Sabtu, 18 April 2009

Calvinisme dan Islam dalam Pemikiran Weber

Calvinisme dan Islam dalam Pemikiran Weber

Catatan Weber tentang Islam akan dibandingkan dengan Calvinisme melalui empat kerangka pemikiran: doktrin predestinasi, pencarian keselamatan, asketisisme dunia-sini, dan konsep rasionalisasi.

Doktrin Predestinasi

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (selanjutnya disingkat The Protestant Ethic), Weber melihat doktrin predestinasi sebagai argumen utama dalam menjelaskan keterkaitan antara suatu bentuk etika agama dan spirit kapiralisme di Barat. Calvinisme dan Islam menjadi perumpamaan predestinasi yang berlawanan.

Dalam The Protestant Ethic (2005:56), Weber menekankan betapa penting predestinasi dalam keyakinan Calvinis. Ide utamanya terletak pada: bagaimana para Calvinis yakin bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih? Dalam teologi Calvinis, terdapat predestinasi ganda yang membuat para Calvinis tidak tahu secara pasti apakah mereka termasuk orang terpilih atau terkutuk? Karena Tuhan Calvinis adalah begitu transenden, maka mereka menghadapi masalah serius tentang ketidakpastian keagamaan. Situasi ini memaksa para Calvinis mencari certitudo salutis, yang didefinisikan Weber (1978:1198-99) sebagai suatu indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu, sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan diyakini sebagai "tanda" atau "konfirmasi" bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih, atau dalam istilah Weber "suatu tanda keberkahan Tuhan".

Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak ada predestinasi ganda dalam Islam. Malahan, menurut Weber (2005:185), Islam memiliki keyakinan pada predeterminasi, bukan predestinasi, dan berlaku pada nasib seorang Muslim di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Jika doktrin predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras, hal demikian tidak terjadi pada Muslim. Malahan, lanjut Weber, doktrin predestinasi tidak memainkan peran dalam Islam. Akibatnya, Muslim bersikap kurang positif terhadap aktivitas di dunia-sini dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.

Pencarian Keselamatan

Ada sejumlah agama yang dikategorikan Weber sebagai agama keselamatan, mulai dari Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan seterusnya. Agama-agama ini punya cara pandang yang berbeda terhadap dunia. Namun, semuanya dipakai sebagai jalan pembebas dari penderitaan dan sebagai respons terhadap ketegangan yang terus berlangsung antara dunia dan agama (Weber, 1978:527). Ketertarikan Weber lebih terletak pada sejauh mana usaha manusia mencari keselamatan itu berdampak langsung terhadap suatu perilaku hidup tertentu di dunia ini. Dalam Economy and Society (1978) Weber berpendapat "perhatian kita pada dasarnya adalah pada usaha pencarian keselamatan, apa pun bentuknya, sejauh hal itu menciptakan konsekuensi tertentu pada perilaku praktis di dunia". Pencarian individu pada keselamatan inilah, menurutnya, yang menjadi karakteristik utama Calvinis. Bagi para Calvinis, perilaku asketis dan kerja etos kerja keras dipandang sebagai sebuah tanda keselamatan di dunia kelak.

Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Usaha pencarian keselamatan benar-benar asing dalam Islam. Malahan, menurut Weber (1965:263), "Islam sesungguhnya tidak pernah menjadi agama keselamatan; etika konsep keselamatan benar-benar tak dikenal dalam Islam. Islam tidak pernah menjadikan akumulasi harta kekayaan sebagai tanda keselamatan. Absennya upaya pencarian keselamatan di kalangan Muslim ini berpengaruh terhadap metode dan perilaku hidup yang sistematis di dunia ini."

Asketisisme Dunia-Sini

Asketisisme, menurut Weber (2005:140), terbagi dua: asketisisme dunia-sini (innerweltliche Askese) dan asketisisme dunia-sana (ausserweltliche Askese). Asketisisme dunia-sini menjadi karakteristik Calvinis, yang memakai metode asketik untuk mengubah dunia. Sementara asketisisme dunia-sana menjadi karakteristik utama kehidupan monastik dan meditasi Yoga India, yang sama-sama memakai cara asketik, tapi tidak untuk mengubah dunia. Parsons menerjemahkan innerweltliche Askese sebagai asketisisme yang dipraktikkan dalam dunia ini, sebagai lawan terhadap ausserweltliche Askese, yang menarik diri dari kehidupan dunia.

Dengan asketisisme dunia-sini, Calvinis berperan penting dalam asal-mula munculnya kapitalisme modern sejak akhir abad ke-16 dan sesudahnya. Kata Weber, terdapat "afinitas elektif" antara asketisisme dan sikap disiplin-diri. Karena itu, sikap asketisisme dunia-sini secara kuat memotivasi Calvinis untuk bekerja keras, mencari uang, menabung apa yang diperoleh dan menginvestasikan lagi nilai keuntungannya untuk keuntungan yang lebih besar.

Islam, lagi-lagi, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak terdapat asketisisme dunia-sini dalam Islam. Pada periode Mekah, menurut Weber (1978:624), "Islam berkembang ke orientasi untuk memisahkan diri dari dunia. Namun, Islam segera menjadi agama penakluk dan agama pejuang nasional Arab pada periode Madinah. Karena itu, Islam mendukung etika prajurit dan pejuang di dunia-sini di bawah panji jihâd melalui pembagian klasik antara 'wilayah Islam' (dâr al-Islâm) dan 'wilayah yang diperangi' (dâr al-Harb)."

Sebagaimana sekte-sekte dalam Protestan, Weber mengakui munculnya sekte-sekte asketis dalam sejarah Islam. Namun, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai Muslim asketis yang memakai cara-cara asketik untuk mengubah dunia. Malah, kelompok prajurit dan pejuang Muslim berhasil menarik Islam ke arah apa yang disebut Weber "asketisisme militer", bukannya ke arah sistematisasi perilaku hidup asketis pada kelas menengah Muslim." Berbeda dengan Protestan asketis, terutama Calvinis, sekte-sekte asketik dalam Islam tidaklah menghasilkan sistem perilaku hidup yang sistematis dan terkontrol.

Rasionalisasi

Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe: rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan asketis, terutama Calvinis.

Pertama, para Calvinis merasionalisasikan doktrinnya untuk mengatasi problem makna mendasar: akankah mereka diselamatkan ke surga? Tuhan Calvinis menetapkan predestinasi ganda pada setiap orang: sebagai yang terpilih atau terkutuk? Para Calvinis mulai meyakinkan diri bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih yang terselamatkan ke surga.

Rasionalisasi doktrin Calvinisme dapat dilihat pada upaya menghilangkan unsur magis dari dunia modern. Calvinis menunjukkan sikap anti-magis dengan memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Menurut Weber (1958:139), "pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu melalui kalkulasi rasional". Inilah yang oleh Weber disebut Entzauberung der Welt: yakni demagifikasi atau demistifikasi dunia. Hilangnya elemen magis yang berpuncak pada doktrin dan perilaku Calvinis ditandai, secara teoretis, dengan tidak adanya sistem Imamat, berkurangnya sakramen secara drastis, dan hilangnya sistem perantara yang memediasi hubungan Calvinis dan Tuhan.

Kedua, Calvinis merasionalisasikan perilaku hidup melalui disiplin-diri, kalkulasi rasional, individualisme, dan dipraktikkan secara sistematik. Dalam Protestant Ethic (2005:71), Weber berpendapat, "Tuhan Calvinis menuntut penganutnya bukan semata-mata dengan kerja baik, tapi kerja baik yang dikombinasikan dengan suatu sistem terpadu."

Pada bagian awal The Protestant Ethic, Weber memilih "Nasihat kepada Saudagar Muda" yang disampaikan salah satu Bapak Amerika, Benjamin Franklin, sebagai fondasi keagamaan untuk perilaku hidup rasional. "Ingat," demikian nasihat Franklin, "waktu adalah uang; kredit adalah uang; dan kejujuran bermanfaat dalam bisnis." Inti pesan Franklin adalah menghasilkan uang-melalui etos kerja keras dalam bisnis, menabung hasil, dan menginvestasikannya demi keuntungan yang lebih besar-dimaknai sebagai panggilan hidup (Beruf; bukan dalam pengertian Luther yang tradisionalistik). Franklin menyandarkan rujukan teologis: "Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam bisnisnya? Dia akan berdiri di hadapan raja-rajanya" (Prov xxii. 29). Inilah yang memberi inspirasi kepada Weber (2005:19) untuk berkesimpulan bahwa "kebajikan dan kecakapan" dalam mencari dan menabung uang sebagai panggilan hidup adalah benar-benar bentuk Alpa dan Omega dari etika Franklin." Dan Franklin dijadikan Weber sebagai personifikasi ideal etika Protestan itu sendiri.

Calvinis yakin bahwa motivasi moral-keagamaan untuk bekerja keras dan menghasilkan uang adalah benar-benar diberkati Tuhan. Sebaliknya, hidup dengan sikap hura-hura dinilai berdosa. Karena itu, Calvinis bukanlah tipe orang yang boros dan suka berpesta-pora. Dan perilaku hidup rasional dalam kerja profesional dan keseharian, pada gilirannya, menghasilkan kelebihan produksi atas konsumsi. Inilah asal-mula munculnya spirit kapitalisme rasional modern di Barat, yang berakar kuat pada Protestan asketis, terutama Calvinis. Mereka ini, misalnya, memandang akumulasi harta kekayaan sebagai suatu tanda diberkati Tuhan.

Islam, kata Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup benar-benar asing dalam Islam. Perlu diingat, Weber memakai doktrin predestinasi sebagai konsep kunci untuk menjelaskan rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Di Calvinisme, keyakinan pada predestinasi berhasil membangkitkan etika kerja dan perilaku hidup yang legal-rasional. Namun, hal demikian tidak terjadi di Islam. Doktrin Islam tentang predestinasi, menurut Weber (1978:573), "sering menghasilkan kelalaian penuh terhadap diri (seorang Muslim) demi memenuhi kewajiban jihad untuk penaklukan dunia". Hal ini akibat dominannya peran pejuang Muslim dalam penyebaran Islam di Timur Tengah. Kelompok ini telah menggeser Islam ke arah etika militeristik untuk penaklukan dunia. Mereka tidak memberlakukan perilaku hidup asketis dan rasional. Keyakinan Islam atas predestinasi tidaklah menghasilkan rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Malahan, kata Weber, doktrin predestinasi mengarahkan umat Islam ke arah perilaku hidup yang nonrasional dan fatalistik. "Islam," lanjut Weber (1978:575), "justru dialihkan sepenuhnya dari perilaku hidup yang rasional dengan munculnya pemujaan terhadap orang-orang suci, dan akhirnya, magis".


Tidak ada komentar: