghadap kepadanya (berhubung Presiden SBY masih berada di AS) tanggal 25 November 2009.

“Jadi, seolah-olah saya tahu pengucuran dana itu. Padahal, saya tidak tahu sama sekali,” papar Wapres dalam sebuah jumpa pers yang dilengkapi dengan kronologi lengkap kasus Bank Century (KOMPAS, 1/9).

Selain itu, JK juga memaparkan bahwa Boediono tidak berani melaporkan pendiri Bank Century Robert Tantular yang jelas-jelas menipu banknya sendiri senilai Rp. 1,4 triliun ke pihak kepolisian.

Karena Bank Indonesia tidak berani berbuat apa-apa dengan alasan tidak ada landasan hukum, akhirnya Jusuf Kalla berinisiatif menginstruksikan kapolri menangkap Robert Tantular.

Langkah JK ini bisa ditanggapi dengan pikiran positif dan negatif.

Bagi yang berpikiran positif, apa yang dilakukan oleh JK adalah langkah yang tepat dalam rangka mendudukkan setiap perkara pada porsi yang sebenar-benarnya. Termasuk soal aspek kriminal dan langkah pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam menangani kejahatan berkerah putih yang selalu berulang dari zaman Edi Tansil hingga era Robert Tanular dengan nilai kerugian yang fantastik hingga triliunan rupiah.

Tapi langkah JK ini juga bisa dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap pemerintah terpilih. JK dinilai sedang berusaha mencitrakan sosok seorang Boediono sebagai pemimpin yang tidak tegas.

Bila ini berkembang terus tanpa kendali politis dari partai penguasa dan pemenang pemilu, tidak mustahil citra pemerintahan SBY-Boediono langsung merosot bahkan sebelum mereka berdua dilantik Oktober nanti.

Tapi apapun penilaian orang terhadap pernyataan-pernyata an keras JK seputar kasus Bank Century, saya sepakat 1000% dengan ucapkan JK berikut :

“Pendapat saya sejak awal solusi terhadap bank-bank bermasalah tidak dengan bail out karena sesuai pengalaman tahun 1998 sehingga merugikan negara sampai Rp 600 triliun dalam bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga kini bahkan sampai 20 tahun mendatang rakyat harus membayar dengan bunga dan pokok sebesar Rp 60 triliun melalui APBN. Padahal, seharusnya kasus itu menjadi tanggung jawab pengawas bank yang ketat dari Bank Indonesia,” ujarnya.

Pertanyaannya, akankah Robert Tanular menjadi penjahat terakhir yang berhasil menggerus uang negara dan masyarakat triliunan rupiah lewat jalur perbankan ?.

Atau besok kita kembali membaca kasus perampokan serupa ?.

kasus prita mulyasari dan pertarungan modal simbolik




Sabtu, 12 Desember 2009 | Banyak kalangan menduga, pemberitaan dan perhatian masyarakat terhadap kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional akan tenggelam akibat ingar-bingar pemberitaan skandal Bank Century, intrik-intrik para politisi, dan gerakan masyarakat antikorupsi terkait kasus Bank Century.

Oleh Pengadilan Tinggi Banten, Prita telah dijatuhi hukuman membayar denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni. Semula banyak orang telah melupakan kasus Prita. Namun, pembentukan Posko Koin Peduli Prita membuat perhatian masyarakat akan kasus Prita hidup lagi, bahkan kian besar.

Melukai keadilan

Para penggagas Posko Koin Peduli Prita itu secara otentik menemukan cara jitu menarik kembali perhatian masyarakat sekaligus membuka peluang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi mendukung Prita.

Memilih koin sebagai media menyalurkan bantuan memiliki nilai simbolik amat strategis. Koin, mata uang paling kecil, membuka ruang partisipasi luas dan meningkatkan keterhubungan warga dari berbagai kalangan untuk mendukung Prita.

Antusiasme warga dari berbagai kalangan (atas, menengah, hingga bawah, seperti pemulung dan tukang becak, maupun anak- anak TK dan SD untuk menyumbangkan koin untuk Prita) secara telak dan simbolik menunjukkan keberpihakan banyak kalangan terhadap Prita.

Dukungan warga yang disampaikan lewat berbagai jejaring sosial di dunia maya, seperti Facebook dan Twitter, hingga dukungan warga di jalanan menyumbangkan koin sampai hari ini terus berdatangan. Dukungan warga itu secara simbolik juga menunjukkan antipati masyarakat terhadap lembaga pengadilan dan lembaga lain yang dinilai "arogan" dan tidak adil.

Tuduhan pencemaran nama baik karena Prita mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh RS Omni dan dokter yang merawatnya melalui surat elektronik kepada sejumlah rekannya dalam sebuah milis, begitu pula penggunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat Prita, telah melukai rasa keadilan banyak kalangan.

Pada titik ini terlihat adanya pertarungan modal simbolik antara Prita (di mata banyak kalangan sebagai korban dan pihak yang lemah) melawan pengadilan dan RS Omni (yang di mata banyak warga mewakili lembaga yang berkuasa dan tidak adil).

Modal simbolik

Kerangka modal simbolik yang diperkenalkan sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), menarik digunakan untuk melihat lebih jauh kasus Prita melawan RS Omni.

Bourdieu mendefinisikan modal simbolik sebagai reputasi, rasa hormat, dan legitimasi yang dimiliki seseorang atau sebuah lembaga akibat akumulasi tindakan yang dilakukannya (Bourdieu, Social Space and Symbolic Power, 1989).

Sebagaimana umumnya hubungan rumah sakit dan pasien, hubungan Prita dengan RS Omni sejak awal bersifat asimetrik. RS Omni jelas memiliki modal ekonomi dan modal budaya (dalam bentuk kepakaran medis) yang jauh lebih besar ketimbang seorang pasien biasa seperti Prita.

Persoalan muncul saat Prita mengeluhkan kualitas pelayanan medis RS Omni di sebuah milis dan serta-merta ditanggapi pihak RS Omni yang kemudian diperkeruh oleh pengadilan karena menggunakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang kontroversial itu.

Banyak warga menilai, pihak pengadilan jauh lebih memihak RS Omni ketimbang Prita. Hubungan asimetrik antara Prita dengan RS Omni dan persepsi negatif banyak warga terhadap pengadilan yang tidak peka membuat Prita semakin mendapatkan dukungan.

Ungkapan ketidakpuasan

Kegigihan Prita melawan institusi yang jauh lebih besar (pengadilan dan RS Omni) membuat dukungan publik dan modal simbolik Prita semakin besar. Banyak warga biasa di Tanah Air memproyeksikan dirinya pada Prita (sebagai pihak lemah saat menghadapi kekuatan lembaga-lembaga besar) sekaligus menyampaikan ketidakpuasan mereka pada institusi besar yang berkuasa (rumah sakit dan pengadilan).

Masih sulit memperkirakan hasil akhir kasus Prita melawan RS Omni. Prita telah mendaftarkan surat kuasa kasasi atas perkara perdata yang dituduhkan kepadanya.

Namun, ada beberapa hal sosiologis yang telah amat jelas dalam kasus ini, yakni semakin besarnya modal simbolik Prita dan semakin kecilnya modal simbolik RS Omni, begitu pula modal simbolik institusi pengadilan di Tanah Air.

Dukungan banyak kalangan terhadap Prita juga menunjukkan bahwa solidaritas sosial dan modal sosial warga biasa di Indonesia masih cukup kuat dan bisa diandalkan menghadapi arogansi lembaga-lembaga besar.

Solidaritas dan modal sosial warga mendukung KPK melawan kepolisian dan Kejaksaan Agung, misalnya, cukup berperan menggemakan besarnya modal simbolik KPK (maupun Bibit Rianto dan Chandra Hamzah) yang sedikit banyak ikut berperan mendorong keluarnya surat keputusan penghentian penuntutan terhadap Bibit/Chandra.

Apakah lembaga-lembaga peradilan yang semakin kehilangan modal simbolik itu akan terus berlaku tidak peka terhadap warga biasa seperti Prita?

destructive of love

Cinta itu semacam benalu atau bakteri jahat: merusak, egois dan mematikan. Ia sama dengan raja yang lalim, atau supir kopaja yang uedan: sewenang-wenang, eratik dan sering lepas-kendali. Dari zaman purba dulu, ada saja orang yang rela mampus demi cinta. Mati konyol, karena cinta. Romeo dan Juliet adalah dua karakter sastrawi yang direka pujangga besar Shakespeare untuk meledek milyaran orang yang jadi goblok karena CINTA. Orang pintar harus jadi bego untuk bisa jatuh cinta. Saya bukan kritikus sastra, dan Shakespeare jelas raksasa yang tidak akan lecet reputasi perenialnya karena kritik asal-asalan seorang bloger, tetapi ending kisah dua sejoli itu bagi saya konyol. Tragedi dan komedi memang beda tipis. Mungkin itu sebab dunia teater mengenal istilah tragic comedy, atau komedi yang tragis. Anda tertawa atau menangis ketika Romeo menenggak racun di samping kekasihnya yang sedang pingsan? Saya agak sedih sedikit, dan merasa adegan itu konyol – sebuah tragedi yang komedik. Romeo adalah Majnun dalam kisah Layla dan Majnun. Romeo jadi sinting karena cinta mati Juliet. Masalahnya, apakah cinta itu ada?.........

Suatu kali filsuf Jacques Derrida ditanya soal cinta. Saya ingat dia malah menganalisis pertanyaan yang diajukan: Cinta itu “apa” atau “siapa”? Kata Derrida, ketika Anda bertanya cinta itu “apa”, Anda diminta untuk menjelaskan mengapa cinta disebut cinta. Nah, ketika Anda bertanya cinta itu “siapa”, maka Anda diminta untuk menunjukkan di manakah cinta itu berada. Tetapi begini, saya coba saja, Derrida ingin menunjukkan bahwa pertanyaan “siapa” itu tidak terikat oleh esensi dari sesuatu yang dijadikan obyek/referensi dari pertanyaan. Misalnya begini, kawan Anda bisa saja bilang bahwa saat ini Anda adalah seorang pria muda, berusia sekitar 20-an, tampan, kaya dan baik hati. Tapi 30 tahun kemudian, kawan Anda akan bilang bahwa Anda itu seorang pria tua, berusia 50-an, jelek, miskin dan kikir. Apakah anda sudah bukan Anda lagi saat itu? Masih, bukan? Pertanyaan “Siapa Anda?” tidak akan bisa dijawab dengan biodata atau CV. Dengan kata lain, Gentole akan tetap menjadi Gentole meskipun Gentole tidak lagi menjadi seperti Gentole. Eksistensi Gentole itu inheren dalam pertanyaan “Siapakah Gentole?” dan musnahnya ke-Gentole-an Gentole, tidak membuat Gentole tidak lagi menjadi Gentole. Ini masalah filsafat dari zaman Yunani yang tidak kunjung selesai, kata Derrida. Wajar kalau membingungkan. Meski begitu, dua model pertanyaan yang dijelaskan Derrida bisa membantu memahami pertanyaan tentang cinta.

Cinta itu Kata Kerja

Bagi ilmuwan dalam bidang psikologi maupun biologi, cinta hanya “ada” sebagai kata kerja. Cinta adalah sebuah infatuasi: yakni kondisi di mana Anda sangat menyukai seseorang, menikmati betul perasaan yang menyelimuti setiap kali Anda berpikir tentangnya dan, seperti Romeo, merasa sangat rapuh bila suatu hari seseorang yang Anda obsesikan itu pergi. Cinta adalah hasrat memiliki atau hasrat seksual terhadap seseorang yang Anda anggap sebagai CINTA Anda. Cinta adalah mencintai dalam berbagai manifestasinya, seperti bilang “Aku sayang kamu”, gandengan tangan, kecupan di kening, pelukan, dan tentunya bercinta. Bagi psikolog, cinta dilihat sebagai gejala kejiwaan, sebuah mental disorder yang bisa dijelaskan dari perilaku aneh Romeo dan Juliet. Bagi ahli biologi, cinta sebenarnya hanya persoalan bau dan kecenderungan manusia untuk bereproduksi dan memperbaiki keturunan. Kasar memang, tetapi ilmuwan gendeng sudah melakukan sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa kualitas sperma orang tampan itu lebih baik dari sperma orang jelek. Tidak heran bila perempuan suka cowok ganteng. Anda tidak tersinggung, kan?

Nah, bagi ilmuwan cinta itu “apa”, bukan “siapa”. Cinta itu ada, tetapi bukan sebagai anak panah Cupid, melainkan serangkaian peristiwa yang mendefinisikan orang yang sedang di mabuk kepayang. Cinta sejati, yang katanya sudah ditakdirkan, itu hanya angan kosong belaka. Pendeknya, bagi ilmuwan cinta itu tidak ada, yang ada hanya kecenderungan manusia untuk mencintai dan bercinta. Saya, seperti biasa, tidak terlalu menyukai kepastian sains.

Cinta merupakan sebuah konsep yang tidak memiliki referensi jelas, tetapi kata itu ada dan tetap meminta referensi jelas secara paksa karena alasan-alasan eksistensial yang tidak bisa diremehkan. Maksudnya? Begini, kita tidak akan pernah bisa mencintai apabila kita tidak bisa percaya bahwa cinta itu ada dan tetap, seperti kita tidak bisa berbuat baik apabila Kebaikan Universal itu tidak ada. Memang kita tidak bisa membuktikan itu, seperti kita tidak bisa membuktikan bahwa kesadaran yang kita miliki itu bersifat inheren, bahwa “si aku yang berfikir” itu bukanlah produk pengalaman atau evolusi belaka. Saya sih mikirnya begini: Sekalipun teori evolusi memungkinkan terjadinya sebuah proses maha kompleks dalam mana materi bisa berubah menjadi kesadaran yang mampu memahami asal-usulnya sendiri, teori ini menurut saya gagal menjawab pertanyaan “siapa”-kah Aku Yang Berpikir atau Cogito yang memungkinkan pemahaman dan kebebasan berkehendak untuk memahami itu “ada”.

Cinta sebagai kata kerja hanya bisa dimengerti sebagai ekspresi cinta jika dan hanya jika ada satu gagasan besar yang memberinya konteks: yakni Cinta itu sendiri. Kopulasi dan hasrat bereproduksi itu tidak ada kaitannya dengan cinta, bahkan untuk cinta eros sekalipun: Cinta melampaui itu, cinta adalah kegilaan, anggur yang memabukkan, yang tidak terbatas pada hasrat kedagingan. Lagipula, dalam terminologi Zizek/Lacan, yang seksual itu “bukan masturbasi dengan pasangan hidup”. Destruktif memang Cinta, tetapi demikian Kesejatian mewujud dalam kehidupan manusia yang diemansipasikan oleh Cogito-nya Descartes. Keadilan tidak selalu berwajah teduh, Kebaikan tidak selalu memuaskan semua orang. Cinta dengan C besar adalah “Siapa”, bukan sekedar “apa”, yang tidak bisa dilokasikan di mana tempatnya, tetapi selalu ada dalam kehidupan kita dalam berbagai wajah-Nya: konyol, kocak, romantis, tragis. Cinta adalah persoalan yang tidak selesai

politik dibalik terorisme

Rentetan peristiwa bom di tanah air yang selama ini terjadi membuktikan bahwa aparat Indonesia tidak berdaya menangani teror bom di dalam negeri. Namun beberapa waktu lalu Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dengan pemberitaan tewasnya Dr Azahari selaku teroris yang paling dicari selain Nordin M Top karena diduga sebagai otak dari berbagai kegiatan terorisme (pengeboman) yang selama ini terjadi di Indonesia. Indonesiapun (termasuk aparat yang terlibat) akhirnya mendapatkan banyak pujian dari berbgai kalangan dan juga luar negeri karena keberhasilannya membekuk salah satu otak kegiatan teroris di Indonesia. Namun pada akhirnya kejadian tadi mengundang sejumlah pertanyaan dari para pengamat intelijen di Indonesia terkait dengan kematian Dr Azahari yang terkesan tidak meyakinkan. Pro dan kontra seputar kematian Dr Azahari pun merebak dan banyak menghiasi media massa kala itu.

Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita perlu tahu apa yang disebut dengan terorisme. Menurut sebuah definisi, “Terrorism is a premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.” (Terorisme adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivaskan politis, ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Terorisme sendiri (dari bahasa latin terer, kengerian) adalah tindakan destruktif yang misterius. Terorisme adalah misteri karena kemunculannya yang mendadak dan menggetarkan.

Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror adalah menciptakan state of terror (suasana teror/ketakutan) dan juga rasa cemas dan chaos yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Ia mewakili kepentingan pihak small group yang tak mudah dilacak. Small group bisa berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan, misalnya ideologi, sosial-politik, agama, atau bahkan kepentingan pribadi sekalipun.

Berdasarkan definisi di atas, setidaknya terdapat empat unsur pokok dalam kegiatan terorisme yaitu:
• Tindak kekerasan yang terencana dengan rapi dan bukan bersifat spontan.
• Perbuatan yang berlatar belakang politis bukan kriminal tapi dalam pelaksanaannya kerap melakukan tindakan kriminal untuk mencapai tujuan. Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada.
• Sasaran terorisme kebanyakan adalah masyarakat sipil, bukan instalasi militer ataupun pasukan bersenjata karena tindak terorisme memilih sasaran yang dapat menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
• Dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan di dalam negeri (atau di luar negeri) yang merasa tidak puas atau bahkan marah terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara.

Hal itulah yang menyebabkan tindak terorisme sangat sulit dicegah. Jika kita amati setidaknya ada tiga penyebab yaitu mudah dilakukan dengan peralatan dan metode yang sederhana, merupakan pilihan utama bagi pihak yang inferior dalam perimbangan kekuatan, dan mempunyai daya tarik bagi individu dengan kondisi kejiwaan tertentu. Terorisme bisa berkembang setidaknya oleh tiga hal yaitu ada motivasi yang kuat, ada ruang gerak yang relatif luas, dan daya tangkal nasional yang kurang memadai (lemah).

Terlepas dari itu semua, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di negara ini, atau bahkan di dunia ini takkan pernah lepas dari yang namanya politik. Dari berbagai peristiwa terorime di dunia, terbukti bahwa kegiatan terorisme sangat erat hubungannya dengan politik. Politik merupakan wilayah konsep dan praksis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berupa sesuatu yang abstrak, namun dalam koridor tertentu masih dapat diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praksis, politik tidak hanya terjadi dalam wilayah yang kecil seperti desa, akan tetapi dapat juga terjadi di wilayah yang besar seperti dalam suatu negara atau bahkan antar negara sekalipun.

Menurut Harold D Lasswell, politik adalah perkara “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Ketika ditelusuri lebih jauh maka esensi dari definisi politik di atas adalah konflik, karena politik adalah perihal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan sehingga rentan sekali terjadi konflik. Sementara itu, kekuasaan sendiri mempunyai pengertian sebagai konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Dalam banyak kasus yang terjadi selama ini, politik sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, sehingga tidaklah mengherankan jika politik sering bermakna “kotor” dan identik dengan “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem yang demokratis, seharusnya politik mempunyai makna dan dipraktikkan secara positif dan rasional, karena dalam sistem ini politik adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Tapi ternyata tidak demikian halnya yang terjadi di lapangan. Sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa politik dan terorisme mempunyai hubungan yang erat sekali.

Ketika kita meyakini bahwa setiap tindak terorisme pasti berbau politis, maka hal ini akan mempengaruhi bagaimana cara kita menganalisa tindak terorisme yang terjadi selama ini, yang pasti berkaitan dengan kejadian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Kita juga harus memahami bahwa kegiatan terorisme adalah merupakan bagian dan bentuk dari kegiatan intelijen yang dilandasi perjuangan paham ideologi yang sangat berbeda dari kegiatan kriminal dan jenis gangguan keamanan lain yang bisa ditanggulangi oleh pihak kepolisian. Hal ini menyebabkan sebuah konsekuensi bahwa yang harus berada di barisan terdepan dalam mencegah tindakan terorisme sesungguhnya adalah aparat intelijen, karena merekalah yang diberikan kemampuan dan keterampilan untuk melakukan operasi clandestine dan kegiatan-kegiatan lain yang pada dasarnya tidak mungkin dilakukan oleh aparat kepolisian karena keterbatasan kemampuan dan wewenang yang mereka miliki. Meskipun sejak era orde baru dalam struktur organisasi di lembaga kepolisian Indonesia dibentuk fungsi intelijen, namun pengetahuan intelijen mereka adalah intelijen kriminal, bukan tentang pertahanan dan keamanan negara.

Cara kerja polisi untuk menghimpun informasi pun berbeda dengan cara kerja orang-orang intelijen, sebab jenis informasi yang dihimpun oleh kedua instansi sudah berbeda. Yang satu (intelijen) untuk kepentingan early warning, dan yang satunya lagi (polisi) untuk pemberkasan di pengadilan. Polisi bekerja dengan titik-tolak TKP (Tempat Kejadian Peristiwa). Secara garis besar polisi hanya bergerak setelah bom meletus. Selama bom belum meletus, polisi tidak bisa bergerak, apalagi menangkap orang. Di lain pihak, intelijen bekerja dengan asumsi-asumsi yang dibangun menurut hasil monitoring terus-menerus terhadap gerak-gerik orang atau kelompok yang dicurigai hendak melakukan tindak kejahatan. Intelijen berpedoman pada prinsip pre-emptive strike (sikat/ hancurkan dulu sebelum sasaran beraksi).

Partisipasi dari segenap masyarakat (Indonesia), optimalisasi kerjasama antar instansi yang berwenang dan terkait baik di tingkat regional, nasional maupun internasional, serta pemberdayaan peranan PBB sebagaimana mestinya sangat dibutuhkan untuk meng-counter tindak terorisme. Jangan sampai kita tertipu oleh propaganda yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terkesan menganggap orang/ kelompok/ negara lain sebagai teroris, tetapi justru pihak tersebutlah teroris yang sebenarnya. Tentu kita akan mengetahui hal tersebut ketika kita menggunakan akal kita untuk berfikir, bukan dengan emosi.

momentum komersiliasi ramadhan (telaah sudut pandang sosiologis)

Ramadhan memang selalu diharapkan akan membawa perbaikan. Ibarat pit stop dalam
sebuah balapan, setelah melewati bulan suci tersebut, setiap umat Muslim
semestinya mendapat energi baru untuk “berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebajikan” sebagaimana diperintahkan dalam Al Quran.

Sayangnya, kini Ramadhan tidak sebatas wahana untuk menyucikan jiwa dan
menjalankan berbagai ritual agama. Selama puluhan tahun, Ramadhan ikut
berproses dengan berbagai fenomena “global” sekaligus tradisi “lokal”.
Akibatnya, banyak praktik yang secara intrinsik tidak ada hubungannya dengan
agama, bahkan menurut sebagian orang tak kompatibel dengan ajaran agama itu
sendiri, justru lebih menonjol selama Ramadhan.

Merangsang konsumsi

Sosiolog University of Oxford, Walter Armburst (2004), menyimpulkan bahwa
Ramadhan selanjutnya menjadi peristiwa yang dapat dipergunakan untuk tujuan
yang multiguna. Ramadhan menjadi “sesuatu” yang lebih jauh bisa dipakai untuk
mewujudkan agenda yang berbeda-beda; mulai dari menjual produk, merangsang
konsumsi, hingga mempromosikan sikap politik.

Para pemasar kelas dunia sejak lama menandai kedatangan Ramadhan sebagai the
most important business period, dan tentu saja pada hari-hari besar agama lain.
Pada bulan ini umat Muslim memang tidak makan dan minum seharian, sebulan
penuh, tetapi ajaibnya konsumsi makanan meningkat signifikan (Indonesian
Consumers, 2004).

Akibat larut dalam budaya konsumen, Ramadhan tidak lagi sekadar bulan untuk
mengonstruksi kesalehan, merekatkan kasih sayang, atau mengurangi ketimpangan
sosial-ekonomi. Alih-alih menghilangkan kesenjangan, yang banyak kita baca
justru promosi paket menginap dan makan sahur seharga ratusan ribu rupiah di
hotel-hotel berbintang. Di layar kaca, penonton disuguhi kuis dengan hadiah
miliaran rupiah.

Terjadinya persinggungan antara gairah beragama masyarakat dan motif mengeruk
keuntungan pebisnis merupakan kecenderungan yang merata di negara- negara
Muslim. Modernitas dan globalisasi telah mereproduksi apa yang disebut oleh
para sosiolog sebagai “komersialisasi Ramadhan”, mirip komersialisasi yang
terjadi pada Hari Natal dan Hanukah (Islam in the Market Place: Does Ramadhan
Turn into Christmas?, Sandicki & Omeraki, 2006). Pada titik inilah muncul
seruan tentang perlunya purifikasi hal-hal ritual dari yang sekular.

Purifikasi tradisi

Terciptanya keadilan tetap mensyaratkan penegakan hukum tanpa pandang bulu
serta kehadiran institusi yang berwibawa. Demikian halnya, selain memerlukan
kedermawanan dan solidaritas sosial yang ditumbuhkan dengan ritual puasa,
kemiskinan hanya akan dapat diatasi dengan pilihan kebijakan yang tepat dan
sungguh-sungguh prorakyat miskin. Dalam hal ini, langkah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melarang pemberian parsel merupakan contoh yang baik sebagai
upaya kecil mengikis korupsi sekaligus membantu menegaskan posisi agama.

Seorang warga asing yang sudah 20 tahun bermukim di Arab Saudi mengaku enggan
keluar rumah di sore hari selama Ramadhan. Pasalnya, di negara tersebut setiap
bulan puasa angka kecelakaan lalu lintas meningkat signifikan akibat banyak
warganya tergesa-gesa pulang ke rumah menjelang buka puasa (The Washington
Times, 7/11/04).

Berpuasa harus menjadi kekuatan yang mendorong perubahan dan perbaikan berbagai
segi kehidupan. Menurut ulama besar Mesir, Yusuf al-Qardhawi, di antara hikmah
penting Ramadhan adalah menimbulkan kehendak (iradah) dan membangkitkan
semangat (Fiqh Shiam, 1995). Tekad dan semangat yang kuat inilah yang perlu
dipergunakan oleh umat Islam untuk merebut lagi “kendali diri”, dan bukan malah
sebaliknya semakin dikendalikan syahwat konsumtivisme sehingga melanggengkan
berbagai akhlak buruk di tengah-tengah masyarakat.

fenomena budaya ramadhan & masyrakat

Fenomena yang selalu menarik perhatian kala Ramadhan, bagi saya, adalah pernak-pernik yang menyangga Ramadhan itu sendiri. Pernak- pernik itulah yang menjadikan Ramadhan semakin menarik. Bahkan, Ramadhan menjadi komodifikasi yang sangat laku di pasaran. Berbagai media memanfaatkan momentum ini dengan berbagai kepentingan, ekonomi tentunya. Akan tetapi, saya tidak hendak memotret fenomena itu.

Ramadhan adalah masa di mana suguhan budaya berbaur dengan wahyu Tuhan, bernama puasa. Ramadhan tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa ia "dihadirkan" sebagai entitas yang sakral dengan bungkus yang profan. Dan satu lagi, Ramadhan di Indonesia adalah suatu yang sangat khas dan berbeda dengan Arab Saudi, misalnya, meski yang menjalankan ritual ini sama-sama Muslim. Kekhasan yang diekspresikan dalam pelbagai adat dan tradisi lokal masyarakat itulah yang saya maksud sebagai pernak-pernik Ramadhan itu.

Saya ingin mengajukan hipotesa bahwa di Indonesia telah terjadi semacam "Indonesianized Islam" dengan merujuk pada kemeriahan Ramadhan lengkap dengan secondary theological ceremonies yang membungkusnya dengan sangat rapi dan menjadikan perintah Tuhan itu semakin mengakrabi kehidupan masyarakat.

Banyak ekspresi ditunjukkan saat umat Islam Indonesia memasuki dan berada dalam orbit Ramadhan. Di salah satu kampung adat di Bali, umat Islam setempat menyambutnya dengan pawai rodat. Di Semarang ada tradisi dugderan yang tidak dikenal selain hanya untuk menyambut bulan Ramadhan. Kesenian dan tradisi itu bersama-sama hadir sebagai cara menyambut datangnya Ramadhan.

Lalu, ada tradisi membangunkan sahur, tadarus Al Quran malam hari, ngabuburit, bersalam-salaman saat Idul Fitri, makan ketupat bersama dan menyulut petasan (betapa pun aparat pontang-panting melarangnya). Kita juga kerap disuguhi pemandangan menghibur sesaat menjelang magrib. Mahasiswi berparas cantik berjejer di sepanjang jalan sembari menjajakan penganan untuk berbuka puasa.

Tradisi-tradisi ini, kecuali tadarus, sependek pengetahuan saya sangat partikular sifatnya. Ia adalah kearifan lokal yang merupakan kreativitas kultural bangsa Indonesia. Ritual seperti itu tidak akan pernah kita temukan di negara-negara lain.

Kehadiran local genus yang mewarnai Ramadhan itu menjadi ilustrasi bahwa Ramadhan telah menjadi ajang kontestasi budaya- budaya lokal. Budaya itulah yang sebenarnya menjadikan Ramadhan lebih berkarakter. Budaya masyarakat yang hadir bahkan tidak hanya sebagai faktor pelengkap, tetapi ia menjadi penyangga ibadah di bulan suci. Ibadah puasa menjadi sangat merakyat karena dilatari oleh budaya lokal yang menjadi semacam simple and logical bridge.

Dalam kajian-kajian sosiologi agama, menyembulnya dimensi budaya dalam spektrum ritual keagamaan memang tidak bisa diingkari. Karena sesungguhnya agama itu sendiri adalah kumpulan dari partikel- partikel budaya yang kemudian berdialektika dengan kehendak Tuhan.

Meski diyakini ada dimensi wahyu, agama tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa dalam prosesnya ada dimensi kemanusiaan dan lokalitas yang ikut memengaruhinya. Dan, kehadiran agama yang penuh dengan nuansa lokalitas justru semakin meneguhkan fungsi agama yang hadir untuk manusia, bukan Tuhan. Tak heran jika di dalamnya agama selalu meniscayakan kerja-kerja kebudayaan.

Di meja akademik, studi tentang relasi agama dan lokalitas atau budaya lokal biasanya menekankan pada aspek agama yang dipahami sebagai ekspresi kebudayaan sebuah masyarakat. Ruang demografis yang berbeda membuat konstruksi kebudayaan menjadi sangat variatif. Masing-masing memiliki konsepsi mengenai agama dalam frame masyarakat. Walhasil, agama dalam studi kebudayaan berada dalam wilayah antropologis dan sosiologis. Sifat yang empiris inilah yang biasanya menjadi titik pangkal kajian-kajian keagamaan.

Sebagai salah satu aspek penting dalam agama, ritual (puasa, shalat, dan lainnya) memiliki peranan penting sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama. Ritual merupakan jalan yang efektif untuk mentransformasi tempat dan waktu. Tempat-tempat ritual seperti masjid, gunung, kuil, gereja dapat ditransformasi ke dalam lokus kekuasaan dan kekaguman. (Mc Guire, 1992 : 16).

Aspek ritual memang menjadi catatan menarik dalam sebuah agama. Inilah yang mendorong E Thomas Lawson dan Robert N McCauley dalam Rethinking Religion mencoba merumuskan ritual dalam tiga kapasitas. Ritual bisa dimaknai, pertama-tama dalam artian ungkapan performatif. Yang kedua, ritual bisa juga diartikan sebagai komunikasi informasi. Dan yang terakhir, ritual dijelaskan sebagai sistem formal. (Lawson dan McCauley, 1990 : 45-49).

Jadi, selain menjadi "arena kontestasi" budaya, Ramadhan juga bisa kita mengerti dalam kapasitas yang seperti disitir Lawson dan McCauley, yakni sebagai sebuah tampilan, komunikasi, dan sistem formal. Ramadhan di Indonesia karenanya memiliki kompleksitas makna yang tinggi. Di sinilah yang menjadikan pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan di Indonesia menjadi lebih variatif dan berbeda dengan Ramadhan di tempat yang lain.

Ekspresi keagamaan yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia menunjukkan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia adalah masyarakat yang memiliki peradaban adiluhung yang patut kita jaga.

Ini menunjukkan bahwa Islam dan agama-agama lain dalam bentuknya yang berbeda, lahir dari hasil transaksi antara kehendak Tuhan dan kebudayaan manusia. Wajar jika kemudian banyak suara yang menghendaki agar dimensi partikular yang ada dalam Islam harus dipisahkan dari universalitasnya.

Meskipun demikian, ini bukan berarti kita tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam, tetapi tentu akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Karena bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat memaksa kita untuk memperbaharui cara pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai moral yang dikandungnya.

Fenomenologi Idul Fitri

Marx mengkritik agama sebagai refleksi keluhan mahluk yang tertindas, hati dunia yang tidak berperasaan dan jiwa dari kondisi yang mati. Sehingga ia kemudian menyimpulkan jika agama dan segala aktivitas sakralnya adalah candu masyarakat.

Hal ini barangkali disebabkan karena Marx menafsirkan agama berdasarkan realitas intitusi keagamaan pada masanya bukan berdasarkan pada prinsip idealitasnya. Pada masanya, sekitar abad ke-19, intitusi keagamaan memiliki pengaruh kuat di Eropa Barat namun keberadaannya tidak mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Aktivitas suci dan berbagai bentuk perayaan menjadi sarana meninabobokan masyarakat dalam penderitaan serta menanamkan kepatuhan terhadap sistem kapitalisme yang menindas. Turut menciptakan ruang sakral imajiner, menutupi ruang real profan yang penuh kebusukan.

Namun prinsip demikiankah yang sesungguhnya dimiliki agama dalam bentuk idealitasnya? Apakah agama sepenuhnya tidak memiliki semangat humanitas, yang terjetawahkan melalui kesadaran akan adanya Tuhan?

Oleh sebab itu melalui tulisan ini berusaha menginterpretasi salah satu bentuk aktivitas suci agama, yakni Hari Raya Idul Fitri, perayaan umat Islam yang berlangsung di akhir bulan suci Ramadhan, dalam kaitannya mencari makna humanisme dibaliknya. Sesungguhnya agama dan berbagai bentuk aktivitas sakralnya tidak selalu merusak determinasi kesadaran masyarakat terhadap realitas namun dapat meneguhkan esensi keberadaannya dalam hubungannya dengan manusia lainnya (Otherness) yang dijiwai spirit kemanusiaan, yang akan coba kita lihat dari makna yang ada dibalik perayaan Hari Raya Idul Fitri.

tulisan ini berusaha menafsirkan makna di balik Hari Raya Idul Fitri melalui pendekatan Hermeneutika Ontologi ala Gadamer. Adapun akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata herme>neuin yang berarti menafsirkan dan kata benda herme>neia, interpretasi (Palmer, 2003).

Hermeneutika pada awalnya merujuk pada prinsip-prinsip untuk menafsirkan Bibel. Orientasi hermeneutika awal adalah untuk mengangkat makna dari teks pada Bibel sebagaimana makna yang ada di benak penulisnya. Namun hermeneutika kemudian berkembang menjadi penafsiran objektif juga terhadap berbagai bentuk karya sastra non-Bibel. Oleh sebab itu hermeneutika memerlukan pemahaman terhadap gramatikal teks sebagaimana sebuah bahasa digunakan pada masa si penulis, kondisi psikologi dan latar belakang sejarah penulis untuk membantu mengangkat makna objektif penulis yang tersembunyi di balik teks (Palmer, 2003).

Namun dalam ranah filsafat fenomenologi persoalan hermeneutika meluas kepada persoalan penafsiran realitas kehidupan untuk memperoleh sebuah makna yang otentik dari manusia. yakni interaksi pengada dengan pengada lainnya untuk mengkonstruksi makna dari adanya. Sehingga hermeneutika menjadi sebuah aktivitas eksistensi hakiki manusia untuk memaknai keberadaannya dan segala sesuatu yang ada disekitarnya.

Oleh Gadamer, mengacu pada pendekatan fenomenologi menolak pemahaman objektif terhadap analisis teks, maupun materi ekspresi kebudayaan lainnya. Manusia dibatasi ekspresi bahasa yang berbeda sesuai dengan masanya, sebagaimana Weittgenstein mengkonsepsikan bahasa alat bagi manusia untuk menciptakan kesadaran manusia terhadap dunia, di mana bahasa memiliki aturan permainan yang tidak dipahami oleh mereka yang berada di luar aparatus pengunanya.

proses pemahaman adalah proses penyatuan horizon antara penafsir dan pemilik ekpresi, melalui teks dan materi kebudayaan lain yang merepresentasikan entitas kemanusiaan. Melalui proses dialog penafsir membiarkan pemiliki ekspresi kebudayaan berbicara mengenai dirinya kemudian si penafsir memproyeksikan makna terhadap materi kebudayaan tersebut berdasarkan batas-batas horizon kesadarannya, yang tidak luput dari berbagai prasangka. Oleh sebab itu pemahaman bukan hanya suatu reproduksi melainkan juga suatu tindakan produktif (Howard, 2000).

makna dibalik Hari Raya Idul Fitri sebagai sebuah bentuk ekpresi kebudayaan, mengacu pada world view dari umat Islam. Melalui hermeneutika tulisan ini mencoba memahami Idul Fitri

aspek dialog menjadi penting mengingat adanya keterbatasan untuk memahami secara utuh makna Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam itu sendiri, yang terkaitnya game of language keIslaman dengan berbagai kompleksitas pra-konsepsi sadar maupun alam ketidaksadaran yang serta merta menjadi aturan permain bahasa.

Dari perspektif hermenuetika Hari Raya Idul Fitri dapat ditafsirkan sebagai hari kemenangan manusia dari segala keterikatannya terhadap hawa nafsu serta mengalami penyatuan dengan Tuhan dan sesama. Dalam tradisi Kejawen hawa nafsu menjadi penghambat kesatuan manusia dengan Tuhan. Hawa nafsu dapat membutakan mata batin dalam menentukan jalan kebenaran ilahi yang bersifat meta-eksistensi duniawi. Sehingga pengekangan hawa menjadi mediasi pemurnian dimensi spiritual mendorong manusia mampu berinteraksi dengan sang ilahi.

Kenikmatan pemuasan hawa nafsu dapat membuat manusia terjerat dalam reduksi dimensi kehidupan, semata-mata hanya demi kesenangan ragawi sehingga pada akhirnya terjerat pada pemahaman dunia yang materialistis belaka. Tuhan menjadi terlupakan dalam segala aspek kehidupan manusia karena hidup menjadi tersekulerisasi dalam perspektif material, memiliki hukum yang lepas dari campur tangan Tuhan. Namun dampaknya adalah manusia mengalami kekeringan eksistensi, ada sesuatu yang raib namun tidak terjelaskan, menciptakan kehidupan tak bermakna, memunculkan kegilaan, ketakutan untuk hidup, kerusakan berbagai interaksi kemanusiaan ketika garis pemisah antara pemuasan hawa nafsu dan hasrat egoisme diri sangat tipis.

Oleh karena itu Hari Raya Idul Fitri juga dipahami sebagai hari kemenangan sesungguhnya, kembalinya kesadaran manusia akan Tuhan ketika hawa nafsunya terdeklanasi. Hal ini juga didukung kesadaran akan keterbatasan keberadaannya, tubuh yang segera lemah ketika tubuh kekurangan makanan dan minuman seakan mengingatkan manusia akan kerentaan eksistensinya. Kelemahannya juga mengingatkan keberadaannya sebagai mahluk yang bergantung terhadap segala sesuatu disekelilingnya. Ia tidak otonom, bahkan rentan terhadap ancaman bahkan kematian. Hal ini menyadarkan akan kebutuhannya akan Tuhan sebagai yang sesuatu Yang Maha Sempurna dan Otonom, juga mengingatkan pada kematian dan keterbatasan eksistensinya. Kematian adalah sebuah kepastian namun kemanakah ia kelak?

Disamping itu rasa lapar, penderitaan fisik juga mengingatkan manusia akan ketersiksaan sesamanya yang papa. Sehingga Hari Raya Idul Fitri juga menjadi momen kemenangan atas egoistis, yang membuat manusia mengingat akan penderitaan sesamannya. Id terkendalikan demikian juga kebutuhan terendah tersublimasikan pada kebutuhan lebih tinggi yang merepresentasi nilai-nilai cinta, altrusitik dan keperdulian.

Solidaritas kemanusiaan menjadi spirit yang turut ditumbuhkan di Hari Raya Idul Fitri ketika manusia menjadi sama dalam kepapaannya di masa bulan suci Ramadhan. Tidak ada manusia yang lepas dari kewajiban berpuasa, semuanya merasakan lapar, eksistensi penuh kelemahan, kesadaran akan pengalaman yang sama tentunya menumbuhkan kesadaran akan identitias kemanusiaan yang hakiki.

Pemberian zakat pada Hari Raya Idul Fitri menjadi ekspresi kesadaran akan prinsip kemanusiaan universal, bukan suatu aktivitas subordinat. Ketika masing-masing kembali pada realitas kehidupannya semula, namun telah terbentuk kesadaran penuh kebersamaan dalam hati sanubari setiap manusia walaupun kenyataan fisik dan kondisi sosial yang berbeda. Zakat menjadi simbosisasi kesadaran tanggung jawab terhadap kenyataan realitas fisik sesama manusia, yang melingkupi esensi manusia universal, yang kadang tidak bersahabat. Meskipun tidak menutupi kenyataan hakikat keberadaan manusia sebagai sebuah misteri yang bersifat transendental.

Maka disimpulkan Hari Raya Idul Fitri dapat dipahami sebagai pemurnian kesadaran manusia dari kekangan hawa nafsu yang menjernihkan kembali hubungan spritual manusia dengan Tuhan dan menanamkan spirit solidaritas terhadap sesama yang juga turut diperkuat oleh hal yang pertama. Kebersamaan dan humanitas tidak bertolak belakang dengan esensi dari Hari Raya Idul Fitri bahkan juga turut serta melembagakannya.