Rabu, 27 Februari 2008

LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERWENANG UNTUK MEMBERIKAN SOSIALISASI POLITIK

Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan
Salah satu agenda penting dalam rangka membudayakan ide demokrasi adalah dengan cara meningkatkan peran organisasi politik dan kepartaian serta organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam penentuan kebijakan publik. Upaya membangun kultur demokrasi itu membutuhkan keteladanan dan contoh konkrit, sehingga ide demokrasi meningkat dari retorika ke agenda aksi, dari persoalan kata-kata di tingkat elite, menjadi persoalan realitas perilaku di tingkat organisasi, dan proses pengambilan keputusan di tingkat masyarakat sendiri. Karena itu, bersamaan dengan upaya mendorong proses demokratisasi terus menerus dalam hubungan yang bersifat vertikal antara rakyat dan negara, kita perlu mengembangkan dinamika wacana yang lebih bersifat horizontal antara organisasi kemasyuarakatan dengan para anggota, dan bahkan antara partai politik dengan anggota dan simpatisannya sendiri. Untuk itu, agenda pelembagaan dan peningkatan kualitas kelembagaan partai politik juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Partai politik tidak boleh lagi sekedar difungsikan sebagai mesin penghimpun suara dalam pemilihan umum. Di masa depan, di mana warga masyarakat terus meningkat kualitasnya, masyarakat tidak bisa lagi hanya diperlakukan sebagai pemberi suara. Partai Politik yang hanya dijadikan mesin penghimpun suara, segera akan kehilangan arti di mata rakyat yang makin kritis. Dukungan akan diberikan oleh rakyat manakala partai politik dapat diyakini telah berperan penting dalam meningkatkan keberdayaan rakyat sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, agenda pelembagaan partai politik menjadi agenda yang sangat penting dalam menjamin masa depan demokrasi di negara kita.

Demikian pula dengan kualitas pengambilan keputusan di lingkungan organisasi kemasyarakatan dan kalangan lembaga swadaya masyarakat kita yang sampai sekarang belum sepenuhnya mengalami perubahan sesuai tuntutan zaman. Banyak organisasi kemasyarakatan yang dikuasai oleh suatu keluarga secara turun temurun sesuai kultur feodal dan paternalistik sebagai warisan sistem kerajaan di masa lalu. Jika kenyataan ini tidak segera berubah, maka kita dapat menyatakan bahwa basis kultural agenda demokrasi dan demokratisasi Indonesia di masa depan masih belum dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Bagaimana mungkin kita akan berhasil membangun demokrasi, jika kita hanya sukses dalam menata institusi dan memperbarui atau membuat perangkat hukum yang diperlukan untuk itu, tetapi perilaku warga masyarakatnya, termasuk mereka yang bertindak sebagai subjek hukum dalam institusi-institusi demokrasi itu masih dibelenggu oleh sikap dan orientasi pemikiran serta pola perilaku lama yang masih bersifat feodalistis. Oleh karena itu, penting sekali artinya, kita membudayakan tradisi demokrasi itu mulai dari lingkungan ormas dan orpol yang terlembagakan secara rasional sebagai agen-agen pembaruan.

Demokratisasi dan pelembagaan institusi-institusi kemasyarakatan ini penting karena mereka ini dapat diharapkan memainkan peran strategis, baik sebagai ‘intermediate structure’ untuk pelembagaan dan perwujudan ide-ide pembaruan maupun dalam rangka memperkuat keberdayaan masyarakat madani (civil society). Memang sekarang ini banyak bermunculan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tetapi LSM-LSM yang bersuara vokal jumlahnya hanya sedikit. Lagi pula peran yang mereka mainkan seringkali tidak fokus, terlalu bernafsu untuk melakukan semua hal di luar kapasitas yang sesungguhnya. Apalagi, kegiatan mereka ini sebagian terbesar tergantung lembaga donor yang sebagian terbesar datang dari luar negeri dengan agenda dan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu mendapat perhatian dalam upaya keberdayaan masyarakat madani yang sesungguhnya adalah organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memang tumbuh dan berkembang luas dalam sejarah Indonesia sejak lama. Ada yang bersifat keagamaan, kepemudaan dan kemahasiswaan, ada pula yang mengaitkan diri dengan ide-ide gerakan ekonomi dan sebagainya. Justru ormas-ormas jenis inilah yang lebih tetap disebut sebagai lembaga swadaya dalam arti yang sebenarnya yang sangat penting perannya bagi penguatan keberdayaan masyarakat madani. Demikian pula dengan partai politik, yang pada umumnya di masa reformasi dewasa ini terbentuk secara mendadak, belum terlembagakan secara baik. Karena itu, di masa-masa yang akan datang, kalangan pemimpin politik hendaklah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh melakukan ‘institutional building’ terhadap partainya. Dengan demikian, partai tidak saja dipandang sebagai mesin politik penghimpun dukungan rakyat, tetapi sungguh-sungguh difungsikan sebagai sarana melalui mana para anggota dan simpatisannya dapat menyalurkan aspirasi politik dan sekaligus dengan mana mereka dapat bersama-sama memperkuat keberdayaan mereka sendiri secara mandiri. Karena itu, setiap partai hendaklah mengembangkan agenda politik dan sekaligus agenda keberdayaan ekonomi, sosial dan kebudayaan rakyat.

Restrukturisasi Parlemen
Para pendiri negara kita mengklaim tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti yang dipraktekkan di Amerika Serikat yang berasal dari pandangan Montesquieu. Itu sebabnya, ketentuan UUD 1945 tidak memisahkan secara tegas antara kekuasaan legislatif yang utamanya dipegang oleh Presiden dan kekuasaan legislatif yang dipegang oleh DPR. Bahkan dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) lama UUD 1945, ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Tentu DPR juga ditentukan dapat atau berhak untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU kepada Presiden, tetapi kekuasaan utama untuk membentuk UU tetap berada di tangan Presiden. Karena itu, dalam Amandemen Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian dibalik. Dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR, sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Dengan demikian, dalam Perubahan UUD kita telah terjadi peralihan kekuasaan legislatif yang sesungguhnya dari Presiden ke DPR[1]. Di samping itu, beberapa kekuasaan Presiden di bidang-bidang lain yang selama ini ditentukan sebagai kewenangan mutlak (hak prerogatif) Presiden, berdasarkan ketentuan yang baru dikaitkan dengan peran DPR. Ada yang ditentukan harus disetujui DPR, ada yang harus mendapat pertimbangan oleh DPR, atau ada pula yang pelaksanaannya ditentukan harus diatur dulu dengan UU yang tentunya melibatkan peran DPR. Kekuasaan-kekuasaan yang dimaksud adalah (i) pengangkatan dan pemberhentian Kapolri[2], (ii) pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI[3], (iii) pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul[4], dan bahkan (iv) ada pula kewenangan Presiden yang selama ini dikaitkan dengan MA justru dipindahkan ke DPR, yaitu dalam hal Presiden akan memberikan amnesti dan abolisi harus terlebih dulu mendengarkan pertimbangan DPR[5]. Dengan perkataan lain, kekuasaan DPR makin meningkat tajam dengan mengalihkan sebagian kewenangan Presiden dan bahkan lembaga tinggi negara lainnya.

Gejala penambahan kewenangan atau pemupukan kekuasaan di DPR ini di satu segi baik dan positif, tetapi di pihak lain dapat pula menimbulkan kehawatiran tersendiri. Apalagi dikaitkan dengan semangat eforia dalam pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR cenderung nampak meluap-luap seperti tidak dapat dikendalikan. Di masa depan, hal ini dapat juga menimbulkan gejala pergeseran dari kecenderungan kekuasaan yang ‘executive heavy’ ke arah kecenderungan ‘legislative heavy’ yang belum tentu sehat. Suasana seperti ini juga tercermin di MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang cenderung mengkonsentrasikan makin banyak kekuasaan, sehingga dapat mengakibatkan MPR berkembang menjadi lembaga teknis dan rutin. Dalam ketentuan UUD 1945 yang semula, kewenangan yang bersumber dari kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR (tidak diserahkan kepada lembaga tinggi lainnya) hanya berkenaan dengan 5 hal, yaitu (i) menetapkan UUD[6], (ii) mengubah UUD[7], (iii) menetapkan garis-garis besar haluan penyelenggaraan negara sebagai tambahan terhadap norma-norma yang belum diatur dalam UUD[8], (iv) memilih Presiden dan Wakil Presiden[9], dan (v) kemungkinan memberhentikan Presiden di tengah jabatannya apabila terbukti Presiden sungguh-sungguh telah melanggar haluan negara (baca: haluan penyelenggaraan negara seperti yang ditetapkan dalam UUD atau yang ditetapkan oleh MPR)[10]. Dalam melaksanakan fungsinya itu, MPR mengadakan 2 jenis persidangan, yaitu yang rutin lima tahunan disebut Sidang Umum, dan persidangan yang dapat diadakan kapan saja sewaktu-waktu timbul keperluan untuk itu yang dinamakan Sidang Istimewa. Akan tetapi, sekarang, MPR menambahkan sendiri kewenangannya dengan: (i) menyelenggarakan Sidang Tahunan yang bersifat rutin, (ii) meminta laporan pelaksanaan tugas dari setiap lembaga tinggi negara, dan bahkan (iii) mengambil alih kewenangan lembaga rutin yang secara akadamis selalu dikaitkan dengan fungsi kekuasaan kehakiman yaitu kewenangan ‘judicial review’ atas materi UU terhadap UUD[11]. Kewenangan terakhir ini anehnya dikaitkan dengan fungsi Badan Pekerja MPR, khususnya Panitia Ad Hoc 1 yang tidak bersifat permanen dan memiliki kewenangan mandiri. Padahal tugas ‘judicial review’ yang dalam hal ini disebut ‘legislative review’ merupakan tugas yang bersifat rutin dan membutuhkan kelembagaan yang memiliki kewenangan yang bersifat mandiri. Dengan perkataan lain, dewasa ini, tengah berlangsung proses pemupukan kekuasaan yang besar ke dalam lembaga parlemen kita, baik di DPR maupun di MPR.

Padahal, pada saat yang bersamaan, rakyat secara luas sedang berusaha mengambil kembali sebagian kewenangannya dalam rangka kedaulatan rakyat. Pertama, sudah menjadi aspirasi yang luas dan bahkan telah pula ditampung dalam rancangan perubahan UUD bahwa di masa depan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diharapkan dapat dilakukan langsung oleh rakyat. Kedua, dalam rangka menjamin integrasi nasional dan mendorong peranan daerah yang lebih besar dalam proses politik di tingkat nasional, maka telah diterima sebagai rancangan bahwa di masa depan parlemen kita akan terdiri atas dua kamar (bikameral), yaitu DPR dan DPD. Jika kedua gagasan pemilihan Presiden langsung dan pembentukan parlemen dua kamar diterima, maka dengan sendirinya kedudukan MPR tidak dapat lagi dipertahankan sebagai lembaga tertinggi negara. Kalaupun masih akan dipertahankan, paling-paling ia diubah menjadi sekedar forum saja, yaitu forum tertinggi MPR seperti pengaturan mengenai ‘joint session’ antara Senat dan DPR di Amerika Serikat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sekarang kita menghadapi dilemma. Di satu pihak MPR sedang mengalami proses penguatan kekuasaan, tetapi di pihak lain, rakyat ingin mengambil alih sebagian kedaulatannya yang selama ini dilakukan oleh MPR. Demikian pula dengan DPR, yang cenderung makin memperbanyak kewenangan yang bersifat teknis, yang dalam waktu dekat tidak mudah untuk dilaksanakan. Jika makin banyak kewenangannya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, misalnya, karena dukungan staf ataupun dukungan kelembagaannya belum siap, maka hal itu dapat berakibat negatif terhadap citra DPR sendiri yang justru diharapkan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Misalnya, jika dalam lima tahun ini, RUU lebih banyak diajukan oleh pemerintah daripada oleh DPR sendiri, sudah tentu akan berakibat pada penilaian masyarakat terhadap kinerja DPR. Di lain pihak, banyaknya tugas-tugas teknis yang dibebankan kepada DPR, dapat pula mengubah karakter fungsinya menjadi lembaga teknis yang membutuhkan banyak dukungan-dukungan yang bersifat teknis pula. Padahal, yang lebih penting adalah fungsi DPR sebagai lembaga pengawasan politik terhadap kinerja pemerintah.

Penilaian masyarakat terhadap kelemahan kinerja parlemen dapat mengurangi perhatian rakyat terhadap kelemahan-kelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah, dan akibatnya, pemerintahan akan berjalan tanpa kontrol yang efektif. Kenyataan-kenyataan seperti diuraikan di atas, belum lagi kita kaitkan dengan kinerja DPRD propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang akhir-akhir ini juga menunjukkan gejala peranan yang kurang sehat bagi pertumbuhan demokrasi kita. Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk menegaskan keseimbangan peran antara lembaga parlemen dengan institusi pemerintahan Republik Indonesia di semua tingkatannya di masa-masa yang akan datang dengan membangun mekanisme yang sehat, rasional, dan impersonal. Bersamaan dengan itu, perlu segera dipastikan bahwa MPR tidak lagi dikembangkan sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan cukup sebagai forum tertinggi negara untuk keperluan memutuskan hal-hal yang tertentu saja, khususnya yang berkenaan dengan UUD dan lembaga kepresidenan kita. Dengan demikian, lembaga parlemen kita kembangkan menjadi dua kamar yang terdiri atas DPR dan DPD di tingkat pusat. Sedangkan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota cukup terdiri atas satu kamar saja, yaitu DPRD, dan di tingkat desa dibentuk badan perwakilan desa yang dapat disebut dengan nama yang sesuai dengan kebutuhan setempat.
[1] Bandingkan rumusan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 lama dengan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4) baru UUD 1945 dalam naskah Perubahan Pertama hasil Sidang Umum MPR-RI Tahun 1999, ditambah dengan Pasal 20 ayat (5) dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, hasil Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000.
[2] TAP No.IV/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.
[3] Ibid.
[4] Bandingkan rumusan ketentuan UUD 1945 Pasal 13 lama dan baru.
[5] Pasal 14 ayat (1) menentukan pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden tetap memerlukan pertimbangan Mahkamah Agung, tetapi pemberian amnesti dan abolisi dalam ayat (2)nya ditentukan harus dimintakan dulu pertimbangan DPR.
[6] Pasal 3 UUD 1945.
[7] Pasal 37 UUD 1945.
[8] Pasal 3 UUD 1945.
[9] Pasal 6 UUD 1945.
[10] Penjelasan UUD 1945.
[11] TAP MPR No.III/MPR/2000.


Delano Trias Prasetyo
mahasiswa semester VI
sosiologi pembangunan
universitas negeri jakarta

Tidak ada komentar: