Rabu, 27 Februari 2008

Sistem Ekonomi Politik di Indonesia Yang Merugikan Rakyat

Strategi pembangunan yang telah dilaksanakan sejak berdirinya Orde Baru sampai saat ini ialah strategi pembangunan yang berlandaskan pemikiran neoklasik Kuno yang menumpukkan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama pembangunan yaitu memaksimumkan produksi nasional. Faktor netral dalam strategi pembangunan ini ialah faktor modal dan teknologi. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok yang paling dinamis di dalam masyarakat yaitu kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi dimana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan.
Pelaksanaan strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial seperti penyerapan tenaga kerja yang luas, kemiskinan, distribusi pendapatan dan kekayaan, dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Juga strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan kelembagaan masyarakat yang ada. Dalam hal ini kelembagaan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang diberikan. Pemikiran yang melandasi strategi pembangunan ini memberikan gambaran bahwa di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat, akan terjadi di dalam situasi kelembagaan masyarakat yang ada, struktur sosial yang ada dan daya beli rakyat yang ada.
Proses ekonomi Indonesia ditandai dengan ciri yaitu yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit usaha besar dengan unit-unit usaha kecil terutama di sektor pertanian. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit ekonomi formal dengan sektor informal. Hubungan yang eksploitatif terjadi terhadap para konsumen melalui penentuan harga barang diatas kewajaran. Dan hubungan yang eksploitatif terjadi antara pihak pengusaha atau pemodal terhadap kaum buruh.
Pertambahan produksi yang diakibatkan oleh peningkatan produktivitas seluruh faktor produksi yang digunakan telah tidak diiringi dengan penentuan tingkat pembayaran yang sejajar secara wajar dengan kenaikan produktivitas faktor-faktor produksi ini. Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh dibawah nilai produktivitas batas faktor buruh ini. Sedangkan faktor produksi yang lain terutama modal menikmati tingkat pembayaran yang berada jauh diatas produktivitas batasnya.
Dalam hal ini pihak buruh berada dalam posisi undercompensated sedangkan faktor modal berada dalam posisi overcompensated. Pihak buruh dibayar jauh dibawah produktivitasnya sehingga tingkat upah yang terbentuk mungkin hanya sama dengan nilai subsistence saja atau bahkan dibawah nilai subsistence ini atau dibawah nilai kebutuhan fisik minimum. Dalam hal mi telah terjadi suatu transfer nilai yang berlebihan dari pihak buruh kepada pemilik faktor produksi yang lain. Transfer nilai yang berlebihan ini tak lain adalah refleksi dari suatu proses eksploitasi. Pihak buruh berada dalam posisi ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, secara sadar atau tidak sadar buruh telah dianggap sebagai suatu kelompok paria atau kelompok kuli oleh pihak berkuasa sehingga mereka tidak dimungkinkan untuk mempunyai suatu posisi tawar yang kuat dalam proses produksi.
Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomi secara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersedia dibayar murah asal mendapat pekerjaannya secara kelembagaan telah tidak dinetralisir dengan suatu ketentuan yang menjamin tingkat upah minimum yang wajar sehingga tingkat kemakmuran buruh yang minimum tidak dapat dipertahankan. Dalam situasi ini, institutional wage level yang berbentuk berada pada tingkat yang sedemikian rupa rendahnya dan tingkat inilah yang telah dijadikan dasar bagi pihak-pihak yang meminta tenaga buruh dalam menetapkan tingkat upah yang akan dibayarkan kepada buruh dalam proses produksi.
Sementara itu, faktor produksi non-buruh terutama modal seperti telah dinyatakan sebelumnya telah menikmati suatu posisi overcompensated dimana pendapatan yang diperoleh oleh faktor produksi ini berada jauh diatas produktivitasnya. Pendapatan yang diperoleh oleh faktor produksi ini jauh berlebihan dari yang seharusnya diperolehnya dalam keadaan proses ekonomi yang wajar yang didukung oleh perangkat kelembagaan yang sempurna atau mendekati sempurna. Komponen berlebihan dalam struktur pendapatan yang diraih oleh faktor produksi ini adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya sebagai rente ekonomi. Rente ekonomi ini terbentuk sebagai akibat adanya transfer nilai dari pihak buruh, pengusaha kecil dan konsumen sebagai akibat penetapan harga yang tinggi secara tidak wajar atas barang-barang yang diproduksi. Seperti telah disebutkan sebelumnya tiga bentuk eksploitasi tercermin dalam rente ekonomi ini yaitu eksploitasi terhadap buruh, eksploitasi terhadap pengusaha kecil dan eksploitasi terhadap konsumen. Komponen yang mencerminkan eksploitasi terhadap konsumen secara relatif tinggi dalam situasi kelembagaan pasar monopoli atau oligopoli yang kolusif. Dispensasi-dispensasi khusus yang diperoleh pemilik modal tertentu yang memungkinkan unit-unit produksi yang mereka kendalikan menikmati penghematan biaya secara tidak wajar telah mempertinggi tingkat rente ekonomi.
Terjadinya proses eksploitasi disebabkan etika sosial atau moralitas ekonomi telah tidak menjadi landasan dalam hubungan dan proses ekonomi. Terlihat dengan nyata bahwa kita sadar atau tidak sadar telah didominasi oleh pemikiran ekonomi kapitalisme abad ke-19. Ini terbukti dengan tumbuhnya secara kokoh kelas pemupuk rente ekonomi dalam ekonomi Indonesia. Dan kelas pemupuk rente ekonomi ini adalah umumnya para konglomerat. Sistem kapitalisme abad ke-19 ini pada hakekatnya adalah sistem kapitalisme rampok yang merupakan ciri Kapitalisme Muda sesuai dengan definisi Sombart (Hatta, 1953).
Kelas pemupuk rente ekonomi menjalin hubunga yang simbiotis dengan elit kekuasaan dan para birokrat. Melalui hubungan yang simbiotis ini terjadilah apa yang disebut Mancur Olson (1982) sebagal distributional coalition. Koalisi ini merupakan suatu jaringan mirip kartel yang bertujuan untuk meraih rente ekonomi semaksimum mungkin dari rakyat banyak yang merupakan konsumen, produsen kecil, dan buruh. Dan rente ekonomi ini didistribusikan kepada anggota-anggota koalisi ini.
Oleh karena rente ekonomi mempunyai kecenderungan untuk bertambah besar sebagai akibat tuntutan-tuntutan dari para anggota koalisi bertambah meningkat, maka inilah yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Seiring dengan ini, maka proses eksploitasi terhadap buruh, pengusaha kecil, dan konsumen menjadi bertambah intensif. Ini dapat dibuktikan dengan menurunnya porsi upah buruh dalam nilai keseluruhan nilai tambah sektor industri.
Kebijakan Politik Yang Tidak Menguntungkan Rakyat
Sistem politik di Indonesia dapat dianggap mencerminkan suatu elite demokrasi yang diiringi dengan praktek-praktek kenegaraan atau pemenntahan ala kerajaan Mataram. Dengan berat hati, saya terpaksa menamakan sistem politik dan sistem pemerintahan yang seperti ini sebagai suatu sistem politik dan sistem pemerintahan yang pra-modern. Perangkat pemerintahan merupakan kepanjangan dari rumah tangga pribadi sang penguasa tertinggi sehingga sangat bersifat patrimonial.
Elite demokrasi dengan program utama kestabilan politik berhasil mengembangkan suatu elite ekonomi dengan kekuasaan ekonomi yang besar. Dan elite ekonomi ini yang banyak berkolaborasi dengan pihak asing telah mendorong timbulnya apa yang disebut governance as private enterprise (Kotari, 1976). Dalam situasi seperti ini, sistem politik telah memperlakukan politik dan administrasi negara seperti kegiatan usaha swasta. Perhitungan bisnis swasta telah dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan pihak swasta besar menjadi menyatu dengan tujuan pemegang kekuasaan dengan konsekwensinya kepentingan publik tersingkir. Tersendatnya deregulasi pada bidang-bidang bisnis tertentu, perubahan status hutan lindung, upaya-upaya swasta besar untuk merubah Undang-Undang Pokok Agraria, dan pengaruh pihak swasta besar dalam peruntukkan tanah di kota-kota besar dan sekitarnya dapat dijadikan contoh mengenai ini.
Elemen-elemen manipulatif menjadi dominan dalam kehidupan politik sementara elemen-elemen yang mengutamakan kebijakan yang populis dikesampingkan. Lembaga perwakilan rakyat menjadi tidak punya kekuatan untuk melakukan kotrol yang efektif terhadap pihak eksekutif sehingga lembaga ini tidak punya hubungan yang organik dengan rakyat yang diwakilinya. Negara menjadi apa yang disebut sebagai suatu Administrative State. Pemerintahan dipenuhi oleh administrator-administrator bukan oleh orang-orang yang punya visi politik jangka jauh yang bekerja atas landasan suatu komitmen ideologi nasional yang bersifat kerakyatan.
Sistem politik dalam arti kata yang sebenarnya telah mengalami distorsi yang serius. Sistem politik tidak dapat secara efektif menetapkan arah terhadap admimstrasi negara dan tujuan-tujuan pembangunan yang harus dicapai, mengontrolnya dan mengambil tindakan terhadap penyimpangan. Kekuatan kalangan bisnis besar melalui agen-agennya di pemerintahan telah menimbulkan distorsi terhadap proses pencapaian tujuan-tujuan pembangunan. Alokasi sumber-sumber pembiayaan akan semakin banyak diarahkan terhadap proyek-proyek yang secara prioritas sosial harus menempati posisi terbawah atau tidak menempati posisi sama sekali dalam suasana kemiskinan rakyat yang massif disekitar kita. Proyek-proyek yang secara komersial menguntungkan sangat banyak mengambil porsi sumber-sumber keuangan nasional dengan mengorbankan proyek-proyek yang secara sosial lebih bermanfaat.
Sistem sosial dimana administrative state dan kalangan bisnis besar telah tampil sebagai pengendali utama telah tidak memungkinkan tumbuhnya kalangan kelas menengah yang mandiri yang dapat diharapkan menjadi pembaharu masyarakat. Kelas menengah yang tumbuh baik sebagai pengusaha maupun sebagai profesional pada umumnya hanya dapat berkembang melalui jaringan hubungan yang sudah ada antara pihak-pihak dalam administrative state dengan kalangan bisnis besar. Dalam situasi seperti ini kelas menengah ini akhimya terbawa arus menjadi kelompok yang turut membentuk apa yang disebut distributive coalition dalam memperoleh manfaat paling besar dari proses ekonomi.
Kelompok-kelompok yang mewakili administrative state, bisnis besar dan keseluruhan kalangan kelas menengah, adalah golongan kecil dari masyarakat kita yang telah sangat bertanggung jawab terhadap merajalelanya konsumerisme dalam masyarakat kita. Konsumerisme yang merajalela inilah antara lain yang telah menyebabkan berlangsungnya terus kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving-investment gap) dalam ekonomi kita.
Kesan yang dapat dilihat bahwa dari kondisi diatas ialah suatu alur pemikiran kanan baru (New Right Thinking) telah mulai berkembang dan mengambil tempat secara sistematis di Indonesia. Golongan kanan baru menghendaki agar campur tangan pemerintah dalam kehidupan sosial-ekonomi seminimum mungkin.
Penganut pemikiran kanan baru memandang bahwa sistem demokrasi politik diperlukan sepanjang sistem demokrasi politik ini tidak menghalangi manifestasi kebebasan individu. Menurut pemikiran kanan baru, demokrasi politik bukanlah merupakan tujuan tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yaitu memaksimumkan kemerdekaan individu. Konsep demokrasi politik menurut pemikiran kanan baru adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar dan yang menjamin tidak adanya kekerasan politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat dalam keputusan politik. Golongan kanan baru lebih menyukai suatu sistem demokrasi politik dengan partisipasi luas anggota masyarakat dikhawatirkan akan menampung begitu banyak tuntutan sosial sehingga mengundang campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Golongan kanan baru tidak menginginkan demokrasi politik yang terlampau luas. Mereka mengemukakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila memang diperluakan atau jika terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka golongan kanan baru memilih untuk mengorbankan demokrasi. Kelompok penganut paham kanan baru tidak segan-segan akan tampil sebagai pendukung rejim yang represif dan otoriter.

Peran Negara dalam Sistem Ekonomi Neoliberalisme
Tanggung jawab negara adalah memenuhi keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Negara bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik. Negara juga memiliki kewenangan penuh terhadap politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya yang diatur oleh pemerintah dalam wilayah tertentu.
Karena kewenangan itulah negara akhirnya “didekati” oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional untuk mengembangkan usahanya di wlayah tersebut. Perusahaan multinasional dan transnasional memiliki dana yang sangat besar untuk mengembangkan usahanya di berbagai negara. Untuk mengembangkan usaha dan memperoleh keuntungan yang besar maka tidak aneh bila perusahaan-perusahaan ini juga memiliki pengaruh kuat dalam politik global, karena pengaruh ekonomi mereka yang sangat besar bagi para politisi dan juga sumber finansial yangsangat berkecukupan untu relasi masyarakat dan melobi politik.
Maka tidak aneh bila kondisi penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis dapat berlangsung sedemikian lamanya. Alat untuk mempertahankan penindasan terhadap masyarakat yang digunakan oleh para kapitalis adalah negara. Kita sering didengungkan oleh kampanye pemerintahan yang berpihak kepada kapitalis bahwa mereka mewakili semua orang, yang kaya dan yang miskin. Tetapi sebenarnya, sejak masyarakat kapitalis yang didasarkan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi, serangan apapun terhadap kepemilikan kapitalis akan dihadapi dengan kekerasan dari pemerintahan kapitalis. Melalui kekuatan tentara, Undang-Undang, hukum, pengadilan dan penjara, negara telah berfungsi menjadi “anjing penjaga” dari keberlangsungan sistem kepemilikan pribadi yang menguntungkan kelas kapitalis. Kelas yang berkuasa secara ekonomi – yang memiliki alat-alat produksi – juga berkuasa secara politik.
Negara terwujud untuk menjalankan keputusan-keputusan dari kelas yang mengontrol pemerintah. Dalam masyarakat kapitalis negara menjalankan keputusan-keputusan dari kelas kapitalis. Keputusan-keputusan tersebut dipola untuk mempertahankan sistem kapitalis dimana kelas pekerja harus bekerja melayani pemilik alat-alat produksi.
Bukan hal yang aneh, bila saat ini banyak sekali para pengusaha di Indonesia mulai terjun ke dunia politik untuk tetap menguasai kepemimpinan nasional. Karena hanya dengan jalan inilah para kapitalis dapat tetap mendominasi kekuasaan dan kenikmatan yang mereka alami selama ini.
Negara dalam Sistem Neoliberalisme

Seperti telah disebutkan diatas maka sejak naiknya pemerintahan orde baru dibawah pimpinan Soeharto, Indonesia telah masuk dalam cengkeraman kerakusan kaum modal. Semua pemerintahan yang berkuasa dari masa Soeharto hingga masa SBY-JK adalah pemerintahan nasional yang menjadi agen kepentingan kaum modal. Situasi politik pasca reformasi mei 1998 boleh jadi sangat hiruk pikuk dengan pertarungan politik, pemerintahan telah berganti-ganti sebanyak 4 kali, tetapi hiruk-pikuk politik tersebut tidaklah berarti menganggu kepentingan kaum modal di Indonesia, yang artinya adalah bahwa para elite tersebut bertarung tetapi mereka semuanya tunduk kepada tuan yang sama yaitu para pemilik modal.

Semua agenda kaum modal diimplementasikan dengan cukup baik dan sigap oleh pemerintahan selama ini, termasuk juga kebijakan yang di negara asalnya sendiripun hal tersebut masih enggan dilaksanakan oleh mereka (liberalisasi pertanian).Beberapa contoh penerapan sistem ekonomi Neoliberalisme yang didukung oleh pemerintah Indonesia, seperti:
Privatisasi atau penjualan BUMN kepada pihak perusahaan swasta. Mayoritas BUMN ini sebenarnya cukup menguntungkan secara ekonomi bagi pemerintah, tetapi karena ada desakan dari perjanjian antara Indonesia dan IMF maka Indonesia harus melaksankan privatisasi pada BUMN-BUMN nya.
Pencabutan subsidi terhadap pelayanan publik dilakukan secara pasti oleh pemerintah yang berkuasa pasca reformasi. Pencabutan subsidi ini dilakukan agar perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional dapat bersaing dengan perusahaan negara. Contoh yang paling terlihat dampaknya adalah masuknya Perusahaan Shell dari Belanda dan Petronas dari Malaysia dalam bisnis penjualan bahan bakar untuk kendaraan. Bila subsidi untuk BBM tidak dicabut, maka harga-harga BBM akan tetap murah dan tentu saja perusahaan asing tersebut tidak dapat bersaing dengan harga yangditerapkan oleh pemerintah dengan adanya subsidi. Maka agar perusahaan asing tersebut dapat melakukan penjualaan di Indonesia, pemerintah harus menyetarakan terlebih dahulu harga BBM yang berlaku di Indonesia dengan mencabut subsidi dengan harga penjualan perusahaan asing tersebut.
Liberalisasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya dalam pertanian. Negara memilih kebijakan impor beras dari negara asing dengan dalih persediaan beras nasional tidak mencukupi, tetapi sebenarnya impor beras ini dilakukan agar beras-beras yang diproduksi oleh negara-negara lain dapat masuk ke Indonesia dan bersaing dengan beras nasional yang diproduksi oleh petani. Hal ini jelas mematikan usaha para petani karena mereka akan kesulitan untuk menjual hasil produksinya dikarenakan harga pasaran beras akan sangat murah. Dampak dari murahnya harga beras produksi petani nasional maka akan menambah angka kemiskinan di Indonesia.
Penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan asing yang diterapkan oleh pemerintah melalui kebijakannya tentunya akan berdampak pada keuntungan yang semakin sedikit yang diperoleh oleh Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya. Pemerintah lebih memilih untuk melindungi para investor asing agar nyaman mengeruk hasil bumi Indonesia, dan yang jelas hal tersebut tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hampir tiap bulan ada pembukaan tambang batu bara baru untuk wilayah Kalimantan dan semuanya itu untuk kesejahteraan kaum modal semata.
Utang Luar Negeri yang selama ini diterapkan oleh pemerintah ternyata telah menjadi alat untuk melemahkan dan membuat ketergantungan Indonesia kepada lembaga donor atau negara asing. Pembayaran utang tersebut tentu saja dibebankan kepada rakyat Indonesia dengan mewajibkan pembayaran pajak bagi rakyat Indonesia.
Regulasi investasi yang diterapkan oleh pemerintah sebenarnya untuk membuat investor nyaman berinvestasi seperti intensif pajak, membangun iklim investasi yang kondusif yang berarti keamanan yang terjamin, serikat buruh yang “ramah” serta sistem tenaga kerja yang fleksibel.
Dari hal-hal tersebut diatas, maka jelas terlihat bahwa pemerintah sangat berpihak pada para pemilik modal. Negara sangat berperan dalam menjaga kondisi sistem ekonomi Neoliberalisme yang sangat menyamankan para pemilik modal. Selama negara masih didominasi oleh para elit politik dan pengusaha, maka kondisi yang menindas rakyat Indonesia akan tetap terjaga. Para elit politik dan pengusaha pun berusaha sekuat tenaga agar kondisi ini tidak berubah sehingga situasinya kembali menyengsarakan rakyat.


Delano Trias Prasetyo
mahasiswa semester VI
sosiologi Pembangunan
universitas Negeri Jakarta

Tidak ada komentar: