Sabtu, 18 April 2009

Kekuasaan Negara Dan Munculnya Oligarki Orde Baru

Kekuasaan Negara Dan Munculnya Oligarki Orde Baru

Asal-Usul Oligarki
Bagaimana asal-usul oligarki di Indonesia? Negara Orba muncul dan dibangun dengan struktur politik yang sentralistis. Negara berpijak pada koalisi dan aliansi aktor-aktor politik seperti militer, teknokrat, elemen Islam dan nasionalis, pengusaha Tionghoa dan pribumi, pengusaha asing dan dukungan negara industri Barat lewat IGGI, kemudian menjadi CGI serta lembaga multilateral. Masing-masing memiliki kepentingan sendiri, kadang beriringan dan kadang berbenturan. Kebijakan politik dan ekonomi Orba diwarnai oleh pergumulan dan persaingan kepentingan aktor-aktor di dalamnya. Tergantung zaman, mana yang kuat, dialah yang menang. Di zaman ekonomi makmur seperti ketika rezeki minyak mengucur di era 1970-an, kelompok nasionalis dan sekutunya mendominasi kekuasaan. Di zaman krisis ekonomi pada akhir 1960-an dan awal 1980-an, kelompok teknokrat dan sekutunya berada di atas angin.
Dalam rencananya, Soeharto dan kroninya membangun, menguasai, dan mengontrol basis politik dan ekonomi lewat berbagai cara, misalnya mendapatkan lisensi dan perizinan impor-ekspor, HPH, dan lainnya. Ia juga menguasai Sekretariat Negara dan lembaga distribusi pangan seperti Bulog serta perusahaan negara seperti Pertamina. Berbagai yayasan pun dipakai sebagai "kedok" untuk berbisnis dengan pengusaha dalam dan luar negeri. Dalam konteks inilah oligarki akhirnya muncul di Indonesia dan, menurut kedua penulis, adalah Soeharto sendiri yang menjadi "bos"-nya Keadaan seperti inilah yang dilestarikan selama lebih dari tiga puluh tahun. Akibatnya, negara hanya dijadikan sebagai ajang "penjarahan" dan "pemerasan" dari aktor-aktor politik di dalamnya. Negara Orba bukan berfungsi untuk memakmurkan rakyat, sebaliknya, berisi para penjarah dan akibatnya negara pun bersifat penjarah (predatory state).
Kejayaan oligarki mencapai puncak pada tahun 1980-an dan 1990-an. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1980-an, kelompok teknokrat naik daun dan mengambil inisiatif, dengan restu Soeharto, untuk menerapkan kebijakan deregulasi ekonomi untuk mendorong ekspor, meningkatkan investor asing, membangun sektor nonmigas, dan meliberalisasi sektor keuangan. Di satu pihak, kebijakan deregulasi ini mengubah orientasi perekonomian Indonesia menjadi lebih berorientasi ekspor dengan meningkatnya sumbangan sektor manufaktur secara nasional. Di lain pihak, kebijakan deregulasi ternyata banyak menguntungkan kroni-kroni Soeharto yang juga pengusaha-pengusaha kelas kakap. Ini disebabkan merekalah yang memonopoli pasar domestik dengan membentuk kartel-kartel di hampir semua sektor perekonomian, mulai dari beras, terigu, minyak goreng, perbankan, hingga transportasi. Hal ini didukung oleh kontrol lembaga-lembaga negara yang mengeluarkan semua perizinan dan lisensi untuk berbisnis di tangan mereka-mereka yang loyal terhadap Soeharto. Akibatnya, kebijakan deregulasi hanya memindahkan monopoli negara (melalui BUMN) menjadi monopoli swasta.
Kekuasaan oligarki diperkuat dengan makin mengguritanya bisnis "keluarga", mulai dari Soeharto hingga elite-elite politik lainnya seperti halnya bisnis yang dimiliki pengusaha kelas kakap generasi sebelumnya. Kemampuan mereka beraliansi dengan modal asing dan mengembangkan jaringan bisnis ke luar negeri, seperti kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, China, bahkan Asia Tengah, juga membuat kekuatan ekonomi oligarki makin menjadi-jadi. Pendanaan finansial untuk membangun perusahaan tersebut datang dari lembaga perbankan dalam dan luar negeri dan ini mengakibatkan utang sektor swasta makin menggila dan ikut menjadi salah satu penyebab rontoknya ekonomi Indonesia.
Dominasi oligarki di bidang politik dibuktikan dengan adanya kebijakan semua lembaga penting seperti ABRI (kini TNI), Setneg, Departemen Dalam Negeri, dan Golkar dijadikan "kuda tunggangan" untuk memperkuat posisi politik Soeharto dan kroni-kroninya. Dekade 1980-an dan 1990-an adalah periode yang ditandai dengan keberhasilan Soeharto mengukuhkan kekuasaannya dalam pergumulan dan konflik elite. Konfliknya dengan Jenderal Benny Moerdani, bekas Panglima ABRI ketika itu, adalah bagian dari episode ini. Soeharto pun tidak berhenti di sana saja. Ia juga mengooptasi kekuatan kelas menengah Islam yang mulai bangkit dengan didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) pada awal 1990-an. ICMI tidak akan pernah bertindak sebagai kekuatan demokrasi yang sebenarnya, tetapi hanya sekadar pajangan dalam sebuah negara yang sebenarnya. Lebih dari itu, pada tahun 1990-an Soeharto menjadikan ideologi negara Pancasila sebagai "alat" untuk mengobrak-abrik dan melumpuhkan potensi politik masyarakat sipil terutama dari kalangan kelas menengah yang aktif beroposisi di berbagai organisasi swadaya masyarakat. Kekuatan oposisi "setengah hati" juga bermunculan dari kalangan purnawirawan militer dan pengusaha. Kalangan mahasiswa dan pekerja pun mengorganisasi diri dalam rangka menentang Orba dan Soeharto. Meski demikian, mereka semua digasak habis oleh Soeharto. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi presiden dalam Sidang Umum MPR pada bulan Maret tahun 1998 makin mengokohkan kedigdayaan oligarki. Akan tetapi, ironisnya, pemilihan itu pun menjadi awal dari kejatuhannya. Meski Soeharto berhasil "mengamankan" keadaan di dalam negeri, ia tidak punya kedigdayaan untuk mengendalikan dan merespons dinamika ekonomi di tingkat internasional
Masa depan oligarki
Apa pengaruh krisis ekonomi terhadap kelanjutan oligarki di Indonesia? Sudah banyak studi tentang sebab krisis ekonomi yang bermula dari runtuhnya mata uang baht di Thailand pada bulan Juli 1997. Jelasnya, krisis ekonomi ini, atau yang di Indonesia dikenal sebagai krismon, akhirnya merontokkan mata uang lain termasuk rupiah di Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia yang monopolistis dan timpang makin memperparah ekonomi Indonesia dan akibatnya Indonesia harus "mengemis" ke negara-negara industri Barat dan Asia lainnya. Konsekuensinya, negara harus menerapkan program-program IMF.

Masalahnya, program-program yang disodorkan IMF tentu berkolaborasi dengan teknokrat, begitu ambisius, dan karena itu mendapat perlawanan gigih dari Soeharto dan kroni-kroninya. Konflik dan pergumulan yang dahsyat terjadi terutama di sektor perbankan, di mana banyak bank milik kroni-kroni dan keluarga Soeharto harus ditutup karena kehabisan dana. Sebagian besar dana bank tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek besar tapi mubazir kepunyaan para pemilik bank. Bahkan krismon pun ikut merontokkan perusahaan konglomerat milik Sudono Salim dan lainnya. Konsekuensi politik dari krismon pun bermunculan. Kekuatan oposisi melawan Soeharto mulai mengorganisasi diri dan membentuk berbagai macam wadah aliansi dan koalisi proreformasi dan sebagainya. Oposisi di parlemen dan di jalanan muncul dari bulan Maret hingga Mei 1998. Memang benar jika dibandingkan dengan Thailand dan Korea Selatan, Indonesia adalah yang paling parah secara ekonomi dan politik. Pergantian kepemimpinan politik di Thailand dari Chaovalit ke Chuan Leekpai (kebetulan penulis artikel ini berada di Bangkok waktu itu) berlangsung dengan relatif aman dan stabil, dan ini juga terjadi di Korea Selatan. Bagi Indonesia, yang makin memperparah adalah bahwa krisis ekonomi ini juga menghantam fondasi oligarki yang ada dan akibatnya ia juga memperdalam pertarungan, pergumulan dan konflik di antara mereka sendiri dan dengan elite-elite politik yang beroposisi lainnya.
Munculnya BJ Habibie sebagai pengganti Soeharto pada bulan Mei 1998 turut memperluas ruang pertarungan di antara berbagai kelompok, baik yang proreformasi dan pro-Soeharto maupun pro-Habibie. Semua pertarungan ini bermuara pada makin rontoknya basis-basis kekuatan oligarki yang dibangun oleh Soeharto selama ini. Pertarungan ini bahkan makin menguat sejak Soeharto tumbang, karena sejak itu pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi strategis menjadi sasaran perebutan dari berbagai aktor politik yang berkuasa. Kekuatan oligarki pun belum sepenuhnya rontok. Mereka berusaha keras mempertahankan dominasinya di bidang ekonomi. Ini terlihat dari kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengembalian utang-utang konglomerat, rekapitalisasi perbankan, dan kegagalan menyelesaikan kasus-kasus korupsi kelas kakap, termasuk kasus Soeharto sendiri. Berdasarkan kenyataan tersebut, saya yakin bahwa kekuasaan oligarki sesungguhnya berhasil "mengendalikan" pemerintah dengan membuat pemerintah gagal menyelesaikan utang piutang mereka secara adil dan tuntas. Menurut perspektif ini, kalangan oligarki sebenarnya juga ingin "bermain" dengan sistem politik yang baru. Hasil pemilu tahun 1999, di mana lima partai (PDI-P, Golkar, PPP, PKB, dan PAN) memboyong sebagian besar suara, telah melahirkan peta politik baru. Oleh karena itu, mereka pun harus beradaptasi dengan perubahan ini.
saya juga yakin bahwa "kebiasaan lama tidak pernah pupus", yaitu bahwa aktor-aktor politik pasca-Pemilu 1999 pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Soeharto dan oligarkinya di zaman Orba. Kini, aktor-aktor politik baru menjadikan negara sebagai sasaran penjarahan atau sapi perah. Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi menjadi rebutan di antara mereka. Bagi-bagi kekuasaan adalah menu politik mereka. Dalam suasana seperti ini, kekuatan oligarki pun ikut bermain, termasuk membangun koalisi dan aliansi dengan kelompok pro reformasi. Akhirnya kekuatan oligarki sebenarnya tidak hilang atau rontok, mereka masih bertahan hidup dengan cara beradaptasi dengan kenyataan politik dan ekonomi yang berbeda dengan sebelumnya.
Bagaimana program-program yang diluncurkan lembaga multilateral dengan gagasan neo-liberalisme mengubah struktur politik dan ekonomi di Indonesia? Bagaimana masa depan oligarki di Indonesia di era globalisasi? Kami berpendapat bahwa program-program tersebut gagal membangun sistem kapitalisme pasar yang efisien dan negara yang tertib hukum seperti yang diidealkan oleh kalangan neo-liberal dan proreformis di dalam negeri. Sebaliknya, sistem kapitalisme pasar yang "liar" muncul dengan mata uang utama "oportunisme politik". Dalam kerangka berpikir seperti ini, tentu saja oligarki akan bertahan dan bahkan mungkin makin canggih.
Namun, perlu juga digarisbawahi di sini bahwa sebenarnya ekonomi-politik globalisasi punya dimensi positif dan negatif: memberi peluang bagi mereka yang siap dan juga membuka kehancuran bagi mereka yang tidak siap. Dimensi-dimensi tersebut tampaknya tidak akan berlaku jika struktur ekonomi dan politik di tingkat global timpang, yaitu lebih menguntungkan negara-negara industrialis besar. Karena itu, struktur global yang timpang ini juga mengganjal dan memengaruhi perubahan total dalam struktur politik dan ekonomi di Indonesia

Tidak ada komentar: