Minggu, 13 Desember 2009

ketika eskalasi konflik Bank Century terus berlanjut

upaya pemerintah menyelamatkan Bank Century dari kehancuran akibat perampokan sistematis yang dilakukan pemiliknya berkembang cepat dan langsung masuk ke pusat medan politik yang panas.

Sejatinya, pengucuran dana (yang menurut Menkeu Sri Mulyani sebatas menaikkan CAR atau rasio kecukupan modal) sebesar Rp. 6,7 triliun hanya akan berbuntut pada pengusutan hukum di BPK, KPK atau kepolisian jika terindikasi ada oknum yang merekayasa pengucuran dana segar tersebut.

Artinya, dengan asumsi ada orang-orang di pemerintahan dan di manajemen Bank Century yang menikmati keuntungan secara haram dari pengucuran dana, maka kasus ini, seperti biasa, akan kembali menambah daftar panjang koruptor dan penjahat berkerah putih Indonesia.

Tapi ternyata yang merebak belakangan adalah konflik horizontal antara Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkeu Sri Mulyani dan Mantan Gubernur BI Boediono yang terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 2009-2014.

Jusuf Kalla yang merasa dirinya hendak dibenamkan dalam kasus ini langsung bereaksi. Dia segera mengoreksi tanggal audiensi antara dirinya dengan Sri Mulyani dan Boediono.

Sebelumnya Sri Mulyani mengaku melaporkan kasus Bank Century ke Wapres Jusuf Kalla tanggal 22 November atau sehari sebelum LPS mengeluarkan dana pertama sebesar RP. 2,7 triliun lebih. Tapi menurut JK, Menkeu baru menghadap kepadanya (berhubung Presiden SBY masih berada di AS) tanggal 25 November 2009.

“Jadi, seolah-olah saya tahu pengucuran dana itu. Padahal, saya tidak tahu sama sekali,” papar Wapres dalam sebuah jumpa pers yang dilengkapi dengan kronologi lengkap kasus Bank Century (KOMPAS, 1/9).

Selain itu, JK juga memaparkan bahwa Boediono tidak berani melaporkan pendiri Bank Century Robert Tantular yang jelas-jelas menipu banknya sendiri senilai Rp. 1,4 triliun ke pihak kepolisian.

Karena Bank Indonesia tidak berani berbuat apa-apa dengan alasan tidak ada landasan hukum, akhirnya Jusuf Kalla berinisiatif menginstruksikan kapolri menangkap Robert Tantular.

Langkah JK ini bisa ditanggapi dengan pikiran positif dan negatif.

Bagi yang berpikiran positif, apa yang dilakukan oleh JK adalah langkah yang tepat dalam rangka mendudukkan setiap perkara pada porsi yang sebenar-benarnya. Termasuk soal aspek kriminal dan langkah pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam menangani kejahatan berkerah putih yang selalu berulang dari zaman Edi Tansil hingga era Robert Tanular dengan nilai kerugian yang fantastik hingga triliunan rupiah.

Tapi langkah JK ini juga bisa dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap pemerintah terpilih. JK dinilai sedang berusaha mencitrakan sosok seorang Boediono sebagai pemimpin yang tidak tegas.

Bila ini berkembang terus tanpa kendali politis dari partai penguasa dan pemenang pemilu, tidak mustahil citra pemerintahan SBY-Boediono langsung merosot bahkan sebelum mereka berdua dilantik Oktober nanti.

Tapi apapun penilaian orang terhadap pernyataan-pernyata an keras JK seputar kasus Bank Century, saya sepakat 1000% dengan ucapkan JK berikut :

“Pendapat saya sejak awal solusi terhadap bank-bank bermasalah tidak dengan bail out karena sesuai pengalaman tahun 1998 sehingga merugikan negara sampai Rp 600 triliun dalam bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga kini bahkan sampai 20 tahun mendatang rakyat harus membayar dengan bunga dan pokok sebesar Rp 60 triliun melalui APBN. Padahal, seharusnya kasus itu menjadi tanggung jawab pengawas bank yang ketat dari Bank Indonesia,” ujarnya.

Pertanyaannya, akankah Robert Tanular menjadi penjahat terakhir yang berhasil menggerus uang negara dan masyarakat triliunan rupiah lewat jalur perbankan ?.

Atau besok kita kembali membaca kasus perampokan serupa ?.

kasus prita mulyasari dan pertarungan modal simbolik




Sabtu, 12 Desember 2009 | Banyak kalangan menduga, pemberitaan dan perhatian masyarakat terhadap kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional akan tenggelam akibat ingar-bingar pemberitaan skandal Bank Century, intrik-intrik para politisi, dan gerakan masyarakat antikorupsi terkait kasus Bank Century.

Oleh Pengadilan Tinggi Banten, Prita telah dijatuhi hukuman membayar denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni. Semula banyak orang telah melupakan kasus Prita. Namun, pembentukan Posko Koin Peduli Prita membuat perhatian masyarakat akan kasus Prita hidup lagi, bahkan kian besar.

Melukai keadilan

Para penggagas Posko Koin Peduli Prita itu secara otentik menemukan cara jitu menarik kembali perhatian masyarakat sekaligus membuka peluang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi mendukung Prita.

Memilih koin sebagai media menyalurkan bantuan memiliki nilai simbolik amat strategis. Koin, mata uang paling kecil, membuka ruang partisipasi luas dan meningkatkan keterhubungan warga dari berbagai kalangan untuk mendukung Prita.

Antusiasme warga dari berbagai kalangan (atas, menengah, hingga bawah, seperti pemulung dan tukang becak, maupun anak- anak TK dan SD untuk menyumbangkan koin untuk Prita) secara telak dan simbolik menunjukkan keberpihakan banyak kalangan terhadap Prita.

Dukungan warga yang disampaikan lewat berbagai jejaring sosial di dunia maya, seperti Facebook dan Twitter, hingga dukungan warga di jalanan menyumbangkan koin sampai hari ini terus berdatangan. Dukungan warga itu secara simbolik juga menunjukkan antipati masyarakat terhadap lembaga pengadilan dan lembaga lain yang dinilai "arogan" dan tidak adil.

Tuduhan pencemaran nama baik karena Prita mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh RS Omni dan dokter yang merawatnya melalui surat elektronik kepada sejumlah rekannya dalam sebuah milis, begitu pula penggunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat Prita, telah melukai rasa keadilan banyak kalangan.

Pada titik ini terlihat adanya pertarungan modal simbolik antara Prita (di mata banyak kalangan sebagai korban dan pihak yang lemah) melawan pengadilan dan RS Omni (yang di mata banyak warga mewakili lembaga yang berkuasa dan tidak adil).

Modal simbolik

Kerangka modal simbolik yang diperkenalkan sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), menarik digunakan untuk melihat lebih jauh kasus Prita melawan RS Omni.

Bourdieu mendefinisikan modal simbolik sebagai reputasi, rasa hormat, dan legitimasi yang dimiliki seseorang atau sebuah lembaga akibat akumulasi tindakan yang dilakukannya (Bourdieu, Social Space and Symbolic Power, 1989).

Sebagaimana umumnya hubungan rumah sakit dan pasien, hubungan Prita dengan RS Omni sejak awal bersifat asimetrik. RS Omni jelas memiliki modal ekonomi dan modal budaya (dalam bentuk kepakaran medis) yang jauh lebih besar ketimbang seorang pasien biasa seperti Prita.

Persoalan muncul saat Prita mengeluhkan kualitas pelayanan medis RS Omni di sebuah milis dan serta-merta ditanggapi pihak RS Omni yang kemudian diperkeruh oleh pengadilan karena menggunakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang kontroversial itu.

Banyak warga menilai, pihak pengadilan jauh lebih memihak RS Omni ketimbang Prita. Hubungan asimetrik antara Prita dengan RS Omni dan persepsi negatif banyak warga terhadap pengadilan yang tidak peka membuat Prita semakin mendapatkan dukungan.

Ungkapan ketidakpuasan

Kegigihan Prita melawan institusi yang jauh lebih besar (pengadilan dan RS Omni) membuat dukungan publik dan modal simbolik Prita semakin besar. Banyak warga biasa di Tanah Air memproyeksikan dirinya pada Prita (sebagai pihak lemah saat menghadapi kekuatan lembaga-lembaga besar) sekaligus menyampaikan ketidakpuasan mereka pada institusi besar yang berkuasa (rumah sakit dan pengadilan).

Masih sulit memperkirakan hasil akhir kasus Prita melawan RS Omni. Prita telah mendaftarkan surat kuasa kasasi atas perkara perdata yang dituduhkan kepadanya.

Namun, ada beberapa hal sosiologis yang telah amat jelas dalam kasus ini, yakni semakin besarnya modal simbolik Prita dan semakin kecilnya modal simbolik RS Omni, begitu pula modal simbolik institusi pengadilan di Tanah Air.

Dukungan banyak kalangan terhadap Prita juga menunjukkan bahwa solidaritas sosial dan modal sosial warga biasa di Indonesia masih cukup kuat dan bisa diandalkan menghadapi arogansi lembaga-lembaga besar.

Solidaritas dan modal sosial warga mendukung KPK melawan kepolisian dan Kejaksaan Agung, misalnya, cukup berperan menggemakan besarnya modal simbolik KPK (maupun Bibit Rianto dan Chandra Hamzah) yang sedikit banyak ikut berperan mendorong keluarnya surat keputusan penghentian penuntutan terhadap Bibit/Chandra.

Apakah lembaga-lembaga peradilan yang semakin kehilangan modal simbolik itu akan terus berlaku tidak peka terhadap warga biasa seperti Prita?

destructive of love

Cinta itu semacam benalu atau bakteri jahat: merusak, egois dan mematikan. Ia sama dengan raja yang lalim, atau supir kopaja yang uedan: sewenang-wenang, eratik dan sering lepas-kendali. Dari zaman purba dulu, ada saja orang yang rela mampus demi cinta. Mati konyol, karena cinta. Romeo dan Juliet adalah dua karakter sastrawi yang direka pujangga besar Shakespeare untuk meledek milyaran orang yang jadi goblok karena CINTA. Orang pintar harus jadi bego untuk bisa jatuh cinta. Saya bukan kritikus sastra, dan Shakespeare jelas raksasa yang tidak akan lecet reputasi perenialnya karena kritik asal-asalan seorang bloger, tetapi ending kisah dua sejoli itu bagi saya konyol. Tragedi dan komedi memang beda tipis. Mungkin itu sebab dunia teater mengenal istilah tragic comedy, atau komedi yang tragis. Anda tertawa atau menangis ketika Romeo menenggak racun di samping kekasihnya yang sedang pingsan? Saya agak sedih sedikit, dan merasa adegan itu konyol – sebuah tragedi yang komedik. Romeo adalah Majnun dalam kisah Layla dan Majnun. Romeo jadi sinting karena cinta mati Juliet. Masalahnya, apakah cinta itu ada?.........

Suatu kali filsuf Jacques Derrida ditanya soal cinta. Saya ingat dia malah menganalisis pertanyaan yang diajukan: Cinta itu “apa” atau “siapa”? Kata Derrida, ketika Anda bertanya cinta itu “apa”, Anda diminta untuk menjelaskan mengapa cinta disebut cinta. Nah, ketika Anda bertanya cinta itu “siapa”, maka Anda diminta untuk menunjukkan di manakah cinta itu berada. Tetapi begini, saya coba saja, Derrida ingin menunjukkan bahwa pertanyaan “siapa” itu tidak terikat oleh esensi dari sesuatu yang dijadikan obyek/referensi dari pertanyaan. Misalnya begini, kawan Anda bisa saja bilang bahwa saat ini Anda adalah seorang pria muda, berusia sekitar 20-an, tampan, kaya dan baik hati. Tapi 30 tahun kemudian, kawan Anda akan bilang bahwa Anda itu seorang pria tua, berusia 50-an, jelek, miskin dan kikir. Apakah anda sudah bukan Anda lagi saat itu? Masih, bukan? Pertanyaan “Siapa Anda?” tidak akan bisa dijawab dengan biodata atau CV. Dengan kata lain, Gentole akan tetap menjadi Gentole meskipun Gentole tidak lagi menjadi seperti Gentole. Eksistensi Gentole itu inheren dalam pertanyaan “Siapakah Gentole?” dan musnahnya ke-Gentole-an Gentole, tidak membuat Gentole tidak lagi menjadi Gentole. Ini masalah filsafat dari zaman Yunani yang tidak kunjung selesai, kata Derrida. Wajar kalau membingungkan. Meski begitu, dua model pertanyaan yang dijelaskan Derrida bisa membantu memahami pertanyaan tentang cinta.

Cinta itu Kata Kerja

Bagi ilmuwan dalam bidang psikologi maupun biologi, cinta hanya “ada” sebagai kata kerja. Cinta adalah sebuah infatuasi: yakni kondisi di mana Anda sangat menyukai seseorang, menikmati betul perasaan yang menyelimuti setiap kali Anda berpikir tentangnya dan, seperti Romeo, merasa sangat rapuh bila suatu hari seseorang yang Anda obsesikan itu pergi. Cinta adalah hasrat memiliki atau hasrat seksual terhadap seseorang yang Anda anggap sebagai CINTA Anda. Cinta adalah mencintai dalam berbagai manifestasinya, seperti bilang “Aku sayang kamu”, gandengan tangan, kecupan di kening, pelukan, dan tentunya bercinta. Bagi psikolog, cinta dilihat sebagai gejala kejiwaan, sebuah mental disorder yang bisa dijelaskan dari perilaku aneh Romeo dan Juliet. Bagi ahli biologi, cinta sebenarnya hanya persoalan bau dan kecenderungan manusia untuk bereproduksi dan memperbaiki keturunan. Kasar memang, tetapi ilmuwan gendeng sudah melakukan sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa kualitas sperma orang tampan itu lebih baik dari sperma orang jelek. Tidak heran bila perempuan suka cowok ganteng. Anda tidak tersinggung, kan?

Nah, bagi ilmuwan cinta itu “apa”, bukan “siapa”. Cinta itu ada, tetapi bukan sebagai anak panah Cupid, melainkan serangkaian peristiwa yang mendefinisikan orang yang sedang di mabuk kepayang. Cinta sejati, yang katanya sudah ditakdirkan, itu hanya angan kosong belaka. Pendeknya, bagi ilmuwan cinta itu tidak ada, yang ada hanya kecenderungan manusia untuk mencintai dan bercinta. Saya, seperti biasa, tidak terlalu menyukai kepastian sains.

Cinta merupakan sebuah konsep yang tidak memiliki referensi jelas, tetapi kata itu ada dan tetap meminta referensi jelas secara paksa karena alasan-alasan eksistensial yang tidak bisa diremehkan. Maksudnya? Begini, kita tidak akan pernah bisa mencintai apabila kita tidak bisa percaya bahwa cinta itu ada dan tetap, seperti kita tidak bisa berbuat baik apabila Kebaikan Universal itu tidak ada. Memang kita tidak bisa membuktikan itu, seperti kita tidak bisa membuktikan bahwa kesadaran yang kita miliki itu bersifat inheren, bahwa “si aku yang berfikir” itu bukanlah produk pengalaman atau evolusi belaka. Saya sih mikirnya begini: Sekalipun teori evolusi memungkinkan terjadinya sebuah proses maha kompleks dalam mana materi bisa berubah menjadi kesadaran yang mampu memahami asal-usulnya sendiri, teori ini menurut saya gagal menjawab pertanyaan “siapa”-kah Aku Yang Berpikir atau Cogito yang memungkinkan pemahaman dan kebebasan berkehendak untuk memahami itu “ada”.

Cinta sebagai kata kerja hanya bisa dimengerti sebagai ekspresi cinta jika dan hanya jika ada satu gagasan besar yang memberinya konteks: yakni Cinta itu sendiri. Kopulasi dan hasrat bereproduksi itu tidak ada kaitannya dengan cinta, bahkan untuk cinta eros sekalipun: Cinta melampaui itu, cinta adalah kegilaan, anggur yang memabukkan, yang tidak terbatas pada hasrat kedagingan. Lagipula, dalam terminologi Zizek/Lacan, yang seksual itu “bukan masturbasi dengan pasangan hidup”. Destruktif memang Cinta, tetapi demikian Kesejatian mewujud dalam kehidupan manusia yang diemansipasikan oleh Cogito-nya Descartes. Keadilan tidak selalu berwajah teduh, Kebaikan tidak selalu memuaskan semua orang. Cinta dengan C besar adalah “Siapa”, bukan sekedar “apa”, yang tidak bisa dilokasikan di mana tempatnya, tetapi selalu ada dalam kehidupan kita dalam berbagai wajah-Nya: konyol, kocak, romantis, tragis. Cinta adalah persoalan yang tidak selesai

politik dibalik terorisme

Rentetan peristiwa bom di tanah air yang selama ini terjadi membuktikan bahwa aparat Indonesia tidak berdaya menangani teror bom di dalam negeri. Namun beberapa waktu lalu Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dengan pemberitaan tewasnya Dr Azahari selaku teroris yang paling dicari selain Nordin M Top karena diduga sebagai otak dari berbagai kegiatan terorisme (pengeboman) yang selama ini terjadi di Indonesia. Indonesiapun (termasuk aparat yang terlibat) akhirnya mendapatkan banyak pujian dari berbgai kalangan dan juga luar negeri karena keberhasilannya membekuk salah satu otak kegiatan teroris di Indonesia. Namun pada akhirnya kejadian tadi mengundang sejumlah pertanyaan dari para pengamat intelijen di Indonesia terkait dengan kematian Dr Azahari yang terkesan tidak meyakinkan. Pro dan kontra seputar kematian Dr Azahari pun merebak dan banyak menghiasi media massa kala itu.

Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita perlu tahu apa yang disebut dengan terorisme. Menurut sebuah definisi, “Terrorism is a premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.” (Terorisme adalah tindak kekerasan yang terencana rapi dan bermotivaskan politis, ditujukan kepada target sipil dan dilancarkan oleh kelompok sempalan nasional atau agen-agen klandestin dengan tujuan untuk mempengaruhi khalayak). Terorisme sendiri (dari bahasa latin terer, kengerian) adalah tindakan destruktif yang misterius. Terorisme adalah misteri karena kemunculannya yang mendadak dan menggetarkan.

Dalam definisi lain dikatakan tujuan tindak teror adalah menciptakan state of terror (suasana teror/ketakutan) dan juga rasa cemas dan chaos yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Ia mewakili kepentingan pihak small group yang tak mudah dilacak. Small group bisa berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan, misalnya ideologi, sosial-politik, agama, atau bahkan kepentingan pribadi sekalipun.

Berdasarkan definisi di atas, setidaknya terdapat empat unsur pokok dalam kegiatan terorisme yaitu:
• Tindak kekerasan yang terencana dengan rapi dan bukan bersifat spontan.
• Perbuatan yang berlatar belakang politis bukan kriminal tapi dalam pelaksanaannya kerap melakukan tindakan kriminal untuk mencapai tujuan. Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada.
• Sasaran terorisme kebanyakan adalah masyarakat sipil, bukan instalasi militer ataupun pasukan bersenjata karena tindak terorisme memilih sasaran yang dapat menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
• Dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan di dalam negeri (atau di luar negeri) yang merasa tidak puas atau bahkan marah terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara.

Hal itulah yang menyebabkan tindak terorisme sangat sulit dicegah. Jika kita amati setidaknya ada tiga penyebab yaitu mudah dilakukan dengan peralatan dan metode yang sederhana, merupakan pilihan utama bagi pihak yang inferior dalam perimbangan kekuatan, dan mempunyai daya tarik bagi individu dengan kondisi kejiwaan tertentu. Terorisme bisa berkembang setidaknya oleh tiga hal yaitu ada motivasi yang kuat, ada ruang gerak yang relatif luas, dan daya tangkal nasional yang kurang memadai (lemah).

Terlepas dari itu semua, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di negara ini, atau bahkan di dunia ini takkan pernah lepas dari yang namanya politik. Dari berbagai peristiwa terorime di dunia, terbukti bahwa kegiatan terorisme sangat erat hubungannya dengan politik. Politik merupakan wilayah konsep dan praksis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berupa sesuatu yang abstrak, namun dalam koridor tertentu masih dapat diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praksis, politik tidak hanya terjadi dalam wilayah yang kecil seperti desa, akan tetapi dapat juga terjadi di wilayah yang besar seperti dalam suatu negara atau bahkan antar negara sekalipun.

Menurut Harold D Lasswell, politik adalah perkara “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Ketika ditelusuri lebih jauh maka esensi dari definisi politik di atas adalah konflik, karena politik adalah perihal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan sehingga rentan sekali terjadi konflik. Sementara itu, kekuasaan sendiri mempunyai pengertian sebagai konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Dalam banyak kasus yang terjadi selama ini, politik sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, sehingga tidaklah mengherankan jika politik sering bermakna “kotor” dan identik dengan “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem yang demokratis, seharusnya politik mempunyai makna dan dipraktikkan secara positif dan rasional, karena dalam sistem ini politik adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Tapi ternyata tidak demikian halnya yang terjadi di lapangan. Sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa politik dan terorisme mempunyai hubungan yang erat sekali.

Ketika kita meyakini bahwa setiap tindak terorisme pasti berbau politis, maka hal ini akan mempengaruhi bagaimana cara kita menganalisa tindak terorisme yang terjadi selama ini, yang pasti berkaitan dengan kejadian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Kita juga harus memahami bahwa kegiatan terorisme adalah merupakan bagian dan bentuk dari kegiatan intelijen yang dilandasi perjuangan paham ideologi yang sangat berbeda dari kegiatan kriminal dan jenis gangguan keamanan lain yang bisa ditanggulangi oleh pihak kepolisian. Hal ini menyebabkan sebuah konsekuensi bahwa yang harus berada di barisan terdepan dalam mencegah tindakan terorisme sesungguhnya adalah aparat intelijen, karena merekalah yang diberikan kemampuan dan keterampilan untuk melakukan operasi clandestine dan kegiatan-kegiatan lain yang pada dasarnya tidak mungkin dilakukan oleh aparat kepolisian karena keterbatasan kemampuan dan wewenang yang mereka miliki. Meskipun sejak era orde baru dalam struktur organisasi di lembaga kepolisian Indonesia dibentuk fungsi intelijen, namun pengetahuan intelijen mereka adalah intelijen kriminal, bukan tentang pertahanan dan keamanan negara.

Cara kerja polisi untuk menghimpun informasi pun berbeda dengan cara kerja orang-orang intelijen, sebab jenis informasi yang dihimpun oleh kedua instansi sudah berbeda. Yang satu (intelijen) untuk kepentingan early warning, dan yang satunya lagi (polisi) untuk pemberkasan di pengadilan. Polisi bekerja dengan titik-tolak TKP (Tempat Kejadian Peristiwa). Secara garis besar polisi hanya bergerak setelah bom meletus. Selama bom belum meletus, polisi tidak bisa bergerak, apalagi menangkap orang. Di lain pihak, intelijen bekerja dengan asumsi-asumsi yang dibangun menurut hasil monitoring terus-menerus terhadap gerak-gerik orang atau kelompok yang dicurigai hendak melakukan tindak kejahatan. Intelijen berpedoman pada prinsip pre-emptive strike (sikat/ hancurkan dulu sebelum sasaran beraksi).

Partisipasi dari segenap masyarakat (Indonesia), optimalisasi kerjasama antar instansi yang berwenang dan terkait baik di tingkat regional, nasional maupun internasional, serta pemberdayaan peranan PBB sebagaimana mestinya sangat dibutuhkan untuk meng-counter tindak terorisme. Jangan sampai kita tertipu oleh propaganda yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terkesan menganggap orang/ kelompok/ negara lain sebagai teroris, tetapi justru pihak tersebutlah teroris yang sebenarnya. Tentu kita akan mengetahui hal tersebut ketika kita menggunakan akal kita untuk berfikir, bukan dengan emosi.

momentum komersiliasi ramadhan (telaah sudut pandang sosiologis)

Ramadhan memang selalu diharapkan akan membawa perbaikan. Ibarat pit stop dalam
sebuah balapan, setelah melewati bulan suci tersebut, setiap umat Muslim
semestinya mendapat energi baru untuk “berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebajikan” sebagaimana diperintahkan dalam Al Quran.

Sayangnya, kini Ramadhan tidak sebatas wahana untuk menyucikan jiwa dan
menjalankan berbagai ritual agama. Selama puluhan tahun, Ramadhan ikut
berproses dengan berbagai fenomena “global” sekaligus tradisi “lokal”.
Akibatnya, banyak praktik yang secara intrinsik tidak ada hubungannya dengan
agama, bahkan menurut sebagian orang tak kompatibel dengan ajaran agama itu
sendiri, justru lebih menonjol selama Ramadhan.

Merangsang konsumsi

Sosiolog University of Oxford, Walter Armburst (2004), menyimpulkan bahwa
Ramadhan selanjutnya menjadi peristiwa yang dapat dipergunakan untuk tujuan
yang multiguna. Ramadhan menjadi “sesuatu” yang lebih jauh bisa dipakai untuk
mewujudkan agenda yang berbeda-beda; mulai dari menjual produk, merangsang
konsumsi, hingga mempromosikan sikap politik.

Para pemasar kelas dunia sejak lama menandai kedatangan Ramadhan sebagai the
most important business period, dan tentu saja pada hari-hari besar agama lain.
Pada bulan ini umat Muslim memang tidak makan dan minum seharian, sebulan
penuh, tetapi ajaibnya konsumsi makanan meningkat signifikan (Indonesian
Consumers, 2004).

Akibat larut dalam budaya konsumen, Ramadhan tidak lagi sekadar bulan untuk
mengonstruksi kesalehan, merekatkan kasih sayang, atau mengurangi ketimpangan
sosial-ekonomi. Alih-alih menghilangkan kesenjangan, yang banyak kita baca
justru promosi paket menginap dan makan sahur seharga ratusan ribu rupiah di
hotel-hotel berbintang. Di layar kaca, penonton disuguhi kuis dengan hadiah
miliaran rupiah.

Terjadinya persinggungan antara gairah beragama masyarakat dan motif mengeruk
keuntungan pebisnis merupakan kecenderungan yang merata di negara- negara
Muslim. Modernitas dan globalisasi telah mereproduksi apa yang disebut oleh
para sosiolog sebagai “komersialisasi Ramadhan”, mirip komersialisasi yang
terjadi pada Hari Natal dan Hanukah (Islam in the Market Place: Does Ramadhan
Turn into Christmas?, Sandicki & Omeraki, 2006). Pada titik inilah muncul
seruan tentang perlunya purifikasi hal-hal ritual dari yang sekular.

Purifikasi tradisi

Terciptanya keadilan tetap mensyaratkan penegakan hukum tanpa pandang bulu
serta kehadiran institusi yang berwibawa. Demikian halnya, selain memerlukan
kedermawanan dan solidaritas sosial yang ditumbuhkan dengan ritual puasa,
kemiskinan hanya akan dapat diatasi dengan pilihan kebijakan yang tepat dan
sungguh-sungguh prorakyat miskin. Dalam hal ini, langkah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melarang pemberian parsel merupakan contoh yang baik sebagai
upaya kecil mengikis korupsi sekaligus membantu menegaskan posisi agama.

Seorang warga asing yang sudah 20 tahun bermukim di Arab Saudi mengaku enggan
keluar rumah di sore hari selama Ramadhan. Pasalnya, di negara tersebut setiap
bulan puasa angka kecelakaan lalu lintas meningkat signifikan akibat banyak
warganya tergesa-gesa pulang ke rumah menjelang buka puasa (The Washington
Times, 7/11/04).

Berpuasa harus menjadi kekuatan yang mendorong perubahan dan perbaikan berbagai
segi kehidupan. Menurut ulama besar Mesir, Yusuf al-Qardhawi, di antara hikmah
penting Ramadhan adalah menimbulkan kehendak (iradah) dan membangkitkan
semangat (Fiqh Shiam, 1995). Tekad dan semangat yang kuat inilah yang perlu
dipergunakan oleh umat Islam untuk merebut lagi “kendali diri”, dan bukan malah
sebaliknya semakin dikendalikan syahwat konsumtivisme sehingga melanggengkan
berbagai akhlak buruk di tengah-tengah masyarakat.

fenomena budaya ramadhan & masyrakat

Fenomena yang selalu menarik perhatian kala Ramadhan, bagi saya, adalah pernak-pernik yang menyangga Ramadhan itu sendiri. Pernak- pernik itulah yang menjadikan Ramadhan semakin menarik. Bahkan, Ramadhan menjadi komodifikasi yang sangat laku di pasaran. Berbagai media memanfaatkan momentum ini dengan berbagai kepentingan, ekonomi tentunya. Akan tetapi, saya tidak hendak memotret fenomena itu.

Ramadhan adalah masa di mana suguhan budaya berbaur dengan wahyu Tuhan, bernama puasa. Ramadhan tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa ia "dihadirkan" sebagai entitas yang sakral dengan bungkus yang profan. Dan satu lagi, Ramadhan di Indonesia adalah suatu yang sangat khas dan berbeda dengan Arab Saudi, misalnya, meski yang menjalankan ritual ini sama-sama Muslim. Kekhasan yang diekspresikan dalam pelbagai adat dan tradisi lokal masyarakat itulah yang saya maksud sebagai pernak-pernik Ramadhan itu.

Saya ingin mengajukan hipotesa bahwa di Indonesia telah terjadi semacam "Indonesianized Islam" dengan merujuk pada kemeriahan Ramadhan lengkap dengan secondary theological ceremonies yang membungkusnya dengan sangat rapi dan menjadikan perintah Tuhan itu semakin mengakrabi kehidupan masyarakat.

Banyak ekspresi ditunjukkan saat umat Islam Indonesia memasuki dan berada dalam orbit Ramadhan. Di salah satu kampung adat di Bali, umat Islam setempat menyambutnya dengan pawai rodat. Di Semarang ada tradisi dugderan yang tidak dikenal selain hanya untuk menyambut bulan Ramadhan. Kesenian dan tradisi itu bersama-sama hadir sebagai cara menyambut datangnya Ramadhan.

Lalu, ada tradisi membangunkan sahur, tadarus Al Quran malam hari, ngabuburit, bersalam-salaman saat Idul Fitri, makan ketupat bersama dan menyulut petasan (betapa pun aparat pontang-panting melarangnya). Kita juga kerap disuguhi pemandangan menghibur sesaat menjelang magrib. Mahasiswi berparas cantik berjejer di sepanjang jalan sembari menjajakan penganan untuk berbuka puasa.

Tradisi-tradisi ini, kecuali tadarus, sependek pengetahuan saya sangat partikular sifatnya. Ia adalah kearifan lokal yang merupakan kreativitas kultural bangsa Indonesia. Ritual seperti itu tidak akan pernah kita temukan di negara-negara lain.

Kehadiran local genus yang mewarnai Ramadhan itu menjadi ilustrasi bahwa Ramadhan telah menjadi ajang kontestasi budaya- budaya lokal. Budaya itulah yang sebenarnya menjadikan Ramadhan lebih berkarakter. Budaya masyarakat yang hadir bahkan tidak hanya sebagai faktor pelengkap, tetapi ia menjadi penyangga ibadah di bulan suci. Ibadah puasa menjadi sangat merakyat karena dilatari oleh budaya lokal yang menjadi semacam simple and logical bridge.

Dalam kajian-kajian sosiologi agama, menyembulnya dimensi budaya dalam spektrum ritual keagamaan memang tidak bisa diingkari. Karena sesungguhnya agama itu sendiri adalah kumpulan dari partikel- partikel budaya yang kemudian berdialektika dengan kehendak Tuhan.

Meski diyakini ada dimensi wahyu, agama tidak bisa berkelit dari kenyataan bahwa dalam prosesnya ada dimensi kemanusiaan dan lokalitas yang ikut memengaruhinya. Dan, kehadiran agama yang penuh dengan nuansa lokalitas justru semakin meneguhkan fungsi agama yang hadir untuk manusia, bukan Tuhan. Tak heran jika di dalamnya agama selalu meniscayakan kerja-kerja kebudayaan.

Di meja akademik, studi tentang relasi agama dan lokalitas atau budaya lokal biasanya menekankan pada aspek agama yang dipahami sebagai ekspresi kebudayaan sebuah masyarakat. Ruang demografis yang berbeda membuat konstruksi kebudayaan menjadi sangat variatif. Masing-masing memiliki konsepsi mengenai agama dalam frame masyarakat. Walhasil, agama dalam studi kebudayaan berada dalam wilayah antropologis dan sosiologis. Sifat yang empiris inilah yang biasanya menjadi titik pangkal kajian-kajian keagamaan.

Sebagai salah satu aspek penting dalam agama, ritual (puasa, shalat, dan lainnya) memiliki peranan penting sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama. Ritual merupakan jalan yang efektif untuk mentransformasi tempat dan waktu. Tempat-tempat ritual seperti masjid, gunung, kuil, gereja dapat ditransformasi ke dalam lokus kekuasaan dan kekaguman. (Mc Guire, 1992 : 16).

Aspek ritual memang menjadi catatan menarik dalam sebuah agama. Inilah yang mendorong E Thomas Lawson dan Robert N McCauley dalam Rethinking Religion mencoba merumuskan ritual dalam tiga kapasitas. Ritual bisa dimaknai, pertama-tama dalam artian ungkapan performatif. Yang kedua, ritual bisa juga diartikan sebagai komunikasi informasi. Dan yang terakhir, ritual dijelaskan sebagai sistem formal. (Lawson dan McCauley, 1990 : 45-49).

Jadi, selain menjadi "arena kontestasi" budaya, Ramadhan juga bisa kita mengerti dalam kapasitas yang seperti disitir Lawson dan McCauley, yakni sebagai sebuah tampilan, komunikasi, dan sistem formal. Ramadhan di Indonesia karenanya memiliki kompleksitas makna yang tinggi. Di sinilah yang menjadikan pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan di Indonesia menjadi lebih variatif dan berbeda dengan Ramadhan di tempat yang lain.

Ekspresi keagamaan yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia menunjukkan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia adalah masyarakat yang memiliki peradaban adiluhung yang patut kita jaga.

Ini menunjukkan bahwa Islam dan agama-agama lain dalam bentuknya yang berbeda, lahir dari hasil transaksi antara kehendak Tuhan dan kebudayaan manusia. Wajar jika kemudian banyak suara yang menghendaki agar dimensi partikular yang ada dalam Islam harus dipisahkan dari universalitasnya.

Meskipun demikian, ini bukan berarti kita tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam, tetapi tentu akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi bagi peradaban Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian. Karena bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat memaksa kita untuk memperbaharui cara pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai moral yang dikandungnya.

Fenomenologi Idul Fitri

Marx mengkritik agama sebagai refleksi keluhan mahluk yang tertindas, hati dunia yang tidak berperasaan dan jiwa dari kondisi yang mati. Sehingga ia kemudian menyimpulkan jika agama dan segala aktivitas sakralnya adalah candu masyarakat.

Hal ini barangkali disebabkan karena Marx menafsirkan agama berdasarkan realitas intitusi keagamaan pada masanya bukan berdasarkan pada prinsip idealitasnya. Pada masanya, sekitar abad ke-19, intitusi keagamaan memiliki pengaruh kuat di Eropa Barat namun keberadaannya tidak mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Aktivitas suci dan berbagai bentuk perayaan menjadi sarana meninabobokan masyarakat dalam penderitaan serta menanamkan kepatuhan terhadap sistem kapitalisme yang menindas. Turut menciptakan ruang sakral imajiner, menutupi ruang real profan yang penuh kebusukan.

Namun prinsip demikiankah yang sesungguhnya dimiliki agama dalam bentuk idealitasnya? Apakah agama sepenuhnya tidak memiliki semangat humanitas, yang terjetawahkan melalui kesadaran akan adanya Tuhan?

Oleh sebab itu melalui tulisan ini berusaha menginterpretasi salah satu bentuk aktivitas suci agama, yakni Hari Raya Idul Fitri, perayaan umat Islam yang berlangsung di akhir bulan suci Ramadhan, dalam kaitannya mencari makna humanisme dibaliknya. Sesungguhnya agama dan berbagai bentuk aktivitas sakralnya tidak selalu merusak determinasi kesadaran masyarakat terhadap realitas namun dapat meneguhkan esensi keberadaannya dalam hubungannya dengan manusia lainnya (Otherness) yang dijiwai spirit kemanusiaan, yang akan coba kita lihat dari makna yang ada dibalik perayaan Hari Raya Idul Fitri.

tulisan ini berusaha menafsirkan makna di balik Hari Raya Idul Fitri melalui pendekatan Hermeneutika Ontologi ala Gadamer. Adapun akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata herme>neuin yang berarti menafsirkan dan kata benda herme>neia, interpretasi (Palmer, 2003).

Hermeneutika pada awalnya merujuk pada prinsip-prinsip untuk menafsirkan Bibel. Orientasi hermeneutika awal adalah untuk mengangkat makna dari teks pada Bibel sebagaimana makna yang ada di benak penulisnya. Namun hermeneutika kemudian berkembang menjadi penafsiran objektif juga terhadap berbagai bentuk karya sastra non-Bibel. Oleh sebab itu hermeneutika memerlukan pemahaman terhadap gramatikal teks sebagaimana sebuah bahasa digunakan pada masa si penulis, kondisi psikologi dan latar belakang sejarah penulis untuk membantu mengangkat makna objektif penulis yang tersembunyi di balik teks (Palmer, 2003).

Namun dalam ranah filsafat fenomenologi persoalan hermeneutika meluas kepada persoalan penafsiran realitas kehidupan untuk memperoleh sebuah makna yang otentik dari manusia. yakni interaksi pengada dengan pengada lainnya untuk mengkonstruksi makna dari adanya. Sehingga hermeneutika menjadi sebuah aktivitas eksistensi hakiki manusia untuk memaknai keberadaannya dan segala sesuatu yang ada disekitarnya.

Oleh Gadamer, mengacu pada pendekatan fenomenologi menolak pemahaman objektif terhadap analisis teks, maupun materi ekspresi kebudayaan lainnya. Manusia dibatasi ekspresi bahasa yang berbeda sesuai dengan masanya, sebagaimana Weittgenstein mengkonsepsikan bahasa alat bagi manusia untuk menciptakan kesadaran manusia terhadap dunia, di mana bahasa memiliki aturan permainan yang tidak dipahami oleh mereka yang berada di luar aparatus pengunanya.

proses pemahaman adalah proses penyatuan horizon antara penafsir dan pemilik ekpresi, melalui teks dan materi kebudayaan lain yang merepresentasikan entitas kemanusiaan. Melalui proses dialog penafsir membiarkan pemiliki ekspresi kebudayaan berbicara mengenai dirinya kemudian si penafsir memproyeksikan makna terhadap materi kebudayaan tersebut berdasarkan batas-batas horizon kesadarannya, yang tidak luput dari berbagai prasangka. Oleh sebab itu pemahaman bukan hanya suatu reproduksi melainkan juga suatu tindakan produktif (Howard, 2000).

makna dibalik Hari Raya Idul Fitri sebagai sebuah bentuk ekpresi kebudayaan, mengacu pada world view dari umat Islam. Melalui hermeneutika tulisan ini mencoba memahami Idul Fitri

aspek dialog menjadi penting mengingat adanya keterbatasan untuk memahami secara utuh makna Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam itu sendiri, yang terkaitnya game of language keIslaman dengan berbagai kompleksitas pra-konsepsi sadar maupun alam ketidaksadaran yang serta merta menjadi aturan permain bahasa.

Dari perspektif hermenuetika Hari Raya Idul Fitri dapat ditafsirkan sebagai hari kemenangan manusia dari segala keterikatannya terhadap hawa nafsu serta mengalami penyatuan dengan Tuhan dan sesama. Dalam tradisi Kejawen hawa nafsu menjadi penghambat kesatuan manusia dengan Tuhan. Hawa nafsu dapat membutakan mata batin dalam menentukan jalan kebenaran ilahi yang bersifat meta-eksistensi duniawi. Sehingga pengekangan hawa menjadi mediasi pemurnian dimensi spiritual mendorong manusia mampu berinteraksi dengan sang ilahi.

Kenikmatan pemuasan hawa nafsu dapat membuat manusia terjerat dalam reduksi dimensi kehidupan, semata-mata hanya demi kesenangan ragawi sehingga pada akhirnya terjerat pada pemahaman dunia yang materialistis belaka. Tuhan menjadi terlupakan dalam segala aspek kehidupan manusia karena hidup menjadi tersekulerisasi dalam perspektif material, memiliki hukum yang lepas dari campur tangan Tuhan. Namun dampaknya adalah manusia mengalami kekeringan eksistensi, ada sesuatu yang raib namun tidak terjelaskan, menciptakan kehidupan tak bermakna, memunculkan kegilaan, ketakutan untuk hidup, kerusakan berbagai interaksi kemanusiaan ketika garis pemisah antara pemuasan hawa nafsu dan hasrat egoisme diri sangat tipis.

Oleh karena itu Hari Raya Idul Fitri juga dipahami sebagai hari kemenangan sesungguhnya, kembalinya kesadaran manusia akan Tuhan ketika hawa nafsunya terdeklanasi. Hal ini juga didukung kesadaran akan keterbatasan keberadaannya, tubuh yang segera lemah ketika tubuh kekurangan makanan dan minuman seakan mengingatkan manusia akan kerentaan eksistensinya. Kelemahannya juga mengingatkan keberadaannya sebagai mahluk yang bergantung terhadap segala sesuatu disekelilingnya. Ia tidak otonom, bahkan rentan terhadap ancaman bahkan kematian. Hal ini menyadarkan akan kebutuhannya akan Tuhan sebagai yang sesuatu Yang Maha Sempurna dan Otonom, juga mengingatkan pada kematian dan keterbatasan eksistensinya. Kematian adalah sebuah kepastian namun kemanakah ia kelak?

Disamping itu rasa lapar, penderitaan fisik juga mengingatkan manusia akan ketersiksaan sesamanya yang papa. Sehingga Hari Raya Idul Fitri juga menjadi momen kemenangan atas egoistis, yang membuat manusia mengingat akan penderitaan sesamannya. Id terkendalikan demikian juga kebutuhan terendah tersublimasikan pada kebutuhan lebih tinggi yang merepresentasi nilai-nilai cinta, altrusitik dan keperdulian.

Solidaritas kemanusiaan menjadi spirit yang turut ditumbuhkan di Hari Raya Idul Fitri ketika manusia menjadi sama dalam kepapaannya di masa bulan suci Ramadhan. Tidak ada manusia yang lepas dari kewajiban berpuasa, semuanya merasakan lapar, eksistensi penuh kelemahan, kesadaran akan pengalaman yang sama tentunya menumbuhkan kesadaran akan identitias kemanusiaan yang hakiki.

Pemberian zakat pada Hari Raya Idul Fitri menjadi ekspresi kesadaran akan prinsip kemanusiaan universal, bukan suatu aktivitas subordinat. Ketika masing-masing kembali pada realitas kehidupannya semula, namun telah terbentuk kesadaran penuh kebersamaan dalam hati sanubari setiap manusia walaupun kenyataan fisik dan kondisi sosial yang berbeda. Zakat menjadi simbosisasi kesadaran tanggung jawab terhadap kenyataan realitas fisik sesama manusia, yang melingkupi esensi manusia universal, yang kadang tidak bersahabat. Meskipun tidak menutupi kenyataan hakikat keberadaan manusia sebagai sebuah misteri yang bersifat transendental.

Maka disimpulkan Hari Raya Idul Fitri dapat dipahami sebagai pemurnian kesadaran manusia dari kekangan hawa nafsu yang menjernihkan kembali hubungan spritual manusia dengan Tuhan dan menanamkan spirit solidaritas terhadap sesama yang juga turut diperkuat oleh hal yang pertama. Kebersamaan dan humanitas tidak bertolak belakang dengan esensi dari Hari Raya Idul Fitri bahkan juga turut serta melembagakannya.

semua itu omong kosong

Cinta, cinta, cinta
Tuhan, Tuhan, Tuhan
Kebenaran, kebenaran, kebenaran
Rasa hebat jika aku bisa mendengungkannya
Rasa bangga jika aku bisa mengajarkannya
Rasa suci jika aku merengkuh mereka

Tapi..
Apakah rasa-rasa itu tujuanku?
Hmmm…
Berpikir, berenung, berefleksi
berduga-duga, bersangka-sangka
Ber… berantakan aku!

Tidak.. tidak..
Kalau lah itu tujuanku,
Lantas apa usahaku?
Mendengungkannya? Mengajarkannya?
Merengkuhnya?
Gila… bisakah aku?
Salah!: mungkinkah aku?
Atau lebih tepatnya: Cukup sucikah aku?

Aku sadar akan diriku yang profan
Aku fana, aku tak bermakna,
Aku gegar otak, aku retak
Aku hanya tabularasa, kertas kosong yang menunggu ditulisi
Aku hanya seonggok daging penuh nafsu,
Yang ironisnya tak tahu hendak menafsui apa
Aku hanya… aku

Bisakah aku yang aku ini merengkuh mereka
Mereka yang absolut
Mereka yang sakral
Mereka transendental
Hahahahha…
Hmmm.. jam berapa ini?
Jangan-jangan aku mimpi di siang bolong

Bisa saja pungguk merindukan bulan
Bisa saja si unyil berambisi memeluk gunung

Bisa saja hadir cinta sejati romeo n juliet
Bisa saja sinetron,film2 drama percintaan happy ending? Hahaha.. bisakah mereka???
Hahahaha.. Hahahaha..

Siapa yang ku tertawakan?
Aku pun seperti mereka
Aku ingin tahu rahasia Ilahi
Aku ingin memahami kebenaran
Aku ingin memiliki cinta sejati
Bisakah aku? Mungkinkah aku?
Cukup sucikah aku?

Ahh.. air mata ini jatuh lagi
Aku sadar semua sia-sia
Tidak mungkin aku yang profan bisa menampung yang sakral
Tidak mungkin aku yang retak bisa menampung yang absolut
Sedih, kalut, kecewa,
Bimbang, ragu,
Gelisah, tak karuan,
Marah!!!

Aku marah!
Aku dibohongi!
Mereka bilang ini Tuhan!
Dia bilang ini cinta!
Kalian bilang ini kebenaran!
You guys are talking shit!

Ahhhh…. Hilang peganganku..
Terhuyung-huyung batinku akan ketidakpastian ini
Sempoyongan rasioku dibuatnya
Aku butuh keteraturan!
Aku butuh tatanan!
Aku butuh penjelasan akan semua ini!
Aku butuh rasionalisasi!
Aku butuh keutuhan!
Aku butuh kehangatan!

Aku takut akan ketidak pastian ini
Aku takut akan irasionalitas ini
Aku khawatir akan keretakan ini
Aku sekarat akan kedinginan ini

Aku….
Aku harus balas dendam!
Kupungut puing-puing rasioku
Kusatukan serpihan-serpihan hatiku
Kurapatkan retakan-retakan batinku
Kembalikan cintaku, Tuhanku, kebenaranku!
“Tidak ada?”

Hahahahhahahaha…
Memang tidak ada!
Cinta hanya dongeng!
Tuhan itu mistis!
Kebenaran hanya retorika!

Sialaaaaaaaannnnnn
Tapi aku butuh mereka!
Aku butuh mereka!
Aku butuh mereka!
Kemarikan!
Dada ini sesak,
Mataku memerah ingin menitikan air mata
Bulu kuduk merinding
Sesak tenggorokanku

Lalu apa?
Sialan, pertanyaan ini membuatku malu
Malu aku dibohongi
Malu aku ditipu
Malu aku dimuslihati
Malu aku tak tahu harus bagaimana
Malu aku masih hidup

Tunggu dulu..
Hidup? Ya.. hidup
Hahahaha…
Aku hidup! Aku masih hidup!
Hahahaha…
Tak pernah aku sesenang ini

Apalah kebenaran
Siapalah tuhan
Bagaimanalah cinta
Yang penting aku hidup!

Menggelegak jantungku
Mendidih darahku
Urat nadiku sontak tegang
Jantungku berdebar-debar kencang
Tubuhku bangkit lagi
Sendi-sendiku mulai bergairah
Mataku mulai berbinar-binar
Alisku memicingkan dirinya
Nafasku memburu
I’m alive!

Tandanya…
Bersiaplah wahai cinta, Tuhan, dan kebenaran
Kukejar kau sampai keujung dunia
Melewati tembok cina
Mendaki patung liberti
Menyelami laut mati
Mengitari borobudur

Kutangkap kalian!
Kurengkuh kalian!

Nietche & Freud = destruction of love

Nietzsche menegaskan bahwa apa yang oleh orang-orang disebut cinta tak lain dari sebentuk egoisme yang ditutup-tutupi dengan ekspresi ‘sok peduli’ atau ‘pura-pura rela berkorban’. Pada dasarnya, setiap orang digerakkan oleh kehendak untuk berkuasa. Hubungan percintaan pun pada dasarnya adalah hubungan kuasa. Mereka yang terlibat dalam hubungan cinta berusaha untuk menguasai orang yang diakui sebagai yang dicintai. Setiap orang berusaha untuk menguasai hasrat orang lain dan itu sangat menonjol dalam cinta. Cinta dalam pandangan Nietzsche merupakan bentuk lain dari perbudakan, bahkan bentuk yang paling parah dari perbudakan. Dalam hubungan cinta, orang ingin menguasai hasrat orang lain, bukan hanya sekedar menguasai tubuh dan pikiran. Hasrat yang menjadi dasar dari kehendak merupakan bagian paling vital dari manusia. Menguasai hasrat seseorang berarti menguasai seluruh diri orang itu, menguasai seluruh aktivitas dan kehidupannya. Hubungan cinta menuntut orang hanya mengarahkan hasratnya kepada orang yang dicintai, menuntut keseluruhan jiwa, raga dan kehidupan dari orang yang terlibat di dalam, tanpa syarat, tanpa mempertimbangkan kondisi apa pun. Total. Ya, bagi Nietzsche, cinta adalah bentuk totalitarianisme paling ekstrem.

Pemikiran Nietzsche itu punya kesamaan dengan pemikiran Jean Paul Sartre tentang keberadaan orang lain sebagai pembatas kebebasan dan peruntuh eksistensi. Dengan asumsi manusia memiliki kebebasan mutlak, maka kehadiran orang lain yang juga bebas mutlak akan menjadi hambatan bagi seseorang untuk mewujudkan kebebasannya. “Neraka adalah orang lain”, begitu Sartre menegaskan. Hubungan antar subjek tidak mungkin terjadi, yang ada selalu hubungan saling mengobjekkan. Begitu pula dalam cinta, tak mungkin terjadi hubungan intersubjektif karena setiap orang akan menampilkan subjektivitasnya di hadapan orang lain yang dipandangnya sebagai objek.

Freud menampilkan pemikiran yang lebih kongkret dari Nietzsche. Ia memahami manusia pada dasarnya hanya digerakkan oleh dua motif yaitu naluri hidup atau eros dan naluri mati atau tanatos. Prinsip dasar yang merupakan bawaan biologis adalah prinsip kenikmatan. Orang bertingkahlaku untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari kesakitan. Mekanisme yang bekerja dalam psikis manusia adalah pengurangan ketegangan. Makan, minum, seks, bekerja dan sebagainya merupakan wujud dari usaha pengurangan ketegangan. Dengan dasar itu, cinta pun dipahami sebagai proses pengurangan ketegangan. Freud mereduksi cinta menjadi seks belaka dengan eros sebagai daya dorongnya. Tak ada cinta tanpa syarat, cinta murni, atau cinta sebatas ide seperti yang disebutkan oleh Plato atau yang biasa disebut cinta platonik. Seperti juga Nietzsche, pandangan Freud tentang cinta menolak konsep cinta dari Sokrates dan Plato. Cinta menurut Freud didasari oleh kebutuhan badaniah, kebutuhan yang bersumber pada naluri yang ingin mendapat pemuasan segera. Ujung-ujungnya cinta hanyalah pemuasan erotik dan pada berbagai tindakan seksual ekstrem, cinta juga dibumbui oleh dorongan destruktif dari tanatos.

Banyak lagi pemikiran tentang cinta yang pada intinya menolak cinta atau mempersamakan cinta dengan nafsu, hasrat, kenikmatan jasmaniah, atau eksperimentasi dan eksplorasi kemungkinan perolehan kenikmatan dari tubuh. Lalu ada juga yang mereduksi cinta menjadi sekedar turunan dari dorongan-dorongan lain seperti kekuasaan, perolehan keuntungan, tawar-menawar sesuai dengan hukum ekonomi, negosiasi yang didasari status sosial dan kuantitas materi, juga perwujudan dari dorongan agresi yang lebih dapat diterima masyarakat dan dinikmati. Pendapat-pendapat itu memperoleh cukup banyak dukungan meski bukan pendapat yang berlaku umum dalam berbagai masyarakat. Cinta dalam pemahaman seperti ini membuat orang-orang jadi sembarangan mengumbar perasaaan, hasrat seksual dan kehilangan kepekaan akan cinta yang memadai. Reduksi cinta sebatas tubuh, hasrat memuaskan naluri atau kehendak berkuasa membutakan orang pada kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas bisa diperoleh dari cinta. Reduksi itu menutup jalan bagi kekuatan-kekuatan cinta membangun peradaban dan kebudayaan yang lebih baik bagi kehidupan manusia.

Sumpah Pemuda : Sebuah Transformasi Nasionalisme

ADA beberapa peristiwa masa lampau yang berskala nasional di bulan Oktober dan selalu diperingati. Karena memiliki makna historis yang kuat dan mendalam pengaruhnya terhadap perjalanan sejarah negeri tercinta ini, yakni peringatan hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 5 Oktober, peringatan hari kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktoter dan peringatan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober. Dari ketiga peringatan nasional tersebut, ada satu peristiwa yang selalu diperingati tanpa mengedepankan ''master pelaku'' sejarah sebagai ikon untuk dilibatkan secara formal dalam pelaksanannya, yaitu pemuda di setiap peringatan sumpah pemuda.

Kalau kita merujuk pendapat Max Weber tentang peranan pemuda secara umum, pemuda tidaklah pernah diuntungkan, karena sejarah perjuangannya kelak dihargai atau dikutuk oleh generasi penerusnya, adalah tergantung apakah ia bisa dan mampu menjadi ''sesuatu'' yang lain dari zaman yang besar pendahulunya atau tidak.

Dalam kontek ke-Indonesiaan, asumsi sosiologi Jerman itu bisa benar juga bisa tidak. Sebab pemuda Indonesia pernah mencatat prestasi-prestasi gemilang dalam perjalanan sejarahnya, antara lain peristiwa 28 Oktober 1928 yang dipelopori Boedi Oetomo yang mencetuskan kesepakatan dari hasil kerapatan para pemuda Indonesia yang bertekat: Berbangsa satu, Bangsa Indonesia, Berbahasa satu, Bahasa Indonesia, Bertanah Air satu, tanah air Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 23 juli 1973, sebanyak 34 orang muda plus 14 organisasi kepemudaan berkumpul di Gedung Joeang'45 Jakarta, membentuk sebuah wadah bagi organisasi kepemudaan untuk menunjukkan eksistensi pemuda Indonesia yang kemudian diberi nama Komite Nasional Pemuda Indonesia yang disingkat KNPI.

Keberadaan mereka tidak lain adalah ingin memperlihatkan bahwa pemuda saat itu bukanlah ''pengekor", sekaligus ingin berbuat sesuatu untuk negara dan bangsanya melalui sebuah kesepakatan kelahirannya yang dikenal dengan ''Deklarasai Pemuda Indonesia".Suatu realitas historis yang tak dapat dibantah bahwa setiap masa dan zaman senantiasa memperlihatkan peran pemuda. Meskipun, terkadang peran historis itu fluktuatif sifatnya, tapi jelas kaum muda selalu menjadi ''kunci'' bagi terjadinya perubahan. Dalam membuat dan merekayasa perubahan-pemuda menjadi intens-bahkan penentu.

Hal itu, dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan, motivasi, kepedulian dan rentang waktu dimana pemuda berada dan memerankannya. Jika persepsi semacam itu disepakati, maka pergumulan pemuda dalam menkonstruksi masa depan bangsa dituntut tumbuhnya sikap yang realistis dalam menilai sejarah masa lalu, dan situasi masa kini. Satu dari pergumulan kaum muda kita adalah ''memproklamirkan" terciptanya negara RI. Cita-cita itu terwujud, dan bukti sejarah yang lain menyatakan bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan komitmen pemuda untuk mewujudkan Indonesia Raya, melalui Sumpah Pemuda.

Urgensi dan posisi strategis kaum muda itulah jika dikaitkan dengan dimensi kesejarahan masa lalu, kekinian dan ''ke-akan-an'' dapat diletakkan dalam beberapa basis dialogis. Pertama, pemuda bukanlah pewaris masa lampau, tapi merupakan pembaharu dalam kehidupan bangsa. Kedua, pemuda bisa menjadi akses tapi juga sekaligus ancaman. Ketiga, pemuda dituntut untuk selalu mengaktualisasikan potensi dirinya. Keempat, pemuda dapat menjadi kekuatan destruktif terhadap stabilitas sebuah bangsa. Kelima, pemuda menjadi kekuatan alternatif, karena kekritisan pemikiran dan gagasannya dalam pergumulan bangsa.

Transisi dan transformasi kehidupan pemuda semacam itu, merupakan indikasi bangsa Indonesia telah dan sedang memasuki abad renaisance. Artinya, pemuda Indonesia bukan saja menjadi kekuatan kebersamaan dalam mengusir dan menghalau penjajahan kolonialisme - imperalisme - karena perasaan senasib seperjuangan - untuk mencapai kemerdekaan. Tapi lebih jauh untuk mengantarkan negara ini menggapai cita-cita kemerdekaan yang adil dan makmur dalam suasana berkeadilan dan berkedaulatan rakyat.

Tranformasi kesejarahan berpuncak dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sedangkan transformasi universal yang komprehensif dipertaruhkan kepada solidaritas terhadap sesama manusia Indonesia yang saling menghargai akan hakekat dan martabat kemanusiaan lewat kehadiran kehidupan yang lebih baik, yaitu pembangunan, guna mencapai keadilan dan kemakmuran yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.

diantara Cicak, Buaya, dan Godzila

Isu yang melanda kepolisian dan teramat krusial selain terorisme adalah betapa tidak solidnya dan tidak akurnya POLISI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mau tidak mau kosa kata binatang “cicak melawan buaya” adalah sebuah istilah yang tidak pantas digunakan dan tidak beretika, apalagi diucapkan oleh pejabat kepolisian sekelas Kombes (Pol.) Susno Duadji selaku Kabareskrim Mabes Polri. Perkara telepon dan sejumlah uang yang ada di dalamnya menjadi bahan perdebatan, bahkan di-non-aktif-kannya Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah ditengarai masih berbau permainan politis Kepolisian dan KPK. Tentu saja korupsi dan teroris sama-sama tidak kelihatan, tetapi tikus-tikus yang bergentayangan ini menyengsarakan rakyat banyak terutama mereka yang terkena imbas koruptor. Kita tentunya tak harus menjadi gila tatkala melihat beberapa nasabah Bank Century yang kehabisan akal karena bank tersebut bermasalah, dan permasalahan ini jugalah yang melandasi perseteruan KPK dan Polri. Kabinet yang dipimpin (lagi-lagi...) oleh incumbent hendaknya melihat adanya sistematika dan penegasan yang benar-benar tegas dan TIDAK TEBANG PILIH ! terhadap korupsi, diharapkan pula incumbent harus dapat mencegah munculnya skenario-skenario ‘tidak wajar’ yang ada dalam tubuh setiap lembaga penegak hukum semacam : “CICAK vs BUAYA” atau “ASMARA SEGITIGA LAPANGAN GOLF”

Penggunaan nama-nama binatang terutama reptile di media massa marak diperbincangkan berkaitan dengan wawancara penegak hukum dengan media. Kita hanya dapat menduga-duga istilah-istilah yang dipergunakan itu mengarah kemana, tetapi mestinya mereka sadar bahwa posisi saat ini sebagai pejabat publik, sehingga setiap ucapan dan gerak-geriknya akan dilihat dan perhatikan masyarakat luas dan memiliki dampak pada kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum di negeri ini. Dalam sebuah wawancara, sebagaimana di tulis di sebuah media cetak nasional, kita sudah dapat memastikan siapa yang dianggap cicak dan mana yang mengaku sebagai buaya. Kalau nama binatang tersebut dianggap mewakili institusi-institusi tertentu, jelas ada ketidak seimbangan dari sisi kekuatan yang dimiliki dan ada arogansi yang sangat kental serta persaingan yang sangat kuat. Apakah ini yang diamanatkan oleh Undang-undang? Tentunya tidak. Namun kalau ini benar, maka ini sangat memprihatinkan dan mengecewakan sekali.

Seperti ditulis Majalah Tempo edisi terbaru 6-12 Juli, dalam rubrik wawancara Susno menjawab pertanyaan soal pihak-pihak yang berprasangka negatif pada dia, dalam konteks isu penyadapan yang tengah hangat.
“…Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa,” ujar Susno seperti dikutip dari Majalah Tempo.
Bisakah Anda jabarkan soal isu cicak dan buaya itu? “Tidak ada jabar-jabaran. Saya hanya bilang begitu, saya hanya bilang begitu. Saya tidak menyebut lawannya siapa,” ujar mantan Kapolda Jabar yang ramah kepada wartawan ini.
Dia kembali menegaskan bahwa ucapannya itu jelas-jelas tidak menunjuk suatu lembaga. “Enggak ada, terserah Anda menyebutnya siapa. Kalau Anda menyebut buayanya siapa, cicaknya siapa tanya saja sama yang menyebut. Saya tidak menyebut,” tutupnya.

Dari kutipan kutipan di atas, kalimat terakhir yang terlontar, seolah-olah Susno baru menyadari bahwa ucapan-ucapan sebelumnya ternyata mudah di tebak oleh para kuli tinta. Namun kita tahu, dia bukanlah orang bodoh dan sangat mungkin pernyataan-pernyataan itu memang di sengaja untuk memberikan warning pada sang cicak. Orang yang mendengar perkataan tersebut ataupun membaca tulisan ini, akan bertanya-tanya “ada apa antara KPK dan Kepolisian?” Dalam minggu-minggu terakhir ini, istilah cicak dan buaya muncul kembali di media eletronik maupun media cetak dengan judul lebih memprovokasi “Cicak vs Buaya”, seolah memang ada persaingan atau pertempuran dari keduanya. Namun hal ini tidak dapat disalahkan karena informasi atau berita yang sampai di masyarakat memang demikian. Kalau dibaca kutipan dibawah ini, maka kita akan memiliki opini yang sama.

Hari ini, Polisi memeriksa tiga orang Komisi Pemberantasan Korupsi. Termasuk diantaranya Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Khaidir Ramli. Mereka diperiksa terkait dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua Bidang Penindakan, Chandra M Hamzah.
“Saya dimintai keterangan oleh penyidik sesuai dengan surat panggilan disebutkan penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan CMH (Chandra M Hamzah),” kata Kepala Biro Hukum KPK, Khaidir Ramli, usai diperiksa di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (10/09) siang.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengungkapkan saat ini polisi membidik KPK dalam dua kasus. Yakni dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.
Kasus dugaan pemerasan ini mencuat dari testimoni Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar. Dalam testimoninya, Antasari mengaku telah bertemu dengan Anggoro di Singapura. Dalam pertemuan itu, Anggoro mengaku telah dimintai sejumlah uang oleh oknum KPK. Anggoro menyebutkan nama pimpinan, direktur, penyidik, dan sopir KPK ikut menikmati uang itu.
Terkait kasus ini, polisi sudah menjerat satu tersangka, yakni Ari Muladi. Ari dijerat tiga pasal yaitu pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dan pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Suap itu dilakukan karena Anggoro diduga terlibat dengan kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu yang saat ini tengah diusut KPK. Anggoro yang berstatus buronan itu sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Sedangkan kasus dugaan penyalahgunaan wewenang itu terkait dengan pemberian cekal kepada Anggoro. KPK pada 2008 mencekal Anggoro terkait kasus dugaan suap proyek Pelabuhan Tanjung Api-Api dengan tersangka anggota dewan Yusuf Erwin Faishal.
Sementara itu seorang pejabat Polri, Komjen Pol Susno Duaji malah dibidik oleh KPK diduga terlibat dalam kasus Bank Century.
Sebelumnya, KPK mengatakan akan mengkaji keterlibatan Susno Duaji dalam kasus Bank Century.
“Kita akan kaji sindikasi apakah SD ini terlibat,” ujar Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Riyanto di KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (9/9).

Sulit untuk tidak mengatakan tidak ada “pertarungan/persaingan” antara KPK dan kepolisian. Kebanyakan orang awam akan bingung dengan fenomena penegak hukum saat ini, masing-masing membawa benderanya dengan mengatasnamakan penegakan hukum. Padahal mestinya dibutuhkan adanya kerjasama yang baik dan kuat diantara keduanya, bukan saling menjatuhkan yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat. Kalau memang ini yang terjadi maka baik cicak maupun buaya, mereka bekerja bukan untuk kepentingan nasional tetapi mereka bekerja untuk kepentingan pribadi dan institusinya saja.

Perubahan Bentuk Buaya (Godzila)

“Pertarungan cicak vs buaya” baru memanas, ternyata binatang reptile lain ada tanda-tanda akan muncul. Tidak tanggung-tanggung binatang reptile ini di datangkan dari dunia fantasi/fiksi yang berasal dari Jepang. Berikut ini kutipan beritanya.
Hendarman mengeluarkan pernyataan soal Godzila itu berkaitan dengan kasus dugaan pencucian uang terkait Bank Century. Hendarman mengatakan Kejagung akan bekerja sama dengan Mabes Polri menuntaskan kasus tersebut.
“Jadi kalau kepolisian bertindak sendiri-sendiri itu kan namanya buaya. Nah kalau sudah bersama-sama dengan jaksa sudah bukan buaya lagi tetapi Godzila,” kata Hendarman kemarin.
Dalam wikipedia disebutkan, Godzila adalah sebuah monster fiksi dalam film Jepang yang telah menjadi ikon terkenal. Makhluk ini menyerupai reptil raksasa yang berukuran jauh lebih besar dibanding buaya. Selain bentuknya yang mengerikan, makhluk ini juga sering digambarkan memiliki kesukaan merusak. (12/9/2009).
ternyata Godzila merupakan perubahan dari bentuk buaya setelah di tambah kekuatan yang namanya kejaksaan maka akan berubah bentuk menjadi Godzila. Wah, … ngeri sekali daya rusaknya (lihat film Godzila).
Apa yang dapat kita harapkan dari seekor “cicak, buaya ataupun godzila” untuk membangun/menjaga bangsa ini dari para koruptor kalau mereka sendiri tidak bekerja sama dengan baik malah terkesan saling menjegal.

Sabtu, 18 April 2009

Politik Militer di Indonesia

1.1 LATAR BELAKANG
Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer), yaitu suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme, irasionalisme, nasionalisme dan korporatisme. Ciri dari Pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militan (Iswandi, 1998: 61). Bibit-bibitnya telah muncul sejak masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan “nyaris” sempurna pada masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya peran sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama, sejak Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran sosial-politik TNI semakin membesar. Peran sosial-politik TNI ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “dwi fungsi ABRI/TNI”.
Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hampir semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politisi sipil, sementara campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak signifikan. Akibatnya, keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Ketika Kabinet Wilopo melakukan berbagai penghematan dalam anggaran dan belanja negara, termasuk memperkecil anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya, sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi.


KONSEP DWI FUNGSI ABRI
Konsep dwi fungsi TNI pertama kali dilontarkan oleh Abdul Haris Nasution pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang, dan istilah “dwi fungsi” diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi “pembina wilayah” atau pembina masyarakat (Nasution, 2001: 3). Nasution menganggap bahwa, “TNI bukan sekedar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya”.

2.1 POSISI MILITER PADA PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Pada 28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian sidang yang membahas persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD.
Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer berhasil mendapatkan bargaining position di arena politik nasional. Pada tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan “manuver” untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah mempengaruhi dinamika hubungan segitiga kekuasaan tersebut. Sebagai misal, pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada Nopember 1962, dianggap telah menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuatan politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti sejumlah Panglima daerah yang berani menentang Sukarno dengan isu-isu komunis (Feith, 2001: 136-137).
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-Cina di Jawa Barat pada saat Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dinggap berhasil mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama dengan para perusuh (Feith, 2001: 138).
Kemudian, pada tahun 1965, terjadi peristiwa kontroversial “G-30-S”, yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satu-satunya pemenang, dan segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hampir di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.

2.3 POSISI MILITER PADA PEMERINTAHAN ORDE BARU
Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut: (1) memasukkan dwi fungsi ABRI dalam GBHN tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan; (2) UU No. 20/1982 tentang Pokok-pokok Hankam Negara; (3) UU No. 2/1988; dan (4) UU No. 1/1989. Dua produk UU yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU sebelumnya.
Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi. Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya dirinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota militer yang menempati jabatan strategis di departemen-departemen urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah, pada tahun 1968, sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer, dan 92% pada tahun 1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59% bupati di Indonesia berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang menjadi menteri sebanyak 13 orang; sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89% jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian paska pemilu 1987, sebanyak 80% anggota DPR dari Fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Kemudian, 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal di militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya 500.000 orang (0,3% dari jumlah penduduk Indonesia) tetapi mendapatkan kursi 20% di parlemen (Cholisin, 2002 dan Pakpahan, 1994).
Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR dari 1971-1977 dan 1977-1982, Fraksi ABRI terlihat paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI (Pakpahan, 1994: 159). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya “mengendalikan” kekuatan intelektual (baca: sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu “bias Barat”. Dengan kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi “bias Barat”, tetapi lebih “bersahabat” dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk “memberi informasi” mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya komunisme baru. Rejim militer Orde Baru menganggap bahwa PRD dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri seusai dengan kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas (Noorsalim, 2003).
Terdapat dua penjelasan mengapa militer banyak terlibat dalam kasus kekerasan di Indonesia. Pertama, karena pada dasarnya militer memang tidak dilatih untuk melindungi rakyat. Semua prajurit adalah dilatih untuk menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Dalam pendidikan militer selalu ditekankan untuk merangsang insting kebuasannya. Begitu juga, teknologi yang dikembangkan oleh militer adalah lebih banyak untuk menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Kedua, adalah doktrin pertahanan dan keamanan yang menekankan perang gerilya yang menggunakan rakyat sipil sebagai bumper. Dalam doktrin yang disebut Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta) tersebut tidak membedakan antara militer (combatans) dan penduduk sipil. Sehingga, penduduk sipil yang dianggap tidak membela militer dianggap musuh yang perlu dibunuh.

2.4 POSISI MILITER PADA MASA REFORMASI
Setelah Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2002) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut masa reformasi ini “sempat” mendorong para pimpinan TNI untuk meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining position militer di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer dalam bidang politik kembali menguat.
Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunnya Soeharto dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampak pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut: “…Keikutsertaan Tentara Nasional dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan tahun 2009.”
Selain alasan di atas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di bidang politik berakhir. Oleh karena itu, TNI masih menyusun strategi-strategi untuk merebut kembali posisi politiknya yang “nyaris hilang”. Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubernur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.

2.5 PERANAN MILITER DALAM POLITIK PEMERINTAHAN
Namun, hal ini tidak berlangsung lama, dalam waktu yang relatif singkat, kelompok militer politik telah melakukan konsolidasi, sehingga peranan politiknya menjadi lebih besar dari masa sebelumnya. Dalam setahun terakhir, beberapa langkah yang menguntungkan kelompok militer militer secara politis diambil. Misalnya, pendirian Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon. Selain itu jabatan-jabatan strategis kembali dipegang oleh militer, misalnya Menteri Dalam Negeri dijabat oleh Negeri Mayor Jenderal (Purn. AD) Hari Sabarno dan pencalonan kembali Mayor Jenderal (AD) Sutiyoso sebagai gubernur Jakarta.
Terdapat dua tataran strategi yang tengah didijalankan oleh kelompok militer politik. Pertama, tataran formal, yaitu usaha-usaha untuk memasukkan kepentingan politiknya melalui Undang-undang atau peraturan formal. Misalnya, memasukkan hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI/Polri dalam RUU Pemilu. Proses pada tataran ini memanfaatkan anggota militer yang berada dalam birkorasi dan parlemen, seperti mempengaruhi anggota DPR untuk mengakomodasi kepentingan politik militer. Adapun strategi yang dijalankan pada tataran ini adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi publik melalui media dan melakukan lobi-lobi dengan kekuatan politik yang ada di DPR.
Kedua, tataran non-formal adalah usaha-usaha untuk “mendekati” kelompok tertentu atau figur-figur tertentu yang secara politik mempunyai kekuasaan besar. Disebut non-formal karena pendekatan yang digunakan tidak melalui jalur politik yang formal. Tetapi menggunakan jaringan-jaringan tertentu, seperti pertemanan, jaringan bisnis, bahkan jaringan kriminal. Dalam strategi ini, seringkali terjadi “politik dagang sapi” dengan antara kelompok kepentingan. Sebagai misal, pengangkatan beberapa perwira militer pada jabatan-jabatan penting, pencalonan kembali gubernur Sutiyoso dan penghentian penyelidikan kasus korupsi di berbagai yayasan Angkatan Darat.
Jika dilihat dari sudut pandang strategi politik, beberapa kebijakan yang diambil yang berkaitan dengan kepentingan militer adalah serangkaian uji kasus untuk melihat sejauhmana resistensi masyarakat terhadap peranan politik militer. Strategi ini adalah cara untuk mengetahui peta politik nasional, terutama yang ada di DPR maupun masyarakat. Dengan demikian, kelompok militer politik akan lebih mudah untuk menjalankan strategi di mana militer harus bermain politik.
Seperti sebelumnya pernah dicoba, kebijakan mendirikan Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon merupakan contoh dari strategi uji kasus ini. Kedua strategi tersebut relatif dianggap berhasil karena resistensi masyarakat tidak timbul secara mencolok. Beberapa contoh lain yang masih menjadi perdebatan dalam masyarakat adalah dibebaskannya para perwira militer yang terlibat kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan ditundanya pengadilan pada kasus penembakan beberapa mahasiswa dan kasus-kasus kekerasan lainnya.
Tujuan dari strategi-strategi yang dijalankan oleh kelompok militer politik di atas, adalah untuk mendapatkan akses kekuasaan politik yang lebih besar. Besarnya akses kekuasaan politik bagi kelompok militer ini secara lebih jauh akan berpengaruh pada besarnya akses ekonomi. Menurut informasi dari pejabat militer, alokasi dana untuk militer yang dianggarkan oleh pemerintah hanya mencukupi sekitar 30 persen dari kebutuhan-kebutuhan militer secara keseluruhan. Selebihnya, 70 persen lainnya militer harus mencari sumber pendaanaannya sendiri. Dengan semakin terbukanya akses informasi, maka militer tidak dapat lagi memakai cara-cara lama seperti praktek korupsi, mark up, backing bagi sindikat kriminal dan lain-lain, karena masyarakat akan mudah untuk mengetahui tindakan tersebut. Seiring dengan perubahan sosial dan politik, tentunya cara-cara seperti ini tentu akan dipertanyakan. Oleh karena itu, cara yang paling memungkinkan bagi militer adalah memperoleh legitimasi secara politik terlebih dahulu.
2.6 HUBUNGAN SIPIL – MILITER INDONESIA
Dalam membahas permasalahan ini, perlu ditinjau tentang model dari hubungan sipil militer dan seberapa jauh peran militer dalam hubungan tersebut. Ada empat model budaya politik yang mendasari hubungan sipil-militer, yaitu: liberal, korporatis-organik, militaris, dan neopatrimonialis.
Budaya politik liberal sangat individualis. Keberadaan masyarakat adalah untuk kepentingan atau manfaat anggauta-anggautanya. Negara berada di bawah kekuasaan masyarakat. Keberadaan pemerintah adalah untuk melindungi individu-individu masyarakat. Kedaulatan berada pada rakyat. Militer merupakan bagian dari aparat pemerintah dan berada di bawah kendali rakyat, yang dalam hal ini diwenangkan kepada pemerintah sipil.
Pada budaya politik korporatis-organik, rakyat berbicara tentang negara dalam terminologi antropomorfis. Negara didefinisikan dalam konteks keberadaan masyarkat. Kedaulatan inheren ada pada negara. Warganegara merupakan himpunan dari kelompok-kelompok, bukan individu-individu. Individu bersikap dan bertindak sesuai kelompoknya. Karena negara merupakan ‘orangtua’ dari warganegara, tiap-tiap kelompok dalam masyarakat bertanggung jawab dalam pertahanan negara. Kesatuan militer merupakan rakyat yang bersenjata, mempunyai tanggung-jawab khusus untuk mempertahankan negara.
Pada budaya politik militaris, angkatan bersenjata terlihat menonjol sebagai ujung tombak dalam proses modernisasi. Individualisme dianggap sebagai ancaman bagi negara. Militer sangat berperanan dalam kepemimpinan nasional. Pertahanan nasional sangat tergantung kepada kapasitas dan kemampuan militer, sehingga mengarahkan kepada besarnya anggaran belanja negara untuk pertahanan/militer.
Budaya politik neopatrimonial sangat hirarkhis dan menempatkan pribadi pemimpin sebagai acuan utama. Komunitas politik sangat didominasi oleh otoritas penguasa. Rakyat tidak berperanan dalam kehidupan politik, karena mereka merasa tidak mempunyai legitimasi berperanan sebagai pelaku dalam perebutan pengaruh kekuasaan. Kekuatan penguasa tergantung dari kemampuannya memantapkan dukungan dari pemenang koalisi kekuasaan di antara elit politik. Elit politik mengetahui legitimasi kekuasaan dari penguasa dan bersaing di antara mereka sendiri untuk merebutkan posisi dalam lingkaran penguasa. Dalam budaya politik ini militer merupakan salah satu kelompok dari elit politik yang dianggap mengharapkan memperoleh atensi lebih dari penguasa. Di sini penguasa juga melibatkannya dalam lingkaran kekuasaannya.
Hal tersebut di atas dapat divisualisasikan dalam matriks sebagai berikut:
Hubungan
Model Kedaulatan Pemerintah- Peran Militer
Terhadap Rakyat
Liberal Rakyat Di bawah Di bawah
Korporatis Inheren pada Dominan Tanggung jawab pertahanan
Negara secara khusus
Militaris -“- Dominan Menonjol
Neopatrimonial Pemimpin Dominan Bagian dari elit
Nampak di sini bahwa pada era orde lama budaya politik yang berlaku adalah neopatrimonialis, sedangkan pada orde baru masih tetap neopatrimonialis ditambah dengan ‘aroma’ militaris, karena kebetulan penguasanya adalah (mantan) militer. Pada era reformasi pembangunan aroma militaris berangsur hilang, kembali ke neopatrimonialis ke arah organik korporatis. Pada era persatuan nasional saat ini, gerakan (cenderung tekanan untuk) mengarah ke budaya politik liberal (demokratis) terasa seperti dipaksakan untuk bisa berlangsung dengan proses yang sangat cepat.
Kehendak cepat untuk memastikan supremasi sipil atas militer sangat dirasakan akhir-akhir ini. Proses gradual atau evolutif dirasa sangat lambat sehingga upaya penggeseran tersebut dikehendaki secara revolutif. Namun, apabila kehendak yang tergesa tersebut tidak disertai dengan proses yang demokratis, dikawatirkan akan dapat menimbulkan suatu proses yang anarkhis, yang pada akhirnya justru tidak demokratis.
Nampak bahwa kelompok militer politik tidak ingin melewatkan kesempatan melemahnya kelompok sipil. Konflik yang terjadi diantara kelompok masyarakat sipil merupakan keuntungan tersendiri bagi kelompok militer untuk mengambil kembali kekuasaan politiknya yang nyaris hilang. Dalam konteks gerakan reformasi di Indonesia, ini adalah pertarungan antara kelompok yang menginginkan perubahan atau reformasi melawan kelompok status quo. Kelompok reformasi terdiri dari masyarakat, sebagian politisi dan birokrat sipil, sementara kelompok status quo terdiri dari jaringan lama bekas birokrasi sipil Orde Baru dan sebagian kelompok militer politik. Terdapat kemungkinan, jika masyarakat sipil tidak segara melakukan konsolidasi, dikhawatirkan demokrasi yang diidam-idamkan masyarakat tidak akan pernah tercapai.


UAS Sosiologi Politik
Dosen : Bu Yuni
(Beliau berkata "..makalah yang perfect..")

Sosiologi Italia dan Hegemoni Antonio Gramschi

1. Perkembangan Sosiologi di Italia
Perkembangan sosiologi di Italia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramci tentang konsep Hegemoni. Mayarakat Italia yang heterogen juga salah satu faktor betapa pemikiran antonio gramschi di terima. Misalnya kita kenal istilah mafia di italia yang berasal dari italia selatan tepatnya di sicilia. Mereka sangat iri karena daerah Italia selatan kurang makmur dibandingkan dengan wilayah italia utara yang sangat maju. Dengan kondisi demikian tujuan untuk memajukan wilayahnya sendiri sangat menginspirisaikan kepada mereka untuk menjunjung tinggi kemakmuran daerahnya walaupun harus dengan cara-cara yang tidak wajar seperti pembunuhan, penculikan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Walaupun mereka pernah terkenal dengan sistem Fasisme oleh Benito Musolini, namun mereka tidak cocok sifat musolini yang otoriter.
Dalam kaitanya dengan sosilogi, Italia banyak melahirkan pemikiran-pemikiran tentang sosiologi politik. Nama-nama seperti Gaetano Mosca, dan Vilfredo Pareto. Mosca mengkualifilasikan konsepnya dengan mengakui perubahan-perubahan historis dalam komposisi kaum elite, dan dalam hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, dapat terjadi dibawah pengaruh berbagai kekuatan sosial yang menunjukan kepentingan berbeda di masyarakat. Vilfredo pareto mengembangkan versi teori ini dengan mana kekuasaan elit telah diwujudkan sebagai suatu fakta kehidupan sosial yang universal, tidak berbeda, dan tidak dapat berubah dimana eksistensinya tergantung pada perbedaan psikologis antar individu. Sedangkan Giambattista Vico (1668-1744), filsuf Italia terkenal, melihat sisi lain dari sistem sosial. Ia memperhatikan tentang sejarah dari masyarakat. Pemikiran spekulatifnya yang terkenal adalah pendapatnya tentang sejarah siklis (dapat diartikan berulang). Mula-mula ada Masa Agama Dewa-Dewa, terbentuknya keluarga dan komunitas-komunitas kecil dari masyarakat yang terpecah-pecah. Masa ini diakhiri dengan Masa Pahlawan, masyarakat utuh terbentuk namun masih terpecah-pecah, kelas bangsawan, kelas budak, dan sebagainya. Akhirnya muncul masa manusia, di mana orang memberontak dan masyarakat hidup dalam kesetaraan tanpa strata kelas. Secara siklis hal ini berulang lagi, karena kesetaraan masyarakat tersebut membawa perpecahan dari masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil lagi dan seterusnya tak pernah henti. Antonio Gramsci adalah tokoh yang sangat bepengaruh tentang perkembangan sosiologi di italia dengan konsep hegemoninya.
2. Profil Antonio Gramsci
Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia. Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.
Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.
Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.
Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.
Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen.
Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).
Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartiakan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsi mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.
Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."
Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya.
Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-tesis untuk konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".
Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".
Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.
Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer.
Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.
Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".
Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.
Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang Marxis revolusioner.


Konsep Hegemoni dalam Pemikiran Antonio Gramsci

Gramsci (1891-1937) adalah salah satu teoritisi Marxis terpenting asal Italia pada abad ke-20 ini dan disebut oleh Kolakowski sebagai teoritikus politik paling orisinil sesudah Lenin yang mencoba mengkritisi kelemahan-kelemahan Marxisme dan melakukan analisis terhadap penyebab kegagalan revolusi proletariat.
Salah satu gagasan sentral Gramsci yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai hegemoni. Tema ini dipilih karena melalui konsep inilah Gramsci telah membalikkan padangan tradisional Marxisme bahwa revolusi proletar akan datang secara niscaya, sebagaimana siang menggantikan malam. Sebaliknya revolusi sosialis baru bisa diperoleh melalui tekad dan upaya panjang sedemikian rupa sehingga kelas-kelas bawah meraih kepemimpinan kultural, intelektual dan ideologis dalam masyarakat.
Dalam tulisan ini, penulis akan membagi bahasan dalam tiga bagian. Pertama-tama akan dibicarakan konteks pemikiran Gramsci tentang hegemoni (1), lalu dalam bagian berikutnya akan dibahas pengertian hegemoni sendiri dalam konteks gagasan yang menyertainya (2), dan selanjutnya akan diakhiri dengan penilaian dan relevansi pemikiran Gramsci dalam politik Indonesia (3).
2. Konteks Pemikiran
Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoritis Nikolai Bukharin dalam sebuah buku The Theory of Historical Materialisme yang dimaksudkannya sebagai sebuah karya textbook tentang Marxisme-Leninisme untuk para kader partai komunis lebih tinggi. Buku ini berisi ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu dengan tujuan hendak menunjukkan bahwa materialisme historis adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah.
Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah Soviet ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Lagi pula, Gramsci berkeberatan dengam maksud buku itu yang diperuntukkan bagi komunitas pembaca elit yang disebutnya “bukan intelektual profesional” sehingga menciptakan kekeliruan besar karena telah mengabaikan “filsafat massa rakyat” atau filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri. Dengan kata lain, pandangan Bukharin ini adalah sebuah sistem filsafat (materialisme historis) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar. Bagi Gramsci kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat mereka sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata di-impose dari luar (elit). Karena yang belakangan ini merupakan cerminan dari kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa.
Penolakan Gramsci pada tradisi marxian ortodoks dan penekanan sebaliknya pada faktor-faktor budaya dan ideologi disebabkan oleh karena situasi Italia sendiri, negara kelahirannya, sebagaimana negara-negara kapitalis lain di mana sistem borjuis memiliki sumber stabilitas yang kuat. Di negara-negara ini, revolusi sosialis yang ditunggu-tunggu kedatangannya setelah terjadi krisis ekonomi kapitalis ternyata tidak kunjung tiba.
Sebaliknya kegagalan melancarkan revolusi sosialis di negara-negara di luar Rusia, pecahnya perang dunia pertama yang menandai lemahnya internasionalisme proletar, serta pemberontakan di Jerman dan Hongarian seakan membuktikan bahwa revolusi di Barat telah gagal. Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini menurut Yoseph V. Femia menyebabkan keraguan Gramsci terhadap kredibilitas teoritis aksi revolusi
Dalam konteks inilah Gramsci mencoba menganalisis persoalan tentang bagaimana mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Italia dan EropaBarat. Gramsci percaya bahwa keberhasilan Lenin merealisasikan revolusi proletariat di Timur, tidak dengan mudah bisa diikuti oleh negara-negara Barat. Perbedaan-perbedaan struktural antara Rusia dan Barat secara otomatis juga mengharuskan proletar untuk membangun strategi politik berbeda. Dalam kerangka penyusunan strategi ini lalu Gramsci mengembangkan dua konsep yang berbeda, yakni konsep “war of movement” dan “war of position”. Yang pertama merujuk pada perebutan kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung, sementara yang kedua melalui proses gradual dan molekular yang menyiapkan kondisi bagi kekuatan sosialis progresif untuk merebut kekuasaan. Perang gerakan hanya bisa dilakukan bila masyarakat sipil sangat lemah, sementara diperlukan perang posisi bila masyarakat sipil dalam negara itu sangatkuat. Di Rusia, misalnya, perang gerakan sangat berhasil. Ini disebabkan oleh kekuatan masyarakat sipil yang merupakan gabungan dari elit feudal, borjuis dan intelektual yang berkuasa di satu pihak dan massa petani yang berada dipinggiran kehidupan politik dipihak lain, sangat lemah; sedangkan negara tersentralisai dan terkonsentrasi pada diri seorang kaisar Tsar. Adapun di Italia kekuatan negara tertanam dalam masyarakat sipil yang kuat dan kompleks. Negara memperoleh kekuatan dan sokongan dari jaringan organisasi-organisasi privat, sekolah, gereja, asosiasi pedesaan dan masyarakat urban, dan para industrialis utara. Mereka ini telah dang penetrasi dan dominasi komunis di luar kota. Tambahan lagi kapitalisme barat dan Italia sukses menciptakan blok politik, menyerap elemen-elemen budaya kelas pekerja dan menyatukan massa rakyat ke dalam struktur hegemonik. Realitas politik inilah yang menyebabkan perang gerakan (war of movement) seperti di Rusia tidak dimungkinkan, dan dalam konteks ini pemahaman mengenai hegemoni begitu penting bagi strategi perang dalam revolusi sosialis.
3. Hegemoni dan Gagasan yang Menyertai
Sebagaimana disinggung di atas hegemoni merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi revolusi sosialis. Konsep ini pertama-tama muncul dalam rangka mengoreksi kegagalan revolusi sosialis di negara-negara Barat, termasuk Italia, sekaligus mengoreksi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel bahwa akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan dengan masyarakat sosialis, sebagaimana siang secara niscaya akan menggantikan malam, melalui revolusi proletariat. Bagi Gramsci sendiri revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Sehingga persiapan intelektual, budaya dan politik kelas pekerja adalah syarat yang diperlukan untuk suksesnya sebuah revolusi proletariat. Dalam konteks inilah hegemoni menemukan lokus urgensinya.


Pengertian Hegemoni
Hegemoni adalah konsep penting dalam tulisan-tulisan Gramsci, meski ia dipakai dalam berbagai pengertian. Konsep ini muncul berbarengan dengan upaya Gramsci untuk memajukan revolusi sosialis dalam rangka menghancurkan tatanan dan sistem kapitalisme. Pertama-tama yang bisa dikatakan adalah bahwa Gramsci menggunakan istilah ini sebagai konsep yang netral, tidak bersifat baik atau buruk. Artinya, dia menggunakan konsep hegemoni dalam kerangka realitas perjuangan kelas dalam sebuah masyarakat.
Kadang-kadang Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuatan politik yang dijalankan dengan paksaan, tetapi sebagai suatu kaidah dia juga membedakan dua konsep itu sehingga hegemoni lebih menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan. James Joll secara gamblang menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas politis berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Oleh karena itu hegemoni lebih terkait dengan upaya mencapai kekuasaan politik melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.
Dengan konsep hegemoni ini Gramsci menyadari pentingnya peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, faktor yang tidak pernah diperhatikan dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “basis-suprastruktur”. Kerangka ini sebagaimana disebut Magnis Suseno menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik. Gramsci sendiri dalam konteks ini sebenarnya mengikuti apa yang telah dilontarkan Lenin bahwa tanpa tekad revolusioner segala perkembangan ekonomis dengan sendirinya tidak pernah akan menghasilkan revolusi apapun. Karenanya Lenin memandang perlu hadirnya sebuah partai revolusioner pada khazanah pemikiran Marxis. Dengan partai ini, Lenin telah membuktikan bahwa revolusi sosialis bisa dijalankan di Rusia. Namun tampaknya bagi Gramsci, peran partai dan intelektual saja tidaklah cukup untuk menggerakkan revolusi di negaranya, Italia, dan umumnya di Barat. Karena di Barat masyarakat sipil begitu kuat dan kompleks yang tidak hanya dikuasai oleh borjuasi tetapi juga mereka menyokong dan menjamin kedudukannya.
Di negara-negara Barat kekuatan kaum borjuasi sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini membentuk suatu “blok historis”, yakni suatu konstalasi di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat ini menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Tampaknya inilah alasan mengapa revolusi sosialis pada kenyataannya tidak jua terjadi. Kelas borjuasi berhasil menguasai kelas-kelas di bawahnya melalui hegemoni. Sehingga krisis ekonomi tidak secara langsung melahirkan revolusi, karena persis krisis ekonomi tidak sekaligus membawa krisis nilai dalam masyarakat. Kelas borjuasi sebagai pemegang hegemoni blok historis tidak hanya berkuasa dalam bidang ekonomi dengan dukungan daya ancam negara, melainkan karena seluruh masyarakat menganggap situasi kekuasaan itu wajar saja, hegemoni borjuis itu masuk akal dan bisa dimengerti. Selain tentu saja karena hadirnya kelompok intelektual yang mendukung kedudukan hegemonial kelas itu melalui refleksi intelektual-filosofis.
2. Hegemoni dan War of Position
Dari sini lalu makin jelas bahwa sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan secara gampang, tatkala semua kecenderungan masyarakat berada dalam hegemoni kelas borjuis. Revolusi politik sosialis baru bisa mungkin jika kaum buruh terlebih dulu berhasil merebut hegemoni kultural dengan menyingkirkan hegemoni kaum borjuasi. Ini artinya sebelum mengambil alih kekuasaan politik, kelas buruh harus bisa mengambil alih pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapan-harapan seluruh masyarakat atau paling tidak kelas-kelas penting, karena persis dalam rangka menciptakan sistem masyarakat yang baru diperlukan sebuah kebudayaan yang baru pula.
Proses perebutan hegemoni inilah yang disebut Gramsci sebagai “war of position”. Strategi ini digunakan dalam rangka untuk mematahkan hegemoni borjuasi dalam masyarakat sipil melalui kepemimpinan intelektual, kultural dan ideologis dalam lembaga-lembaga privat, sekolah-sekolah, gereja, industri, asosiasi kota dan pedesaan, dan lain-lain. Gramsci membedakan antara “war of position” dan “war of movement” dalam kerangka strategi yang berbeda dalam perebutan kekuasaan. “War of movement” sebagaimana yang berhasil diterapkan oleh Lenin di Rusia dianggap lebih cocok karena kondisi masyarakat sipil di sana sangat lemah di bawah kepemimpinan Tsar. Sehingga perang gerak lebih strategis dan efektif untuk merebut kekuasaan secara langsung. Akan tetapi dalam struktur politik di mana masyarakat sipil sangat kuat dalam hegemoni kaum borjuasi maka strategi yang lebih masuk akal adalah perang posisi dengan menggerogoti kekuatan kultural dan ideologi borjuasi. Gramsci yakin bahwa hegemoni ini bisa dipatahkan melalui strategi “war of position”. Ini dikarenakan bahwa sebenarnya konsensus antara kelas-kelas sosial yang memapankan masyarakat borjuis adalah semu dan superfisial belaka, sehingga tatanan sosial yang dibangun pun hanya kelihatannya saja universal. Apa yang nampak sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat hanyalah kedok kepentingan kelas borjuasi. Karena dalam kenyataannya eksploitasi kelas-kelas buruh masih berjalan terus.
Dalam rangka mematahkan hegemoni borjuasi dan merumuskan pandangan dunia baru ini, Gramsci melihat sedemikian penting peran kaum intelektual organik dari kelas buruh. Mereka ini merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan kaum buruh, memihak kepada kaum buruh dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat. Kaum intelektual inilah yang menghadirkan suara-suara kepentingan buruh dengan dengan bahasa budaya tinggi sehingga pandangan dunia, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kelas buruh meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa universal. Bila tahap ini berhasil, maka jalan semakin lebar bagi kelas buruh untuk melakukan perubahan revolusioner, yakni merebut kekuasaan politik.
Jadi, revolusi sosialis dalam pandangan Grasmci bukanlah semata-mata dipahami sebagai masalah kekuatan ekonomis dan fisik, melainkan harus melibatkan unsur kebudayaan dan ideologi. Dengan kata lain, kekuasaan kaum buruh bisa dicapai dan dipertahankan melalui jalan hegemoni kultural.
3. Penilaian dan Relevansi Gramsci
Gramsci telah merevisi pandangan-pandangan Marxisme klasik yang cenderung “ekonomistik” untuk lalu menekankan arti penting budaya dan ideologi dalam pembentukan masyarakat sosialis. Ia menunjukkan bahwa kategori “struktur-superstruktur” tidaklah bersifat mutlak, deterministik dan monologis. Tapi sebaliknya dalam realitas masyarakat kedua bagian itu saling mempengaruhi, dan ideologi dan budaya justeru sangat menentukan keberhasilan dalam revolusi sosialis.
Gramsci mengikuti Lenin dalam arti dia menolak bahwa revolusi sosialis secara objektif akan datang begitu saja bila tiba waktunya dan kita tinggal menunggu saja kedatangannya. Sebaliknya, Gramsci melihat pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kelompok intelektual dan partai revolusioner untuk mewujudkan sosialisme. Namun berbeda dengan Lenin, tugas intelektual bukanlah mecekoki kelas buruh pengetahuan tentang teori yang benar, melainkan mengungkapkan belaka suara-suara kepentingan kelas buruh ini dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Dalam arti ini maka penting sekali bahwa keberadaan kaum intelektual bukanlah di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh. Demikian juga partai politik, tidak bertugas menyuntik ke dalam diri kelas buruh suatu kesadaran yang benar, melainkan membuat mereka sadar akan implikasi kesadaran yang sudah mereka miliki serta segi-segi perjuangan.
Hal ini semua karena terkait dengan upaya kaum buruh untuk menancapkan hegemoni kultural dan ideologis sebelum memulai perebutan kekuasaan politik. Bagi Gramsci proses perubahan sosial tidak semata-mata sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasan budaya dan ideologi yang juga sangat menentukan keberhasilan dalam membentuk masyarakat sosialis. Demikian juga sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan dengan sekali jadi melalui perebutan kekuasaan politik, melainkan memerlukan waktu panjang dalam suatu perang posisi (war of position) untuk merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil. Jika masyarakat sipil sudah dihegemoni maka sebenarnya secara de facto kekuasaan itu sudah berada di tangan kelas buruh, dan kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.
Demikian juga konsep hegemoni Gramsci ini sangat bermanfaat dan menjadi pelajaran penting bagi para politisi partai dan intelektual kita. Sebuah partai akan besar dan sukses bila ia mampu mengartikulasikan kepentingan riil masyarakatnya. Demikian juga peran intelektual Indonesia dalam proses perubahan dan pembebasan sosial.