Minggu, 13 Desember 2009

destructive of love

Cinta itu semacam benalu atau bakteri jahat: merusak, egois dan mematikan. Ia sama dengan raja yang lalim, atau supir kopaja yang uedan: sewenang-wenang, eratik dan sering lepas-kendali. Dari zaman purba dulu, ada saja orang yang rela mampus demi cinta. Mati konyol, karena cinta. Romeo dan Juliet adalah dua karakter sastrawi yang direka pujangga besar Shakespeare untuk meledek milyaran orang yang jadi goblok karena CINTA. Orang pintar harus jadi bego untuk bisa jatuh cinta. Saya bukan kritikus sastra, dan Shakespeare jelas raksasa yang tidak akan lecet reputasi perenialnya karena kritik asal-asalan seorang bloger, tetapi ending kisah dua sejoli itu bagi saya konyol. Tragedi dan komedi memang beda tipis. Mungkin itu sebab dunia teater mengenal istilah tragic comedy, atau komedi yang tragis. Anda tertawa atau menangis ketika Romeo menenggak racun di samping kekasihnya yang sedang pingsan? Saya agak sedih sedikit, dan merasa adegan itu konyol – sebuah tragedi yang komedik. Romeo adalah Majnun dalam kisah Layla dan Majnun. Romeo jadi sinting karena cinta mati Juliet. Masalahnya, apakah cinta itu ada?.........

Suatu kali filsuf Jacques Derrida ditanya soal cinta. Saya ingat dia malah menganalisis pertanyaan yang diajukan: Cinta itu “apa” atau “siapa”? Kata Derrida, ketika Anda bertanya cinta itu “apa”, Anda diminta untuk menjelaskan mengapa cinta disebut cinta. Nah, ketika Anda bertanya cinta itu “siapa”, maka Anda diminta untuk menunjukkan di manakah cinta itu berada. Tetapi begini, saya coba saja, Derrida ingin menunjukkan bahwa pertanyaan “siapa” itu tidak terikat oleh esensi dari sesuatu yang dijadikan obyek/referensi dari pertanyaan. Misalnya begini, kawan Anda bisa saja bilang bahwa saat ini Anda adalah seorang pria muda, berusia sekitar 20-an, tampan, kaya dan baik hati. Tapi 30 tahun kemudian, kawan Anda akan bilang bahwa Anda itu seorang pria tua, berusia 50-an, jelek, miskin dan kikir. Apakah anda sudah bukan Anda lagi saat itu? Masih, bukan? Pertanyaan “Siapa Anda?” tidak akan bisa dijawab dengan biodata atau CV. Dengan kata lain, Gentole akan tetap menjadi Gentole meskipun Gentole tidak lagi menjadi seperti Gentole. Eksistensi Gentole itu inheren dalam pertanyaan “Siapakah Gentole?” dan musnahnya ke-Gentole-an Gentole, tidak membuat Gentole tidak lagi menjadi Gentole. Ini masalah filsafat dari zaman Yunani yang tidak kunjung selesai, kata Derrida. Wajar kalau membingungkan. Meski begitu, dua model pertanyaan yang dijelaskan Derrida bisa membantu memahami pertanyaan tentang cinta.

Cinta itu Kata Kerja

Bagi ilmuwan dalam bidang psikologi maupun biologi, cinta hanya “ada” sebagai kata kerja. Cinta adalah sebuah infatuasi: yakni kondisi di mana Anda sangat menyukai seseorang, menikmati betul perasaan yang menyelimuti setiap kali Anda berpikir tentangnya dan, seperti Romeo, merasa sangat rapuh bila suatu hari seseorang yang Anda obsesikan itu pergi. Cinta adalah hasrat memiliki atau hasrat seksual terhadap seseorang yang Anda anggap sebagai CINTA Anda. Cinta adalah mencintai dalam berbagai manifestasinya, seperti bilang “Aku sayang kamu”, gandengan tangan, kecupan di kening, pelukan, dan tentunya bercinta. Bagi psikolog, cinta dilihat sebagai gejala kejiwaan, sebuah mental disorder yang bisa dijelaskan dari perilaku aneh Romeo dan Juliet. Bagi ahli biologi, cinta sebenarnya hanya persoalan bau dan kecenderungan manusia untuk bereproduksi dan memperbaiki keturunan. Kasar memang, tetapi ilmuwan gendeng sudah melakukan sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa kualitas sperma orang tampan itu lebih baik dari sperma orang jelek. Tidak heran bila perempuan suka cowok ganteng. Anda tidak tersinggung, kan?

Nah, bagi ilmuwan cinta itu “apa”, bukan “siapa”. Cinta itu ada, tetapi bukan sebagai anak panah Cupid, melainkan serangkaian peristiwa yang mendefinisikan orang yang sedang di mabuk kepayang. Cinta sejati, yang katanya sudah ditakdirkan, itu hanya angan kosong belaka. Pendeknya, bagi ilmuwan cinta itu tidak ada, yang ada hanya kecenderungan manusia untuk mencintai dan bercinta. Saya, seperti biasa, tidak terlalu menyukai kepastian sains.

Cinta merupakan sebuah konsep yang tidak memiliki referensi jelas, tetapi kata itu ada dan tetap meminta referensi jelas secara paksa karena alasan-alasan eksistensial yang tidak bisa diremehkan. Maksudnya? Begini, kita tidak akan pernah bisa mencintai apabila kita tidak bisa percaya bahwa cinta itu ada dan tetap, seperti kita tidak bisa berbuat baik apabila Kebaikan Universal itu tidak ada. Memang kita tidak bisa membuktikan itu, seperti kita tidak bisa membuktikan bahwa kesadaran yang kita miliki itu bersifat inheren, bahwa “si aku yang berfikir” itu bukanlah produk pengalaman atau evolusi belaka. Saya sih mikirnya begini: Sekalipun teori evolusi memungkinkan terjadinya sebuah proses maha kompleks dalam mana materi bisa berubah menjadi kesadaran yang mampu memahami asal-usulnya sendiri, teori ini menurut saya gagal menjawab pertanyaan “siapa”-kah Aku Yang Berpikir atau Cogito yang memungkinkan pemahaman dan kebebasan berkehendak untuk memahami itu “ada”.

Cinta sebagai kata kerja hanya bisa dimengerti sebagai ekspresi cinta jika dan hanya jika ada satu gagasan besar yang memberinya konteks: yakni Cinta itu sendiri. Kopulasi dan hasrat bereproduksi itu tidak ada kaitannya dengan cinta, bahkan untuk cinta eros sekalipun: Cinta melampaui itu, cinta adalah kegilaan, anggur yang memabukkan, yang tidak terbatas pada hasrat kedagingan. Lagipula, dalam terminologi Zizek/Lacan, yang seksual itu “bukan masturbasi dengan pasangan hidup”. Destruktif memang Cinta, tetapi demikian Kesejatian mewujud dalam kehidupan manusia yang diemansipasikan oleh Cogito-nya Descartes. Keadilan tidak selalu berwajah teduh, Kebaikan tidak selalu memuaskan semua orang. Cinta dengan C besar adalah “Siapa”, bukan sekedar “apa”, yang tidak bisa dilokasikan di mana tempatnya, tetapi selalu ada dalam kehidupan kita dalam berbagai wajah-Nya: konyol, kocak, romantis, tragis. Cinta adalah persoalan yang tidak selesai

Tidak ada komentar: