Rabu, 27 Februari 2008

Perkembangan Masyarakat Madani di Indonesia

Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.

Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.

Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Kesimpulan
Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main.

Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.

Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi.

Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta

BIROKRASI DI INDONESIA

Birokrasi identik dengan pemerintah baik itu pusat maupun daerah, merupakan organisasi publik yang mempunyai komposisi terstruktur, hierarkhis, mempunyai pembagian kerja dan spesifikasi tugas yang sistematis dan jelas, kode etik, disiplin dan memiliki kontrol operasional. Dalam sejarah perkembangannya, birokrasi di Indonesia mengadopsi nilai-nilai luhur budayanya sendiri berupa azas gotong royong dan kekeluargaan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan berubah menjadi pamong praja (pegawai negara). Tapi apa yang ada ternyata telah mengalami distorsi sehingga mengalami perubahan dengan berbagai variasi karakter yang ada sekarang ini. Kelemahan dari birokrasi adalah perilaku paternalistik yang berlebihan, perilaku ini melahirkan budaya ABS (Asal Bapak Senang) yang telah memasung tingkah laku birokrat terhadap kemurnian panggilan tugasnya yang mulia. Pelayanan yang semakin menyimpang tidak lagi berbasis kepada peningkatan kesejahteraan umum dan publik sebagaimana fungsi semula tetapi lebih berat kepada pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan segelintir orang yang disebut hubungan patron-klien yang hampir sama dengan ABS. Kelemahan birokrasi juga bersumber dari luar dan salah satunya adalah faktor politik dimana pada pemerintahan masa lalu dan sekarang ditempatkan sebagai sumber rebutan atau sebagai arena pertarungan antar berbagai kekuatan politik. Realita yang terjadi pada birokrasi Indonesia. Pengaruhnya jelas, birokrasi terkotak-kotak kedalam berbagai perpecahan berdasarkan kekuatan kutub-kutub politik yang ada ketika itu yang mengakibatkan pelayanannya kepada publik melahirkan standar ganda antara loyal pada pemerintah atau tunduk pada partai politik yang menunjuknya, dan pada era reformasi yang menjadi noda hitam pemberdayaan birokrasi adalah politisi yang mempolitisasi birokrasi.

Dalam era otonomi daerah ini, reformasi birokrasi menemukan
momentum yang lebih tepat. Dengan diberikannya kewenangan yang demikian luas
beserta sumber pembiayaannya, daerah dituntut kreatif dan tidak bergantung
kepada Pusat dalam menjalankan fungsinya. Sementara di lain pihak, tuntutan
kebutuhan masyarakat yang harus dilayani birokrasi kian kompleks dan bertambah
kuantitasnya, di samping tingkat kesadaran publik yang makin tinggi. Kondisi
ini mengharuskan organisasi publik siap melakukan perubahan-perubahan
fundamental organisasional untuk menuju good governance.

Tantangan peningkatan kualitas pelayanan publik ini menjadi
demikian urgen mengingat karakteristik warga masyarakat kita kini yang kritis
dan relatif makmur. Daya kritis ini dipicu oleh kuantitas warga yang
berpendidikan tinggi semakin banyak. Sementara itu kemakmuran status ekonomi
warga mendorong terciptanya kebutuhan-kebutuhan pelayanan publik baru yang
perlu diselenggarakan pemerintah, sehingga tuntutan publik atas pelayanan
menjadi kian kompleks. Kompleksitas tuntutan pelayanan yang disertai tingginya
daya kritis publik menjadikan posisi organisasi publik rentan kritik, sehingga
dibutuhkan upaya antisipasi sedini mungkin untuk memuaskan publik selaku
konsumennya.

Dilihat dari perspektif historis, selama ini, tumbuhnya birokrasi
sangat bersifat top-down dan menjadikan publik senantiasa menjadi objek
kekuasaan. Ini terbukti dengan sebutan birokrasi sebagai "pangreh praja"
(pemerintah masyarakat) yang kemudian berganti sebutan "pamong praja".
Ketidakberpihakan birokrasi kepada publik ini tidak lepas dari awal kemunculan
mereka yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah kolonial untuk
mengeksploitasi publik. Kondisi ini berlanjut dan makin menjadi-jadi terutama
pada kurun waktu rezim Orde Baru berkuasa. Kondisi objektif birokrasi yang
demikian lama diwarnai oleh "kekuasaan atas publik", bukan "kekuasaan untuk
publik", memerlukan waktu yang lama untuk bisa mengubah orientasinya tersebut.

Selain itu, faktual secara kuantitas mesin birokrasi yang ada
selalu terkesan gemuk dan tidak efisien. Ini dapat dilihat dari sedemikian
banyaknya lembaga departemen ataupun nondepartemen atau dinas daerah yang
dibentuk yang kerap tidak mempertimbangkan kebutuhan riil daerah. Bahkan ada
beberapa departemen atau dinas daerah yang eksistensinya hanyalah untuk
mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Sebut, misalnya, jabatan Pembantu
Gubernur atau Pembantu Bupati yang merupakan jabatan buangan yang tidak
strategis dan diperuntukkan bagi person yang tidak dikehendaki elite tetapi
bergolongan kepangkatan tinggi. Akibatnya, terjadi inefisiensi dan
inefektivitas birokrasi.

Kondisi itu jelas tidak menguntungkan pada saat kita dihadapkan
dengan tuntutan global sekarang ini yang berputar serba cepat dan efisien.
Karenanya perlu diupayakan revitalisasi birokrasi. Upaya optimalisasi kapasitas
birokrasi itu dapat dibagi dalam 3 aspek, yaitu aspek kelembagaan, aspek sumber
daya manusia (SDM), serta aspek manajemen organisasi dan finansial.

Pada aspek kelembagaan, isu utama yang berkembang ialah keharusan
melakukan restrukturisasi fungsi dan organisasi birokrasi yang secara riil
besar menuju sebuah organisasi birokrasi yang smaller, faster and cheaper
(kecil, cepat dan murah). Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang
diperlukan saat ini ialah yang secara fisik organisasional kecil tetapi secara
kualitatif kapasitasnya besar, sehingga kualitas pelayanan publik yang
diberikan akan makin baik sementara biaya yang terpakai dapat ditekan sedikit
mungkin. Dengan begitu, rasionalisasi birokrasi, baik secara praktis maupun
teoritis, sudah mendesak dilakukan dengan pertimbangan peningkatan efisiensi
anggaran dan kualitas pelayanan publik.

Pada aspek SDM, isu utamanya ialah upaya menciptakan SDM yang
kompeten dalam bidangnya yang mencakup beberapa strategi, di antaranya
rekrutmen atau pensiun dini, pengembangan pegawai dan peninjauan sistem jenjang
karir. Sebagai indikator, kompetensi seorang birokrat meliputi beberapa
kriteria: (1) Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang timbul
di dalam pasar. (2) Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan
fungsi instrumental birokrasi, namun harus melakukan terobosan melalui
pemikiran yang kreatif dan inovatif. (3) Memiliki wawasan futuristik dan
sistemik. (4) Memiliki kemampuan mengantisipasi memperhitungkan dan
memi-nimalkan risiko. (5) Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru.
(6) Memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang
mempunyai produktivitas tinggi. (7) Memiliki kemampuan mengoptimalkan
sumberdaya yang tersedia dengan menggeser kegiatan yang berproduktivitas rendah
menuju yang tinggi

Dari tujuh kriteria itu bisa disarikan, kompetensi seorang birokrat
adalah kemampuannya menjembatani antara negara dan masyarakat. Artinya,
birokrasi harus mampu menyediakan pelayanan publik yang adil dan inklusif
sebaik-baiknya, dan birokrasi harus memiliki kompetensi memberdayakan
masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting.

Sementara itu kondisi riil birokrasi terlihat kuantitas PNS
(pegawai negeri sipil) sudah berlebihan. Beberapa waktu lalu, hal itu
memunculkan wacana pensiun dini bagi PNS, yang hingga kini tidak sempat
direalisasikan karena banyak pertimbangan. Yang kemudian dipakai ialah
menerapkan kebijakan zero-growth dalam rekrutmen PNS, yang tentunya akan dapat
mengurangi jumlah PNS dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Tetapi, kini,
reformasi birokrasi sudah sangat urgen dilakukan.

Alangkah lebih baiknya bila kebijakan pensiun dini ini dapat
diterapkan untuk kasus-kasus khusus yang berkaitan pelanggaran disiplin
pegawai, baik dalam bentuk kasus asusila, perjudian maupun tindakan kriminal
lainnya yang dilakukan oknum PNS. Keuntungannya, di satu pihak mengurangi
kuantitas PNS, di lain pihak bisa memacu kinerja dan menjaga disiplin PNS yang
ada.

Untuk aspek manajemen organisasi perlu dilakukan perubahan
organisasional mendasar. Selain birokrasi harus memiliki jiwa entrepreneurship
yang tinggi, perlu pula dirubah penekanan dari top-down approach ke pendekatan
yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Sementara untuk aspek
finansial perlu dilakukan penggalian sumber dana yang tidak memberatkan
masyarakat, yaitu melalui partnership dengan pihak swasta, selain dengan
menekan kebocoran pengeluaran. Tetapi, akhirnya penting dicatat, semua strategi
itu hanya bisa diimplementasikan bila ada political will elite daerah yang
berkuasa, mengingat adanya kepentingan yang berbeda-beda pada level elite
daerah. Memang idealnya, elite harus bisa menyesuaikan kepentingan yang berbeda
itu dengan tetap pada satu komitmen, yaitu keberpihakan kepada masyarakat
banyak.

Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta

ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory)

Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut. Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab'.Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme masing-masing pemikir mengaplikasikan hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran
Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx. Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan jaman.
Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama
Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat.
Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Pandangan Teori kritis
Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.
Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42).
Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.
Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.
Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis.
Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern.
Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusiaNamun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran palsu”.
Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya.
Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.

Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta

Sistem Ekonomi Politik di Indonesia Yang Merugikan Rakyat

Strategi pembangunan yang telah dilaksanakan sejak berdirinya Orde Baru sampai saat ini ialah strategi pembangunan yang berlandaskan pemikiran neoklasik Kuno yang menumpukkan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama pembangunan yaitu memaksimumkan produksi nasional. Faktor netral dalam strategi pembangunan ini ialah faktor modal dan teknologi. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok yang paling dinamis di dalam masyarakat yaitu kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi dimana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan.
Pelaksanaan strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial seperti penyerapan tenaga kerja yang luas, kemiskinan, distribusi pendapatan dan kekayaan, dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Juga strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan kelembagaan masyarakat yang ada. Dalam hal ini kelembagaan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang diberikan. Pemikiran yang melandasi strategi pembangunan ini memberikan gambaran bahwa di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat, akan terjadi di dalam situasi kelembagaan masyarakat yang ada, struktur sosial yang ada dan daya beli rakyat yang ada.
Proses ekonomi Indonesia ditandai dengan ciri yaitu yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit usaha besar dengan unit-unit usaha kecil terutama di sektor pertanian. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit ekonomi formal dengan sektor informal. Hubungan yang eksploitatif terjadi terhadap para konsumen melalui penentuan harga barang diatas kewajaran. Dan hubungan yang eksploitatif terjadi antara pihak pengusaha atau pemodal terhadap kaum buruh.
Pertambahan produksi yang diakibatkan oleh peningkatan produktivitas seluruh faktor produksi yang digunakan telah tidak diiringi dengan penentuan tingkat pembayaran yang sejajar secara wajar dengan kenaikan produktivitas faktor-faktor produksi ini. Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh dibawah nilai produktivitas batas faktor buruh ini. Sedangkan faktor produksi yang lain terutama modal menikmati tingkat pembayaran yang berada jauh diatas produktivitas batasnya.
Dalam hal ini pihak buruh berada dalam posisi undercompensated sedangkan faktor modal berada dalam posisi overcompensated. Pihak buruh dibayar jauh dibawah produktivitasnya sehingga tingkat upah yang terbentuk mungkin hanya sama dengan nilai subsistence saja atau bahkan dibawah nilai subsistence ini atau dibawah nilai kebutuhan fisik minimum. Dalam hal mi telah terjadi suatu transfer nilai yang berlebihan dari pihak buruh kepada pemilik faktor produksi yang lain. Transfer nilai yang berlebihan ini tak lain adalah refleksi dari suatu proses eksploitasi. Pihak buruh berada dalam posisi ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, secara sadar atau tidak sadar buruh telah dianggap sebagai suatu kelompok paria atau kelompok kuli oleh pihak berkuasa sehingga mereka tidak dimungkinkan untuk mempunyai suatu posisi tawar yang kuat dalam proses produksi.
Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomi secara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersedia dibayar murah asal mendapat pekerjaannya secara kelembagaan telah tidak dinetralisir dengan suatu ketentuan yang menjamin tingkat upah minimum yang wajar sehingga tingkat kemakmuran buruh yang minimum tidak dapat dipertahankan. Dalam situasi ini, institutional wage level yang berbentuk berada pada tingkat yang sedemikian rupa rendahnya dan tingkat inilah yang telah dijadikan dasar bagi pihak-pihak yang meminta tenaga buruh dalam menetapkan tingkat upah yang akan dibayarkan kepada buruh dalam proses produksi.
Sementara itu, faktor produksi non-buruh terutama modal seperti telah dinyatakan sebelumnya telah menikmati suatu posisi overcompensated dimana pendapatan yang diperoleh oleh faktor produksi ini berada jauh diatas produktivitasnya. Pendapatan yang diperoleh oleh faktor produksi ini jauh berlebihan dari yang seharusnya diperolehnya dalam keadaan proses ekonomi yang wajar yang didukung oleh perangkat kelembagaan yang sempurna atau mendekati sempurna. Komponen berlebihan dalam struktur pendapatan yang diraih oleh faktor produksi ini adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya sebagai rente ekonomi. Rente ekonomi ini terbentuk sebagai akibat adanya transfer nilai dari pihak buruh, pengusaha kecil dan konsumen sebagai akibat penetapan harga yang tinggi secara tidak wajar atas barang-barang yang diproduksi. Seperti telah disebutkan sebelumnya tiga bentuk eksploitasi tercermin dalam rente ekonomi ini yaitu eksploitasi terhadap buruh, eksploitasi terhadap pengusaha kecil dan eksploitasi terhadap konsumen. Komponen yang mencerminkan eksploitasi terhadap konsumen secara relatif tinggi dalam situasi kelembagaan pasar monopoli atau oligopoli yang kolusif. Dispensasi-dispensasi khusus yang diperoleh pemilik modal tertentu yang memungkinkan unit-unit produksi yang mereka kendalikan menikmati penghematan biaya secara tidak wajar telah mempertinggi tingkat rente ekonomi.
Terjadinya proses eksploitasi disebabkan etika sosial atau moralitas ekonomi telah tidak menjadi landasan dalam hubungan dan proses ekonomi. Terlihat dengan nyata bahwa kita sadar atau tidak sadar telah didominasi oleh pemikiran ekonomi kapitalisme abad ke-19. Ini terbukti dengan tumbuhnya secara kokoh kelas pemupuk rente ekonomi dalam ekonomi Indonesia. Dan kelas pemupuk rente ekonomi ini adalah umumnya para konglomerat. Sistem kapitalisme abad ke-19 ini pada hakekatnya adalah sistem kapitalisme rampok yang merupakan ciri Kapitalisme Muda sesuai dengan definisi Sombart (Hatta, 1953).
Kelas pemupuk rente ekonomi menjalin hubunga yang simbiotis dengan elit kekuasaan dan para birokrat. Melalui hubungan yang simbiotis ini terjadilah apa yang disebut Mancur Olson (1982) sebagal distributional coalition. Koalisi ini merupakan suatu jaringan mirip kartel yang bertujuan untuk meraih rente ekonomi semaksimum mungkin dari rakyat banyak yang merupakan konsumen, produsen kecil, dan buruh. Dan rente ekonomi ini didistribusikan kepada anggota-anggota koalisi ini.
Oleh karena rente ekonomi mempunyai kecenderungan untuk bertambah besar sebagai akibat tuntutan-tuntutan dari para anggota koalisi bertambah meningkat, maka inilah yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Seiring dengan ini, maka proses eksploitasi terhadap buruh, pengusaha kecil, dan konsumen menjadi bertambah intensif. Ini dapat dibuktikan dengan menurunnya porsi upah buruh dalam nilai keseluruhan nilai tambah sektor industri.
Kebijakan Politik Yang Tidak Menguntungkan Rakyat
Sistem politik di Indonesia dapat dianggap mencerminkan suatu elite demokrasi yang diiringi dengan praktek-praktek kenegaraan atau pemenntahan ala kerajaan Mataram. Dengan berat hati, saya terpaksa menamakan sistem politik dan sistem pemerintahan yang seperti ini sebagai suatu sistem politik dan sistem pemerintahan yang pra-modern. Perangkat pemerintahan merupakan kepanjangan dari rumah tangga pribadi sang penguasa tertinggi sehingga sangat bersifat patrimonial.
Elite demokrasi dengan program utama kestabilan politik berhasil mengembangkan suatu elite ekonomi dengan kekuasaan ekonomi yang besar. Dan elite ekonomi ini yang banyak berkolaborasi dengan pihak asing telah mendorong timbulnya apa yang disebut governance as private enterprise (Kotari, 1976). Dalam situasi seperti ini, sistem politik telah memperlakukan politik dan administrasi negara seperti kegiatan usaha swasta. Perhitungan bisnis swasta telah dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan pihak swasta besar menjadi menyatu dengan tujuan pemegang kekuasaan dengan konsekwensinya kepentingan publik tersingkir. Tersendatnya deregulasi pada bidang-bidang bisnis tertentu, perubahan status hutan lindung, upaya-upaya swasta besar untuk merubah Undang-Undang Pokok Agraria, dan pengaruh pihak swasta besar dalam peruntukkan tanah di kota-kota besar dan sekitarnya dapat dijadikan contoh mengenai ini.
Elemen-elemen manipulatif menjadi dominan dalam kehidupan politik sementara elemen-elemen yang mengutamakan kebijakan yang populis dikesampingkan. Lembaga perwakilan rakyat menjadi tidak punya kekuatan untuk melakukan kotrol yang efektif terhadap pihak eksekutif sehingga lembaga ini tidak punya hubungan yang organik dengan rakyat yang diwakilinya. Negara menjadi apa yang disebut sebagai suatu Administrative State. Pemerintahan dipenuhi oleh administrator-administrator bukan oleh orang-orang yang punya visi politik jangka jauh yang bekerja atas landasan suatu komitmen ideologi nasional yang bersifat kerakyatan.
Sistem politik dalam arti kata yang sebenarnya telah mengalami distorsi yang serius. Sistem politik tidak dapat secara efektif menetapkan arah terhadap admimstrasi negara dan tujuan-tujuan pembangunan yang harus dicapai, mengontrolnya dan mengambil tindakan terhadap penyimpangan. Kekuatan kalangan bisnis besar melalui agen-agennya di pemerintahan telah menimbulkan distorsi terhadap proses pencapaian tujuan-tujuan pembangunan. Alokasi sumber-sumber pembiayaan akan semakin banyak diarahkan terhadap proyek-proyek yang secara prioritas sosial harus menempati posisi terbawah atau tidak menempati posisi sama sekali dalam suasana kemiskinan rakyat yang massif disekitar kita. Proyek-proyek yang secara komersial menguntungkan sangat banyak mengambil porsi sumber-sumber keuangan nasional dengan mengorbankan proyek-proyek yang secara sosial lebih bermanfaat.
Sistem sosial dimana administrative state dan kalangan bisnis besar telah tampil sebagai pengendali utama telah tidak memungkinkan tumbuhnya kalangan kelas menengah yang mandiri yang dapat diharapkan menjadi pembaharu masyarakat. Kelas menengah yang tumbuh baik sebagai pengusaha maupun sebagai profesional pada umumnya hanya dapat berkembang melalui jaringan hubungan yang sudah ada antara pihak-pihak dalam administrative state dengan kalangan bisnis besar. Dalam situasi seperti ini kelas menengah ini akhimya terbawa arus menjadi kelompok yang turut membentuk apa yang disebut distributive coalition dalam memperoleh manfaat paling besar dari proses ekonomi.
Kelompok-kelompok yang mewakili administrative state, bisnis besar dan keseluruhan kalangan kelas menengah, adalah golongan kecil dari masyarakat kita yang telah sangat bertanggung jawab terhadap merajalelanya konsumerisme dalam masyarakat kita. Konsumerisme yang merajalela inilah antara lain yang telah menyebabkan berlangsungnya terus kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving-investment gap) dalam ekonomi kita.
Kesan yang dapat dilihat bahwa dari kondisi diatas ialah suatu alur pemikiran kanan baru (New Right Thinking) telah mulai berkembang dan mengambil tempat secara sistematis di Indonesia. Golongan kanan baru menghendaki agar campur tangan pemerintah dalam kehidupan sosial-ekonomi seminimum mungkin.
Penganut pemikiran kanan baru memandang bahwa sistem demokrasi politik diperlukan sepanjang sistem demokrasi politik ini tidak menghalangi manifestasi kebebasan individu. Menurut pemikiran kanan baru, demokrasi politik bukanlah merupakan tujuan tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yaitu memaksimumkan kemerdekaan individu. Konsep demokrasi politik menurut pemikiran kanan baru adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar dan yang menjamin tidak adanya kekerasan politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat dalam keputusan politik. Golongan kanan baru lebih menyukai suatu sistem demokrasi politik dengan partisipasi luas anggota masyarakat dikhawatirkan akan menampung begitu banyak tuntutan sosial sehingga mengundang campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Golongan kanan baru tidak menginginkan demokrasi politik yang terlampau luas. Mereka mengemukakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila memang diperluakan atau jika terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka golongan kanan baru memilih untuk mengorbankan demokrasi. Kelompok penganut paham kanan baru tidak segan-segan akan tampil sebagai pendukung rejim yang represif dan otoriter.

Peran Negara dalam Sistem Ekonomi Neoliberalisme
Tanggung jawab negara adalah memenuhi keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Negara bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik. Negara juga memiliki kewenangan penuh terhadap politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya yang diatur oleh pemerintah dalam wilayah tertentu.
Karena kewenangan itulah negara akhirnya “didekati” oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional untuk mengembangkan usahanya di wlayah tersebut. Perusahaan multinasional dan transnasional memiliki dana yang sangat besar untuk mengembangkan usahanya di berbagai negara. Untuk mengembangkan usaha dan memperoleh keuntungan yang besar maka tidak aneh bila perusahaan-perusahaan ini juga memiliki pengaruh kuat dalam politik global, karena pengaruh ekonomi mereka yang sangat besar bagi para politisi dan juga sumber finansial yangsangat berkecukupan untu relasi masyarakat dan melobi politik.
Maka tidak aneh bila kondisi penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis dapat berlangsung sedemikian lamanya. Alat untuk mempertahankan penindasan terhadap masyarakat yang digunakan oleh para kapitalis adalah negara. Kita sering didengungkan oleh kampanye pemerintahan yang berpihak kepada kapitalis bahwa mereka mewakili semua orang, yang kaya dan yang miskin. Tetapi sebenarnya, sejak masyarakat kapitalis yang didasarkan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi, serangan apapun terhadap kepemilikan kapitalis akan dihadapi dengan kekerasan dari pemerintahan kapitalis. Melalui kekuatan tentara, Undang-Undang, hukum, pengadilan dan penjara, negara telah berfungsi menjadi “anjing penjaga” dari keberlangsungan sistem kepemilikan pribadi yang menguntungkan kelas kapitalis. Kelas yang berkuasa secara ekonomi – yang memiliki alat-alat produksi – juga berkuasa secara politik.
Negara terwujud untuk menjalankan keputusan-keputusan dari kelas yang mengontrol pemerintah. Dalam masyarakat kapitalis negara menjalankan keputusan-keputusan dari kelas kapitalis. Keputusan-keputusan tersebut dipola untuk mempertahankan sistem kapitalis dimana kelas pekerja harus bekerja melayani pemilik alat-alat produksi.
Bukan hal yang aneh, bila saat ini banyak sekali para pengusaha di Indonesia mulai terjun ke dunia politik untuk tetap menguasai kepemimpinan nasional. Karena hanya dengan jalan inilah para kapitalis dapat tetap mendominasi kekuasaan dan kenikmatan yang mereka alami selama ini.
Negara dalam Sistem Neoliberalisme

Seperti telah disebutkan diatas maka sejak naiknya pemerintahan orde baru dibawah pimpinan Soeharto, Indonesia telah masuk dalam cengkeraman kerakusan kaum modal. Semua pemerintahan yang berkuasa dari masa Soeharto hingga masa SBY-JK adalah pemerintahan nasional yang menjadi agen kepentingan kaum modal. Situasi politik pasca reformasi mei 1998 boleh jadi sangat hiruk pikuk dengan pertarungan politik, pemerintahan telah berganti-ganti sebanyak 4 kali, tetapi hiruk-pikuk politik tersebut tidaklah berarti menganggu kepentingan kaum modal di Indonesia, yang artinya adalah bahwa para elite tersebut bertarung tetapi mereka semuanya tunduk kepada tuan yang sama yaitu para pemilik modal.

Semua agenda kaum modal diimplementasikan dengan cukup baik dan sigap oleh pemerintahan selama ini, termasuk juga kebijakan yang di negara asalnya sendiripun hal tersebut masih enggan dilaksanakan oleh mereka (liberalisasi pertanian).Beberapa contoh penerapan sistem ekonomi Neoliberalisme yang didukung oleh pemerintah Indonesia, seperti:
Privatisasi atau penjualan BUMN kepada pihak perusahaan swasta. Mayoritas BUMN ini sebenarnya cukup menguntungkan secara ekonomi bagi pemerintah, tetapi karena ada desakan dari perjanjian antara Indonesia dan IMF maka Indonesia harus melaksankan privatisasi pada BUMN-BUMN nya.
Pencabutan subsidi terhadap pelayanan publik dilakukan secara pasti oleh pemerintah yang berkuasa pasca reformasi. Pencabutan subsidi ini dilakukan agar perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional dapat bersaing dengan perusahaan negara. Contoh yang paling terlihat dampaknya adalah masuknya Perusahaan Shell dari Belanda dan Petronas dari Malaysia dalam bisnis penjualan bahan bakar untuk kendaraan. Bila subsidi untuk BBM tidak dicabut, maka harga-harga BBM akan tetap murah dan tentu saja perusahaan asing tersebut tidak dapat bersaing dengan harga yangditerapkan oleh pemerintah dengan adanya subsidi. Maka agar perusahaan asing tersebut dapat melakukan penjualaan di Indonesia, pemerintah harus menyetarakan terlebih dahulu harga BBM yang berlaku di Indonesia dengan mencabut subsidi dengan harga penjualan perusahaan asing tersebut.
Liberalisasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya dalam pertanian. Negara memilih kebijakan impor beras dari negara asing dengan dalih persediaan beras nasional tidak mencukupi, tetapi sebenarnya impor beras ini dilakukan agar beras-beras yang diproduksi oleh negara-negara lain dapat masuk ke Indonesia dan bersaing dengan beras nasional yang diproduksi oleh petani. Hal ini jelas mematikan usaha para petani karena mereka akan kesulitan untuk menjual hasil produksinya dikarenakan harga pasaran beras akan sangat murah. Dampak dari murahnya harga beras produksi petani nasional maka akan menambah angka kemiskinan di Indonesia.
Penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan asing yang diterapkan oleh pemerintah melalui kebijakannya tentunya akan berdampak pada keuntungan yang semakin sedikit yang diperoleh oleh Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya. Pemerintah lebih memilih untuk melindungi para investor asing agar nyaman mengeruk hasil bumi Indonesia, dan yang jelas hal tersebut tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hampir tiap bulan ada pembukaan tambang batu bara baru untuk wilayah Kalimantan dan semuanya itu untuk kesejahteraan kaum modal semata.
Utang Luar Negeri yang selama ini diterapkan oleh pemerintah ternyata telah menjadi alat untuk melemahkan dan membuat ketergantungan Indonesia kepada lembaga donor atau negara asing. Pembayaran utang tersebut tentu saja dibebankan kepada rakyat Indonesia dengan mewajibkan pembayaran pajak bagi rakyat Indonesia.
Regulasi investasi yang diterapkan oleh pemerintah sebenarnya untuk membuat investor nyaman berinvestasi seperti intensif pajak, membangun iklim investasi yang kondusif yang berarti keamanan yang terjamin, serikat buruh yang “ramah” serta sistem tenaga kerja yang fleksibel.
Dari hal-hal tersebut diatas, maka jelas terlihat bahwa pemerintah sangat berpihak pada para pemilik modal. Negara sangat berperan dalam menjaga kondisi sistem ekonomi Neoliberalisme yang sangat menyamankan para pemilik modal. Selama negara masih didominasi oleh para elit politik dan pengusaha, maka kondisi yang menindas rakyat Indonesia akan tetap terjaga. Para elit politik dan pengusaha pun berusaha sekuat tenaga agar kondisi ini tidak berubah sehingga situasinya kembali menyengsarakan rakyat.


Delano Trias Prasetyo
mahasiswa semester VI
sosiologi Pembangunan
universitas Negeri Jakarta

LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERWENANG UNTUK MEMBERIKAN SOSIALISASI POLITIK

Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan
Salah satu agenda penting dalam rangka membudayakan ide demokrasi adalah dengan cara meningkatkan peran organisasi politik dan kepartaian serta organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam penentuan kebijakan publik. Upaya membangun kultur demokrasi itu membutuhkan keteladanan dan contoh konkrit, sehingga ide demokrasi meningkat dari retorika ke agenda aksi, dari persoalan kata-kata di tingkat elite, menjadi persoalan realitas perilaku di tingkat organisasi, dan proses pengambilan keputusan di tingkat masyarakat sendiri. Karena itu, bersamaan dengan upaya mendorong proses demokratisasi terus menerus dalam hubungan yang bersifat vertikal antara rakyat dan negara, kita perlu mengembangkan dinamika wacana yang lebih bersifat horizontal antara organisasi kemasyuarakatan dengan para anggota, dan bahkan antara partai politik dengan anggota dan simpatisannya sendiri. Untuk itu, agenda pelembagaan dan peningkatan kualitas kelembagaan partai politik juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Partai politik tidak boleh lagi sekedar difungsikan sebagai mesin penghimpun suara dalam pemilihan umum. Di masa depan, di mana warga masyarakat terus meningkat kualitasnya, masyarakat tidak bisa lagi hanya diperlakukan sebagai pemberi suara. Partai Politik yang hanya dijadikan mesin penghimpun suara, segera akan kehilangan arti di mata rakyat yang makin kritis. Dukungan akan diberikan oleh rakyat manakala partai politik dapat diyakini telah berperan penting dalam meningkatkan keberdayaan rakyat sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, agenda pelembagaan partai politik menjadi agenda yang sangat penting dalam menjamin masa depan demokrasi di negara kita.

Demikian pula dengan kualitas pengambilan keputusan di lingkungan organisasi kemasyarakatan dan kalangan lembaga swadaya masyarakat kita yang sampai sekarang belum sepenuhnya mengalami perubahan sesuai tuntutan zaman. Banyak organisasi kemasyarakatan yang dikuasai oleh suatu keluarga secara turun temurun sesuai kultur feodal dan paternalistik sebagai warisan sistem kerajaan di masa lalu. Jika kenyataan ini tidak segera berubah, maka kita dapat menyatakan bahwa basis kultural agenda demokrasi dan demokratisasi Indonesia di masa depan masih belum dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Bagaimana mungkin kita akan berhasil membangun demokrasi, jika kita hanya sukses dalam menata institusi dan memperbarui atau membuat perangkat hukum yang diperlukan untuk itu, tetapi perilaku warga masyarakatnya, termasuk mereka yang bertindak sebagai subjek hukum dalam institusi-institusi demokrasi itu masih dibelenggu oleh sikap dan orientasi pemikiran serta pola perilaku lama yang masih bersifat feodalistis. Oleh karena itu, penting sekali artinya, kita membudayakan tradisi demokrasi itu mulai dari lingkungan ormas dan orpol yang terlembagakan secara rasional sebagai agen-agen pembaruan.

Demokratisasi dan pelembagaan institusi-institusi kemasyarakatan ini penting karena mereka ini dapat diharapkan memainkan peran strategis, baik sebagai ‘intermediate structure’ untuk pelembagaan dan perwujudan ide-ide pembaruan maupun dalam rangka memperkuat keberdayaan masyarakat madani (civil society). Memang sekarang ini banyak bermunculan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tetapi LSM-LSM yang bersuara vokal jumlahnya hanya sedikit. Lagi pula peran yang mereka mainkan seringkali tidak fokus, terlalu bernafsu untuk melakukan semua hal di luar kapasitas yang sesungguhnya. Apalagi, kegiatan mereka ini sebagian terbesar tergantung lembaga donor yang sebagian terbesar datang dari luar negeri dengan agenda dan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu mendapat perhatian dalam upaya keberdayaan masyarakat madani yang sesungguhnya adalah organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memang tumbuh dan berkembang luas dalam sejarah Indonesia sejak lama. Ada yang bersifat keagamaan, kepemudaan dan kemahasiswaan, ada pula yang mengaitkan diri dengan ide-ide gerakan ekonomi dan sebagainya. Justru ormas-ormas jenis inilah yang lebih tetap disebut sebagai lembaga swadaya dalam arti yang sebenarnya yang sangat penting perannya bagi penguatan keberdayaan masyarakat madani. Demikian pula dengan partai politik, yang pada umumnya di masa reformasi dewasa ini terbentuk secara mendadak, belum terlembagakan secara baik. Karena itu, di masa-masa yang akan datang, kalangan pemimpin politik hendaklah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh melakukan ‘institutional building’ terhadap partainya. Dengan demikian, partai tidak saja dipandang sebagai mesin politik penghimpun dukungan rakyat, tetapi sungguh-sungguh difungsikan sebagai sarana melalui mana para anggota dan simpatisannya dapat menyalurkan aspirasi politik dan sekaligus dengan mana mereka dapat bersama-sama memperkuat keberdayaan mereka sendiri secara mandiri. Karena itu, setiap partai hendaklah mengembangkan agenda politik dan sekaligus agenda keberdayaan ekonomi, sosial dan kebudayaan rakyat.

Restrukturisasi Parlemen
Para pendiri negara kita mengklaim tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti yang dipraktekkan di Amerika Serikat yang berasal dari pandangan Montesquieu. Itu sebabnya, ketentuan UUD 1945 tidak memisahkan secara tegas antara kekuasaan legislatif yang utamanya dipegang oleh Presiden dan kekuasaan legislatif yang dipegang oleh DPR. Bahkan dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) lama UUD 1945, ditegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Tentu DPR juga ditentukan dapat atau berhak untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU kepada Presiden, tetapi kekuasaan utama untuk membentuk UU tetap berada di tangan Presiden. Karena itu, dalam Amandemen Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian dibalik. Dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR, sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Dengan demikian, dalam Perubahan UUD kita telah terjadi peralihan kekuasaan legislatif yang sesungguhnya dari Presiden ke DPR[1]. Di samping itu, beberapa kekuasaan Presiden di bidang-bidang lain yang selama ini ditentukan sebagai kewenangan mutlak (hak prerogatif) Presiden, berdasarkan ketentuan yang baru dikaitkan dengan peran DPR. Ada yang ditentukan harus disetujui DPR, ada yang harus mendapat pertimbangan oleh DPR, atau ada pula yang pelaksanaannya ditentukan harus diatur dulu dengan UU yang tentunya melibatkan peran DPR. Kekuasaan-kekuasaan yang dimaksud adalah (i) pengangkatan dan pemberhentian Kapolri[2], (ii) pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI[3], (iii) pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul[4], dan bahkan (iv) ada pula kewenangan Presiden yang selama ini dikaitkan dengan MA justru dipindahkan ke DPR, yaitu dalam hal Presiden akan memberikan amnesti dan abolisi harus terlebih dulu mendengarkan pertimbangan DPR[5]. Dengan perkataan lain, kekuasaan DPR makin meningkat tajam dengan mengalihkan sebagian kewenangan Presiden dan bahkan lembaga tinggi negara lainnya.

Gejala penambahan kewenangan atau pemupukan kekuasaan di DPR ini di satu segi baik dan positif, tetapi di pihak lain dapat pula menimbulkan kehawatiran tersendiri. Apalagi dikaitkan dengan semangat eforia dalam pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR cenderung nampak meluap-luap seperti tidak dapat dikendalikan. Di masa depan, hal ini dapat juga menimbulkan gejala pergeseran dari kecenderungan kekuasaan yang ‘executive heavy’ ke arah kecenderungan ‘legislative heavy’ yang belum tentu sehat. Suasana seperti ini juga tercermin di MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang cenderung mengkonsentrasikan makin banyak kekuasaan, sehingga dapat mengakibatkan MPR berkembang menjadi lembaga teknis dan rutin. Dalam ketentuan UUD 1945 yang semula, kewenangan yang bersumber dari kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR (tidak diserahkan kepada lembaga tinggi lainnya) hanya berkenaan dengan 5 hal, yaitu (i) menetapkan UUD[6], (ii) mengubah UUD[7], (iii) menetapkan garis-garis besar haluan penyelenggaraan negara sebagai tambahan terhadap norma-norma yang belum diatur dalam UUD[8], (iv) memilih Presiden dan Wakil Presiden[9], dan (v) kemungkinan memberhentikan Presiden di tengah jabatannya apabila terbukti Presiden sungguh-sungguh telah melanggar haluan negara (baca: haluan penyelenggaraan negara seperti yang ditetapkan dalam UUD atau yang ditetapkan oleh MPR)[10]. Dalam melaksanakan fungsinya itu, MPR mengadakan 2 jenis persidangan, yaitu yang rutin lima tahunan disebut Sidang Umum, dan persidangan yang dapat diadakan kapan saja sewaktu-waktu timbul keperluan untuk itu yang dinamakan Sidang Istimewa. Akan tetapi, sekarang, MPR menambahkan sendiri kewenangannya dengan: (i) menyelenggarakan Sidang Tahunan yang bersifat rutin, (ii) meminta laporan pelaksanaan tugas dari setiap lembaga tinggi negara, dan bahkan (iii) mengambil alih kewenangan lembaga rutin yang secara akadamis selalu dikaitkan dengan fungsi kekuasaan kehakiman yaitu kewenangan ‘judicial review’ atas materi UU terhadap UUD[11]. Kewenangan terakhir ini anehnya dikaitkan dengan fungsi Badan Pekerja MPR, khususnya Panitia Ad Hoc 1 yang tidak bersifat permanen dan memiliki kewenangan mandiri. Padahal tugas ‘judicial review’ yang dalam hal ini disebut ‘legislative review’ merupakan tugas yang bersifat rutin dan membutuhkan kelembagaan yang memiliki kewenangan yang bersifat mandiri. Dengan perkataan lain, dewasa ini, tengah berlangsung proses pemupukan kekuasaan yang besar ke dalam lembaga parlemen kita, baik di DPR maupun di MPR.

Padahal, pada saat yang bersamaan, rakyat secara luas sedang berusaha mengambil kembali sebagian kewenangannya dalam rangka kedaulatan rakyat. Pertama, sudah menjadi aspirasi yang luas dan bahkan telah pula ditampung dalam rancangan perubahan UUD bahwa di masa depan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diharapkan dapat dilakukan langsung oleh rakyat. Kedua, dalam rangka menjamin integrasi nasional dan mendorong peranan daerah yang lebih besar dalam proses politik di tingkat nasional, maka telah diterima sebagai rancangan bahwa di masa depan parlemen kita akan terdiri atas dua kamar (bikameral), yaitu DPR dan DPD. Jika kedua gagasan pemilihan Presiden langsung dan pembentukan parlemen dua kamar diterima, maka dengan sendirinya kedudukan MPR tidak dapat lagi dipertahankan sebagai lembaga tertinggi negara. Kalaupun masih akan dipertahankan, paling-paling ia diubah menjadi sekedar forum saja, yaitu forum tertinggi MPR seperti pengaturan mengenai ‘joint session’ antara Senat dan DPR di Amerika Serikat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sekarang kita menghadapi dilemma. Di satu pihak MPR sedang mengalami proses penguatan kekuasaan, tetapi di pihak lain, rakyat ingin mengambil alih sebagian kedaulatannya yang selama ini dilakukan oleh MPR. Demikian pula dengan DPR, yang cenderung makin memperbanyak kewenangan yang bersifat teknis, yang dalam waktu dekat tidak mudah untuk dilaksanakan. Jika makin banyak kewenangannya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, misalnya, karena dukungan staf ataupun dukungan kelembagaannya belum siap, maka hal itu dapat berakibat negatif terhadap citra DPR sendiri yang justru diharapkan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Misalnya, jika dalam lima tahun ini, RUU lebih banyak diajukan oleh pemerintah daripada oleh DPR sendiri, sudah tentu akan berakibat pada penilaian masyarakat terhadap kinerja DPR. Di lain pihak, banyaknya tugas-tugas teknis yang dibebankan kepada DPR, dapat pula mengubah karakter fungsinya menjadi lembaga teknis yang membutuhkan banyak dukungan-dukungan yang bersifat teknis pula. Padahal, yang lebih penting adalah fungsi DPR sebagai lembaga pengawasan politik terhadap kinerja pemerintah.

Penilaian masyarakat terhadap kelemahan kinerja parlemen dapat mengurangi perhatian rakyat terhadap kelemahan-kelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah, dan akibatnya, pemerintahan akan berjalan tanpa kontrol yang efektif. Kenyataan-kenyataan seperti diuraikan di atas, belum lagi kita kaitkan dengan kinerja DPRD propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang akhir-akhir ini juga menunjukkan gejala peranan yang kurang sehat bagi pertumbuhan demokrasi kita. Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk menegaskan keseimbangan peran antara lembaga parlemen dengan institusi pemerintahan Republik Indonesia di semua tingkatannya di masa-masa yang akan datang dengan membangun mekanisme yang sehat, rasional, dan impersonal. Bersamaan dengan itu, perlu segera dipastikan bahwa MPR tidak lagi dikembangkan sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan cukup sebagai forum tertinggi negara untuk keperluan memutuskan hal-hal yang tertentu saja, khususnya yang berkenaan dengan UUD dan lembaga kepresidenan kita. Dengan demikian, lembaga parlemen kita kembangkan menjadi dua kamar yang terdiri atas DPR dan DPD di tingkat pusat. Sedangkan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota cukup terdiri atas satu kamar saja, yaitu DPRD, dan di tingkat desa dibentuk badan perwakilan desa yang dapat disebut dengan nama yang sesuai dengan kebutuhan setempat.
[1] Bandingkan rumusan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 lama dengan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4) baru UUD 1945 dalam naskah Perubahan Pertama hasil Sidang Umum MPR-RI Tahun 1999, ditambah dengan Pasal 20 ayat (5) dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, hasil Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000.
[2] TAP No.IV/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.
[3] Ibid.
[4] Bandingkan rumusan ketentuan UUD 1945 Pasal 13 lama dan baru.
[5] Pasal 14 ayat (1) menentukan pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden tetap memerlukan pertimbangan Mahkamah Agung, tetapi pemberian amnesti dan abolisi dalam ayat (2)nya ditentukan harus dimintakan dulu pertimbangan DPR.
[6] Pasal 3 UUD 1945.
[7] Pasal 37 UUD 1945.
[8] Pasal 3 UUD 1945.
[9] Pasal 6 UUD 1945.
[10] Penjelasan UUD 1945.
[11] TAP MPR No.III/MPR/2000.


Delano Trias Prasetyo
mahasiswa semester VI
sosiologi pembangunan
universitas negeri jakarta

Perkembangan Partai Politik di Indonesia

Partai politik dapat dikatakan merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan karena itu hendak diperjuangkan. Ideologi, platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik. Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk bersamasama memperjuangkan clan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi sernua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional.

Dengan menggunakan ideologi partai sebagai pelita penunjuk arah, para pengurus dan aktivis partai berupaya menampung dan mengagregasikan aspirasi anggota, simpatisan, dan rakyat pada umumnya menjadi alternatif kebijakan publik untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif. Karena itu ideologi suatu partai ataupun ideologi yang dianut politisi dapat dikhat pada pola dan arah kebijakan yang diperjuangkannya dalam pembuatan APBN/APBD, pada pernyataan politik yang dikemukakan untuk menanggapi persoalan yang dihadapi negara-bangsa, pada respon yang diberikan terhadap aspirasi yang diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, pada pola dan arah peraturan perundang-undangan yang diperjuangkannya, dan pada sosok dan profile orang-orang yang diusulkan atau dipilihnya untuk menduduki berbagai jabatan kenegaraan di pusat dan daerah. Untuk memperjuangkan cita-cita partai dan aspirasi rakyat yang diagregasikan berdasarkan cita-cita partai itu, partai politik mencari dan mempertahankan kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif melalui
pemilihan umum dan cara lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mendukung hal ini, partai politlik melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik pada satu pihak dan menggalang dukungan politik (suara) dan materil (dana dan sarana) dari anggota clan simpatisan.

Apapun sistem pemilihan umum yang dianut, partai politik peserta pemilu berperan dalam proses pencalonan anggota yang akan mengisi jabatan legislatif, eksekutif, bahkan judikatif. Fungsi rekrutmen politik ini begitu penting tidak saja dari segi legitimasi kewenangan tetapi juga untuk menjamin kualitas kepeminpinan bangsa pada berbagai lembaga kenegaraan di pusat dan daerah. Agar orang-orang yang direkrut kedalam berbagai posisi kenegaraan itu memiliki kualitas kepeminpinan yang diperlukan untuk melaksanakan jabatan itu, partai politik melakukan kaderisasi kepeminpinan baik dalam visi dan misi (ideologi) perjuangan partai maupun dalam bidang substansi yang sesuai dengan tugas kenegaraan. Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat pada pemilihan umum, partai politik menawarkan tidak saja calon-calon yang dinilai ahli untuk jabatan publik di legislatif dan eksekutif tetapi juga alternatif kebijakan (program) untuk merespon aspirasi dan tuntutan berbagai kelompok masyarakat.

Karena itu walaupun partai politik bukan satu~satunya yang dapat mengagregasikan kepentingan dari berbagai kalangan dalam masyarakat tetapi partai politikiah yang melakukan rekrutmen para peminpin kenegaraan di pusat dan daerah, partai politiklah yang menyeleksi dan menata pilihan-pilihan pada pemilihan umum (structuring electoral choices), partai politiklah yang mengorganisasi pemerintahan (walaupun kadarnya tergantung pada apakah menggunakan pemerintahan parlementer ataukah presidensial).

Untuk mengorganisasi para warga negara yang menjadi anggotanya untuk mencapai cita-cita perjuangan partai, diperlukan sejumlah pengurus di berbagai tingkatan pemerintahan mulai dari ranting (desa/kelurahan), anak cabang (kecamatan), dan cabang sampai pada tingkat pusat. Karena posisi/jabatan pengurus yang tersedia terbatas sedangkan para anggota yang ingin menduduki jabatan itu sangat banyak, maka terjadilah persaingan dalam arena itu. Untuk mengisi jabatan daiam lembaga legislatif dan eksekutif, partai politik mempersiapkan para calon untuk ikut bersaing dalam pemilihan umum. Karena junilah posisi yang diperebutkan sedikit, sedangkan kader partai yang ingin menjadi calon sangat banyak, maka terjadi pula konflik dalam partai. Kedua hal ini dan berbagai isu yang harus diputuskan oleh suatu partai menyebabkan konflik tidak dapat dihindarkan. Sudah barang tentu yang dimaksudkan dengan konflik di sini dalam arti luas mulai dari perbedaan pendapat, perdebalan, dan persaingan sampai pada pertentangan kepentingan yang tidak berupa bentrokan pisik ataupun hujat-menghujat. Kesadaran bahwa partai politik merupakan lembaga konflik inilah yang tampaknya belum muncui sehingga pengurus partai politik tidak mengantisipasi hal itu dengan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik.

Karena masyarakat Indonesia pada umumnya dan pendukung suatu partai juga majemuk, maka aspirasi yang disampaikan kepada partai juga beragam, bahkan bertentangan satu sama lain. Petani menghendaki harga beras tinggi sedangkan orang kota menghendaki harga rendah, buruh menghendaki upah yang tinggi dan jaminan sosial yangmemadai.

Pengusaha menghendaki sebaliknya, dan sederetan contoh lain. Memadukan berbagai kepentingan yang beragam dan bertentangan tersebut menjadi alternatif kebijakan untuk diperjuangkan kedalam lembaga legislatif dan eksekutif itulah yang disebut fungsi agregasi kepentingan. Fungsi agregasi kepentingan seperti inilah yang menempatkan partai politik untuk berperan menyelesaikan konflik. Selain sebagai lembaga konflik clan yang menyelesaikan konflik, partai politik juga bertindak sebagai peserta konflik, yaitu ketika bersaing dengan partai politik lain dalam pemilihan umum ataupun ketika masing-masing fraksi sebagai alat partai melalui anggotanya di lembaga legislatif melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan memilih atau mengajukan persetujuan terhadap satu atau lebih orang untuk menduduki jabatan publik. Apabila partai politik ingin berperan sebagai pihak yang dapat menyelesaikan konflik dalam masyarakat ataupun peserta konflik yang fair dalam pemilihan umum dan di dalam lembaga legislatif, maka partai politik seyogyanya juga mampu berperan sebagai lembaga konflik, yaitu mengatur dan menyelesaikan konflik secara internal melalui aturan main yang disepakati bersama dalam AD/ART.

Aturan main seperti inilah yang nanti disebut sebagai demokrasi prosedural. Konflik internal yang begitu banyak dialami partai politik antara lain juga disebabkan oleh demokrasi prosedural yang belum dilembagakan. Begitu banyak konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat, termasuk yang berupa kekerasan, merupakan indikator ketidakberhasilan partai politik melaksanakan fungsi agregasi kepentingan alias menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Dengan konseptualisasi partai politik seperti ini, apakah di Indonesia sudah ada partai politik yang memenuhi definisi dan ciri-ciri tersebut? Barangkali akan disebut sebagai penilaian ekstrim bila dikatakan belum ada partai politik yang hampir memenuhi rumusan tersebut tetapi juga akan terlalu jauh dari kenyataan bila dikatakan semua partai politik peserta pemilihan umum 1999 sudah memenuhi rumusan tersebut.

Kelemahan internal dan eksternal Partai politik di Indonesia setidak-tidaknya mengandung tiga kelemahan utama, yaitu (1) ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya tetapi juga sukar membedakan partai yang satu dengan partai lain; (2) secara internal organisasi partai kurang dikelola secara demokratis sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada suatu organisme yang hidup sebagai gerakan anggota; (3) secara eksternal kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas kepada publik. Uraian berikut ini merupakan penjabaran lebih lanjut ketiga kategori kelemahan partai politik tersebut. Menurut catatan terakhir [pada bulan Agustus 2002] terdapat 204 partai politik yang telah terdaftar sebagai badan publik di Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagian dari partai ini mungkin hanya tinggal nama saja sedangkan pengurus dan anggotanya pindah ke partai lain. Bila ditinjau dari sejarah ideologi kepartaian di Indonesia sesungguhnya jumlah partai politik yang memiliki basis pendukung paling banyak antara 5 sampai 10 partai politik, yaitu partai-partai politik yang mempunyai basis ideologi keislaman dari berbagai spektrum, ideologi nasionalisme dari berbagai spektrum, ideologi sosialisme dari berbagai spektrum, ideologi kekristenan dari berbagai spectrum, dan ideologi kedaerahan.

Dari pengalaman Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 juga dapat disimpulkan bahwa partai politik yang memiliki basis sosial yang kuat hanyalah lima partai politik. Bila demikian, mengapa jumlah partai politik begitu banyak dewasa ini? Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa begitu banyak partai politik didirikan ialah kemunculan persepsi dan penilaian dari sebagian politisi bahwa partai politik yang sudah ada, khususnya yang telah memiliki kursi dalam jumlah memadai di DPR, tidak memiliki ideologi (platform partai) yang jelas. PDIP misalnya dianggap tidak mewakili ideologi nasionalisme-marhaen karena itu dibentuklah partai politik lain (lebih dari enam partai) yang diklaim lebih mencerminkan ideologi nasionalisme-marhaen. PBB dianggap tidak terlalu mencerminkan Masyumi sehingga dibentuklah sejumlah partai lain yang mengklaim diri penerus ideologi Masyumi. PKB dipersepsi tidak mewakili ‘ideologi’ Islam tradisional NU, karena itu didirikanlah sejumlah partai lain yang diklaim lebih mewakili ‘ideologi’ NU.

Partai Golkar dipandang tidak lagi mengedepankan wawasan kebangsaan sehingga dibentuklah sejumlah partai lain yang berwawasan kebangsaan, dan lain sebagainya. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah penilaian tentang ketidakjelasan ideologi partai politik ini benar? Karena ideologi partai (platform partai, visi dan misi partai) merupakan preskripsi suatu partai tentang negara dan masyarakat yang dianggap baik dan karena itu hendak diperjuangkan perwujudannya, maka apakah suatu partai politik, bahkan politisi, memiliki ideologi yang jelas atau tidak dapatlah dilihat bukan pada AD/ART dan pidato yang penuh retorika melainkan pada pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya, pada pernyataan politik yang dikeluarkan untuk merespon aspirasi berbagai kalangan masyarakat ataupun merespon permasalahan yang dihadapi bangsa, dan pada sikap dan posisi yang diambilnya dalam pembahasan peraturan perundang-undangan di lembaga legislatif.

Partai politik di Indonesia tampaknya belum dapat dibedakan secara jelas dari sejumlah indikator tersebut melainkan lebih dapat dibedakan dari sentiment kelompok saja. Partai politik di Indonesia lebih terkesan sebagai organisasi pengurus yang sering bertikai daripada organismne yang hidup karena dinamika partai sebagai gerakan anggota. Walaupun Pasal UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik mewajibkan setiap partai politik untuk "mendaftar dan memelihara daftar anggotanya", tidak banyak partai politik yang melaksanakan amanat UU tersebut. Hal ini terjadi tidak saja karena banyak anggota rnasyarakat yang enggan mendaftarkan diri sebagai anggota partai tetapi juga karena partai politik sendiri tidak melakukan berbagai upaya yang membangkitkan minat menjadi anggota partai politik. Insentif menjadi anggota partai polilik, seperti ikut menentukan siapa yang menjadi pengurus partai, ikut menentukan siapa yang menjadi calon partai untuk pemilihan anggota dewan ataupun kepala pemerintahan pada tingkat nasional dan daerah, ikut menentukan kebijakan partai dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan dapat menyalurkan aspirasi melalui partai politik, kurang dijamin secara memadai. Karena partai politik tidak memiliki jumlah anggota yang jelas, maka yang terjadi kebanyakan berupa klaim jumlah anggota atau jumlah pendukung.

Tidaklah mengherankan apabila banyak pihak mendirikan partai politik karena yang diperlukan hanyalah klaim jumlah saja. Karena itu dalam UU Partai Politik yang akan datang perlu ditetapkan persyaratan jumlah anggota baik sebagai persyaratan mendirikan partai politik maupun untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Fenomena peningkatan jumlah partai politik juga terjadi karena perpecahan atau sempalan dari partai politik yang sudah ada. Perpecahan yang terjadi dalam partai politik belakangan ini, dapat dikatakan tidak ada yang menyangkut perbedaan ideologi ataupun karena perbedaan pola dan arah kebijakan yang hendak ditempuh. Perpecahan yang berakhir dengan pembentukan partai baru ini terutama disebabkan oleh persaingan mendapatkan kedudukan -- di dalam partai ataupun kedudukan di lembaga legislatif dan eksekutif yang mewakili partai politik -- yang tidak diatur melalui mekanisme yang terbuka, kompetitif dan fair. Demokrasi prosedural dalam tubuh partai politik tidak hanya belum melembaga/mempola tetapi juga belum dirumuskan secara rinci.

Demokrasi prosedural yang dimaksudkan ialah semacam peraturan tata tertib di DPR/D ataupun AD/ART pada setiap organisasi politik. Setiap partai politik memang sudah memiliki AD/ART tetapi dirumuskan begitu umum sehingga tidak mampu menjadi aturan main untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam suatu partai. Manakala terjadi konflik dan AD/ART tidak mampu menjadi aturan main menyelesaikan konflik tersebut, maka kasusnya dibawa kepada massa pendukung masing-masing dan kepada ketua umum partai. Karena AD/ART tidak mampu menjadi aturan main, maka ketua umum partai harus membuat penafsiran dan kebijaksanaan. Salah satu factor yang mempengaruhi Ketua umum membuat penafsiran dan kebijaksanaan itu ialah dukungan massa. Pengambilan keputusan oleh kepeminpinan dominan ini selalu berakhir dengan ‘politik membelah bambu’, yaitu yang satu diangkat (dimenangkan) yang lain dipijak (dikalahkan). Pihak yang dikalahkan jelas tidak dapat menerima keputusan tersebut, dan karena tidak ada alternatif lain, mereka membentuk partai politik baru untuk memperjuangkan suatu visi yang diyakini.

Hal lain yang masih berkaitan dengan demokrasi prosedural ialah mekanisme pemilihan pengurus, hubungan pengurus pusat dengan pengurus cabang, dan mekanisme penentuan calon partai untuk pemilihan anggota lembaga legislatif dan pemilihan kepala daerah. Ketiga hal ini selalu menjadi isu hangat dalam setiap partai, dan selalu menjadi sumber konflik internal dalam suatu partai. Dalam UU tentang Partai Politik dikemukakan bahwa kedaulatan partai terletak pada tangan anggota.

Karena anggota partai hanyalah para pengurus dan aktivis partai saja, sedangkan anggota pada tingkat ‘akar rumput’, cenderung dilibatkan hanya sebagai massa penggembira dan pendukung fanatik, maka pengambilan keputusan cenderung dibuat oleh para pengurus. Penentuan calon partai untuk ikut pemilihan anggota DPR/D ataupun pemilihan kepala daerah misalnya masih didominasi oleh sekelompok kecil pengurus.

Tidaklah mengherankan bila lebih dari 50% anggota DPR sekarang berasal dari wilayah JABOTABEK, dan sebagian besar anggota DPRD provinsi juga berasal dari ibukota provinsi tersebut. Dewasa ini telah muncul tuntutan di berbagai daerah agar dalam UU Pemilu dibuat ketentuan yang tidak hanya
membuat persyaratan domisili bagi calon yang mewakili suatu daerah tetapi juga calon setiap partai harus dipilih oleh anggota partai di daerah yang bersangkutan.


UU tentang pemerintahan daerah telah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah sendiri dalam bidang dan jenis kewenangan yang diberikan kepada daerah ybs. Akan tetapi hubungan pengurus pusat dan pengurus cabang justeru masih sangat sentralistik, bahkan bagi banyak partai yang dimaksud dengan pengurus pusat hanyalah ketua umum, sehingga tidaklah mengherankan bila cabang-cabang partai politik di daerah tidak saja kurang memiliki basis lokal tetapi juga mengalami kebingungan harus mengikuti suara partai ataukah suara pengurus. Kalau UU Parpol membuka kemungkinan mendirikan partai lokal, bukan tidak mungkin jumlah partai lokal juga akan sangat banyak sekali karena pengurus pusat partai dinilai lebih mengutamakan kepentingan orang-orang pusat daripada orang-orang daerah. Karena itu dalam partai politik juga harus dilakukan desentralisasi dalam sejumlah bidang kegiatan partai.

Mengelola partai politik jelas memerlukan dana yang besar baik untuk
membiayai kegiatan partai sehari-hari maupun terutama untuk keperluan
kampanye pemilihan umum. Karena itu partai politik niscaya harus mencari dana
baik dari iuran anggota maupun kontribusi para simpatisan. Tidaklah
mengeherankan bila partai politik acapkah juga disebut sebagai sarana mencari
dana. Akan tetapi partai politik dinilai tidak memiliki akuntabilitas publik yang
jelas. Partai politik sebagai sarana mencari dana sudah barang tentu tidak
berlaku bagi semua partai politik karena bila tidak memiliki kursi dalam jumlah
yang memadai dalam DPR/D tentu tidak memiliki sarana untuk mempengaruhi
pihak lain. Baik UU tentang Parpol maupun UU Pemilu sudah mengatur jenis,
asal/sumber, dan jumlah penerimaan dana. Sebagai badan publik partai politik
diwajibkan oleh UU Parpol untuk melaporkan penerimaan dan penggunaan dana
setiap akhir tahun kepada Mahkamah Agung. Kita perlu menanyakan kepada
Mahkamah Agung partai politik apa sajakah yang sudah melaporkan daftar
penerimaan dan laporan keuangannya kepada Mahkamah Agung, dan kalau
sudah ada, apakah MA sudah menunjuk akuntan publik untuk mengaudit daftar
penerimaan dan laporan partai torsebut.

Sebagaimana pernah diungkapkan oleh sejumlah media ternyata hanya dua partai politik yang sudah menyampaikan laporan keuangannya kepada Mahkamah Agung tetapi itupun untuk tahun anggaran 2000. Dengan kasatmata masyarakat mengetahui pelaksanaan sejumlah kegiatan partai yang jelas menghabiskan anggaran yang besar tetapi sumber dana partai politik peserta pemilu tidak transparan. Akibatnya publik tidak dapat mengetahui apakah yang dilakukan oleh suatu partai politik di lembaga legislatif dan eksekutif berhubungan langsung ataukah tidak dengan kepentingan penyumbang dana terbesar bagi partai tersebut. Konsekuensinya, juga tidak akan diketahui apakah yang rnemegang kedaulatan partai itu para pengurus ataukah penyandang dana?

Tingkat pelembagaan

Cara lain untuk mengidentifikasi kelemahan partai politik di Indonesia adalah melakukan asesmen terhadap tingkat pelembagaan yang telah berlangsung dalam suatu partai politik. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai pofitik ialah proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (the process by wich the pary becomes established in terms of both integrated patters on behavior and of attitudes and culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, yaitu aspek internal-eksternal, dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu (1) derajad kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural, (2) derajad identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural, (3) derajad otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan (4) derajad pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal dengan kultural. Dimensi Kepartaian Internal EksternalStruktural Kesisteman Otonomi Keputusan Kultural Identitas Nilai Citra pada Publik


Kesisteman dalam partai politik

Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisrne yang disepakati dan ditetapkan dalam AD/ART partai politik. Derajad kesisteman suatu partai bervariasi menurut: (a) asal-usul partai politik, yaitu apakah dibentuk dari atas, dari bawah, atau dari atas yang disambut dari bawah; (b) siapakah yang lebih menentukan dalam partai: seorang peminpin partai yang disegani ataukah pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh organisasi sebagai suatu kesatuan; (c) siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan: faksi-faksi dalam partai ataukah partai secara keseluruhan; dan (d) bagaimana partai memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan, yaitu apakah dengan klientelisme (pertukaran dukungan dengan pemberian materi) ataukah menurut konstitusi partai (AD/ART).

Titik terlemah partai politik di Indonesia adalah belum ada kesisteman dalam suatu partai. Kebanyakan partai politik, termasuk partai politik yang telah memenuhi ketentuan electoral threshold, memiliki derajad kesisteman yang rendah karena keempat indikator tersebut, tetapi terutama karena peran peminpin partai lebih dominan daripada kedaulatan anggota dan kepentingan faksi, kelompok dan golongan lebih dominan daripada kepentingan partai sebagai organisasi. Peminpin yang dominan dalam suatu partai politik tidaklah dengan sendirinya buruk.

Peran peminpin dominan akan menimbulkan akibat buruk apabila sang peminpin menggunakan kharismanya untuk melanggengkan dominasinya, sedangkan peran dominan peminpin akan menimbulkan akibat yang positif bila sang peminpin menggunakan kharismanya membangun kesisteman dalam partai. Faksi, dan pengelompokan di dalam partai juga tidak dengan sendirinya buruk. Bila pengelompokan di dalam partai terbentuk atas dasar primordial, maka pengelompokan akan merusak solidaritas partai karena akan menimbulkan konflik zero-sum (yang menang mendapatkan semuanya, yang kalah tidak mendapatkan apa-apa). Akan tetapi bila pengelompokan berdasarkan perbedaan orientasi (pola dan arah) kebijakan, maka pengelompokan itu justeru akan mendinamiskan partai karena konflik yang timbul justeru non zero sum (menang-menang alias semua kelompok menang).

Untuk membangun kesisteman dalam setiap partai politik dapat ditempuh dengan ‘pasal’ (undang-undang) tetapi dapat pula ditempuh dengan ‘pasar’ (diserahkan pada penilaian warga masyarakat). Dalam rangka membangun kesisteman ini, pada UU Partai Politik perlu dimuat ketentuan yang mengharuskan setiap partai politik merumuskan AD/ART secara mendetail, dan ketentuan yang memuat jenis keputusan perihal apa saja yang harus diputuskan melalui rapat anggota. Setidak-tidaknya tiga isu harus diputuskan melalui mekanisme rapat anggota sesuai dengan tingkatannya, yaitu (a) penentuan pengurus partai politik pada semua tingkatan, (b) penentuan calon partai politik untuk jabatan legislatif (DPR dan DPRD), eksekutif (Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah) dan jabatan publik lainnya, dan (c) penentuan kebijakan partai politik mengenai peraturan perundang-undangan, dan kebijakan publik pada umumnya. Setiap partai politik harus berangkat dari kerangka berpikir bahwa konflik niscaya akan terjadi dalam partai politik, setidak-tidaknya dalam ketiga isu yang disebutkan di atas.

Karena itu partai politik dari sononya memang merupakan wadah konflik atau wadah mengatur dan menyelesaikan konflik setidak-tidaknya dalam ketiga isu tersebut. Bila mencermati peran eksternal partai politik, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik juga merupakan peserta konflik dalam pemilihan umum dan dalam pembuatan keputusan di lembaga legislatif. Bahkan dari fungsinya, partai politik berfungsi menampung clan mengaggregasikan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi suatu alternatif kebijakan publik. Dengan melaksanakan fungsi agregasi kepentingan ini, partai politik berarti juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan konflik.


Identitas nilai partai politik Identitas nilai ini berkaitan dengan identitas partai poilitik berdasarkan ideologi atau platform partai, dan karena itu berdasarkan basis sosial pendukungnya, dan identifikasi anggota terhadap pola dan arah perjuangan yang diperjuangkan partai politik tersebut. Karena ilu derajad identitas nilai suatu partai politik berkaitan dengan (a) hubungan partai dengan kelompok populis tertentu (popular bases), yaitu apakah suatu partai politik mengandung dimensi sebagai gerakan sosial yang didukung oleh kelompok populis tertentu, seperti buruh, petani, kalangan masyarakat tertentu, komunitas agama tertentu, komunitas kelompok etnik tertentu, dan (b) pengaruh klientelisme dalam organisasi, yaitu apakah hubungan partai dengan anggota cenderung bersifat instrumentalis (anggota selalu mengharapkan tangible resources berupa materi dari partai) ataukah lebih bersifat ideologis (anggota mengenal dan mengharapkan partai bertindak berdasarkan identifikasi terhadap ideologi partai).

Partai politik yang mempunyai basis sosial pendukung yang spesifik niscaya akan memiliki identitas nilai yang jelas. Partai buruh sesuai dengan namanya jelas memiliki basis sosial pendukung yang jelas buruh karena pola dan arah perjuangan partai itu memperhatikan kepentingan buruh, dan Partai Republik di Amerika Serikat memiliki basis sosial pendukung yang jelas, yaitu kulit putih menengah ke atas beragama Protestan. Enam partai politik peserta pemilu yang 1999 yang berhasil memenuhi ketentuan electoral threshold, memang sudah memiliki ciri ideologi yang dikenal masyarakat, seperti nasionalisme/kebangsaan untuk PDIP dan Partai Golkar, Islam untuk PPP, NU untuk PKB, dan Muhammadiyah untuk PAN.

Akan tetapi pola dan arah program kebijakan publik yang diperjuangankannya belum jelas sehingga perbedaan diantara partai politik tersebut juga tidak jelas. Karena itu, masih sukar mengkategorikan basis social pendukung setiap partai politik di Indonesia.




Derajad otonomi partai politik

Derajad otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan hubungan partai dengan aktor luar partai baik dengan sumber otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupun dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar) dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat): (a) apakah partai tergantung kepada aktor luar tersebut ataukah hubungan itu bersifat saling tergantung (interdependen), dan (b) apakah keputusan paitai ditentukan oleh aktor luar ataukah hubungan itu berupa jaringan (linkage) yang memberi dukungan kepada partai. Hubungan Golkar dengan penguasa pada masa Orde Baru adalah hubungan ketergantungan, yaitu keputusan Golkar ditentukan oleh presiden untuk tingkat nasional, oleh gubernur untuk tingkat provinsi, dan bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota.

Derajad pengetahuan publik tentang partai politik

Derajad pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pada pertanyaan apakah keberadaan partai politik tersebut telah tertanam pada imajinasi publik. Bila keberadaan partai politik tertentu telah tertanam pada imajinasi publik, maka pihak lain baik para individu maupun lembaga akan menyesuaikan aspirasi dan harapan ataupun sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik tersebut. Derajad pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai tersebut. Makin tua umur suatu partai politik makin jelas citra atau pengetahuan publik mengenai partai tersebut. Makin luas dan mendalam kiprah suatu partai dalamn percaturan politik clan penyelenggaraan negara, makin mudah bagi kalangan masyarakat untuk mengetahui partai politik tersebut. Pengetahuan publik tentang partai Golkar dan PPP jelas lebih mendalam daripada pengetahuan public tentang PDIP, apalagi PAN, PKB dan PBB. Akan tetapi karena di sejumlah daerah PDIP menjadi memperoleh jumlah suara secara signifikan, bahkan pada tingkat nasional ketua umum PDIP menjadi presiden, maka pengetahuan publik tentang

PDIP juga makin jelas. Yang menjadi isu utama di sini bukan terutama tentang sikap masyarakat mengenai partai politik pada umumnya melainkan apa definisi masing-masing partai politik itu bagi masyarakat.

Partai politik yang hendak dikembangkan

Partai politik macam apakah yang perlu dikembangkan di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan ini dapat mencakup banyak dimensi. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kompas pada tanggal 26 juli 2002 muncul sejumlah pendapat yang berangkat dari berbagai dimensi partai politik. Pertama, partai politik yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia adalah partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat. Partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat adalah partai politik yang (a) dibentuk bukan dari kalangan parlemen melainkan dari kalangan masyarakat sebagai suatu gerakan rakyat, (b) partai politik yang mempunyai basis lokal yang jelas dan kuat, (c) dibentuk berdasarkan kepedulian yang sama pada satu atau lebih isu penting, (d) dari segi keuangan tergantung kepada iuran dan kontribusi para anggota, dan (e) para pengurus dan calon partai untuk lembaga legislatif dan eksekutif dipilih secara langsung, terbuka, dan kompetitif oleh para anggota.

Kedua, sistem kepartaian yang dipandang cocok dan sesuai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia tetapi pada pihak lain dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang ditandai oleh jumlah partai yang tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit dan jarak ideologi antar partai juga tidak terlalu jauh sehingga konsensus masih mungkin dicapai. Bagaimana mewujudkan sistem kepartaian pluralisme moderat ini? Untuk mewujudkan sistem kepartaian seperti ini terbuka tiga alternatif pendekatan: (a) dengan cara Orde Baru, yaitu menetapkan hanya sekian jumlah partai politik yang dapat berkiprah, (b) secara alamiah tanpa melakukan ‘intervensi’ dalam bentuk apapun juga, dan (c) melakukan seleksi
berdasarkan kriteria ataupun persyaratan dukungan rakyat yang ditetapkan dalam undang-undang. Pendekatan pertama dianggap tidak demokratik, sedangkan pendekatan kedua sangat demokratik tetapi memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai system kepartaian yang dikehendaki. Pendekatan ketiga dipandang lebih tepat untuk mencapai system kepartaian tersebut karena selain bersifat selektif berdasarkan kriteria dan persyaratan dukungan rakyat yang disepakati bersama dalam undang-undang juga relatif lebih cepat mencapai system kepartaian yang dikehendaki bersama. Kriteria dan persyaratan itu dapat berupa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan/atau electoral threshold yang diberlakukan di depan, yaitu persyaratan jumlah suara minimal yang harus dicapai untuk dapat memasuki parlemen.

Ketiga, partai politik yang dikelola oleh para peminpin dan aktivis yang memahami demokrasi: (1) merupakan upaya memanusiakan kekuasaan (humanizing power), dan (2) bukan sekedar kompetisi tetapi juga kompetensi, dan yang mengelola partai politik (a) tidak dengan pragmatisme yang berdampingan sektarianisme kental melainkan dengan dengan visi dan misi memanusiakan penggunaan kekuasaan, (b) sebagai sarana pencerahan masyarakat, dan (c) dengan moralitas public yang jelas sehingga dengan tegas menolak praktek KKN.

Dan keempat, yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia bukan saja partai politik yang merasa memerlukan dan tergantung kepada masyarakat tetapi juga partai politik yang tidak memonopoli: (a) definisi kepentingan bersama sebagai bangsa melainkan bersedia berdialog dengan kalangan ranah masyarakat warga dan ranah dunia usaha untuk menyepakati apa yang menjadi kepentingan bersama, (b) ranah kekuasaan (legislatif, eksekutif, judikatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya) sehingga yang dapat berkiprah pada ranah kekuasaan tidak hanya orang-orang yang dipersiapkan dan diajukan partai politik tetapi juga oleh calon-calon yang dipersiapkan dan diajukan oleh masyarakat sendiri, (c) informasi publik, seperti agenda dan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibahas dan diputuskan, dan penerimaan dan pengeluaran partai, melainkan bertinclak transparan kepada publik dengan membuka akses kepada publik seluas mungkin untuk berinteraksi dengan partai politik tersebut.

Delano Trias Prasetyo
Mahasiswa Semester VI
Sosiologi Pembangunan
Universitas Negeri Jakarta