Sabtu, 18 April 2009

Hak Sipil Kebebasan Beragama : Intervensi Dan Diskrimasi Negara Tentang HAK Kebebasan Beragama

Latar Belakang
Topik kebebasan dan hak azasi manusia adalah topik yang universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius. Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Ketika humanisme memaknai kebebasan beragama standar kebebasannya tidak merujuk kepada agama sebagai sebuah institusi dan ketika agama memaknai kebebasan ia menggunakan acuan internal agama masing-masing dan selalunya tidak diterima oleh prinsip humanisme. Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama .
Indonesia perlu mempertanyakan kembali akan keberadaannya dalam keanggotaan Dewan Pengawas HAM yang dibentuk oleh PBB tempo hari. Mengapa perlu dipertanyakan? Dalam kenyataannya sekarang ada beberapa hak kebebasan sipil yang dinafikan baik oleh negara maupun masyarakatnya sendiri. Ambil contoh kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan (memeluk kepercayaan). Makalah ini mencoba memaparkan sebuah kondisi Dilema yang terjadi antara Implementasi Hak Sipil khususnya kebebasan beragama yang berbenturan dengan peran negara (pemerintah) yang membatasi akses ruang gerak masyarakat untuk memilih agama dan kepercayaanya. Konsep Demokrasi tidak terjadi karena ada peran negara yang ikut campur terhadap kehidupan individu untuk memeluk suatu agama dan kepercayaan tertentu.Hal tersebut nantinya akan menciptakan proses Diskriminasi terhadap pemeluk Agama tertentu didalam mengakses kebutuhan hidupnya, baik sesama masyarakat maupun terhadap pemerintah.
Diskriminasi Kebebasan Beragama Di Indonesia
Diskriminasi terhadap sebagian umat beragama dan pemeluk keyakinan diluar enam agama yang diakui negara terus berlanjut.Para penganut keyakinan diluar enam agama tersebut misalnya Yahudi, Sikh, Bahai, dan agama-agama lokal penganut kepercayaan seperti Dayak Kaharingan dan Sapta Dharma masih menerima perlakuan yang tidak semestinya dalam relasinya dengan negara ataupun dengan masyarakat . Negara sampai saat ini belum mengakui keberadaan ‘umat’ selain agama yang diakui oleh pemerintah. Ini dibuktikan dengan buruknya pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada mereka seperti dalam pengurusan KTP, akta kelahiran, surat perkawinan, dan lain-lain. Dalam pengurusan KTP seorang penganut kepercayaan diharuskan memilih salah satu dari keenam agama yang diakui oleh pemerintah. Sebenarnya agama lokal tersebut telah ada sebelum terbentuknya republik dengan institusionalisasi agama di dalamnya. Amat menggelikan dan ironis bila pengakuan terhadap enam agama tersebut didasarkan pada kuantitas semata. Lantas bagaimana dengan umat lainnya yang meskipun kecil namun tetap adalah warga negara Indonesia Dalam konteks relasi antara masyarakat agama yang nota-bene sebagai warga negara dengan negara, secara normatif negara wajib untuk memberikan pelayanan yang maksimal dan tidak membeda-bedakan.
Secara resmi di Indonesia tidak ada undang-undang atau peraturan yang mendiskriminir kelompok minoritas agama, namun dalam praktek keadaannya sangat berlainan. Kini pegawai dan pejabat negara yang beragama Kristen, baik di pemerintahan maupun di birokrasi, makin menghadapi kesulitan untuk naik pangkat. Makin sering orang yang beragama Kristen hanya menduduki tempat yang tidak penting, sedangkan yang beragama Islam mengambil posisi pimpinan. Satu diskriminasi berat yang banyak dikeluhkan oleh umat Kristen di banyak daerah dengan penduduk mayoritas Islam atau Hindu di Bali, adalah dipersukarnya proses permohonan izin untuk membangun gereja atau gedung paroki. Aparat pemerintah selalu merujuk pada SKB Mendagri dan Menag dari tahun 1969, yang mengatakan bahwa IMB untuk gereja hanya dapat diberikan, apabila 40 kepala keluarga di lingkungan di sekitar lokasi memberikan persetujuan secara tertulis. Bagi kelompok minoritas Kristen keadaanya amat sulit untuk memperoleh persetujuan tersebut dari pihak Muslim. Selain itu di beberapa propinsi pihak Pemda setempat secara de facto malah lebih keras menjalankan SKB tersebut. Perlakuan ini meningkat hingga kesewenang-wenangan dan tentu saja merupakan tindakan melawan UUD yang menjamin hak semua warganegara Indonesia untuk menjalankan ibadat sesuai agamanya masing-masing. Jelas bahwa hak konstitutionil tersebut juga dilanggar, apabila aparat pemerintah melarang umat Kristen untuk membangun kembali gereja yang sebelumnya telah dibangun dengan syah, tetapi kemudian dirusak oleh massa.
Pelanggaran yang sama dilakukan seandainya umat Kristen dilarang untuk menjalankan kebaktian di rumah-rumah pribadi. Dilain pihak bantuan dari negara diberikan dengan mudah untuk membangun banyak mesjid. Sekolah-sekolah Kristen di Indonesia, karena mutu dan disiplinnya, banyak diminati juga oleh murid-murid dari agama lain, termasuk agama Islam. Para orangtua sebelum mendaftarkan anaknya ke sekolah Kristen membuat pernyataan atas persetujuannya, bahwa anak-anaknya boleh mengikuti segala pelajaran termasuk agama Kristen di sekolah-sekolah tersebut. Namun ada keputusan menteri pendidikan dan menteri agama yang menetapkan bahwa setiap murid, juga di sekolah-sekolah swasta, harus mengikuti pelajaran agama yang dianutnya. Dengan keputusan menteri tersebut pihak pengurus sekolah Kristen merasa, bahwa kebebasannya dalam memberikan pelajaran amat dibatasi, karena mereka diwajibkan memberikan pelajaran agama Islam dan dengan demikian sekolah mereka kehilangan ciri ke-Kristenan-nya. Pihak Depdagri juga mengeluarkan peraturan, yang untuk sementara hanya berlaku untuk kota madya Yogyakarta, yang mengatakan bahwa ijasah akhir sekolah hanya akan diakui, apabila murid lulus ujian agama, dalam hal ini agama yang dianut oleh murid yang bersangkutan. Dengan demikian, bagi murid yang bukan beragama Kristen semakin mustahil untuk memasuki sekolah swasta Kristen, walaupun hal tersebut sebenarnya dikehendaki orangtua murid. Juga perlu disebutkan tindakan-tindakan diskriminatif yang dialami oleh kelompok kelompok minoritas agama yang ‘tidak diakui’ dan terutama kelompok yang tidak beragama, apabila mereka membutuhkan KTP. Dalam KTP hanya agama yang diakui saja yang dapat ditulis. Kesulitan yang sama juga dialami oleh kelompok ini apabila mengurus dokumen perkawinan atau kalau mereka ingin menjadi pegawai negeri. Yang bersangkutan tidak dapat kawin secara resmi dan hal ini memaksa calon pengantin untuk masuk salah satu agama ‘yang diakui’, demi memenuhi persyaratan formil. Tentunya bagi kedua belah pihak hal ini sangat tidak memuaskan, karena melanggar kebebasan menganut agama menurut keyakinan masing-masing
Peran dan fungsi dasar pemerintah dalam memberikan pelayanan publik bagi warga negaranya antara lain yang pertama ialah regulasi dan fasilitasi. Pemerintah wajib untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya warga negara dan berbagai faktor yang memungkinkan terwujudnya seluruh kepentingan dan tujuan publik yang hendak dicapai. Fungsi dan peran regulasi berguna untuk memastikan adanya distribusi dan redistribusi seluruh barang publik sehingga terjangkau bagi seluruh warga negara. Kedua, adalah pembangunan dan pemberdayaan. Pemerintah wajib untuk melakukan pembangunan dan pemberdayaan terutama berkaitan dengan sebagian warga negara yang selama ini tidak bisa menikmati pelayanan publik secara baik seperti rakyat miskin, kaum minoritas, dan lain-lain. Ketiga, memberikan pelayanan publik dengan tanpa diskriminasi terhadap siapa pun dan apa pun yang menjadi kebutuhan dan yang dijanjikan kepada masyarakat.
Di dalam konstitusi negara kita sesungguhnya telah mengatur jaminan kemerdekaan beragama sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dari pasal-pasal tersebut tersurat bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadah berdasarkan agama dan kepercayaannya tersebut serta berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya . Hak atas keyakinan, beragama, dan beribadat tersebut juga diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM serta masuk pula dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik tahun 1966 dimana Indonesia telah meratifikasinya. Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling mendasar dan pemerintah Indonesia harus mematuhi pertanggungjawaban internasional untuk menghormati dan melindungi hak tersebut sebagai negara peserta yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Kebebasan Beragama di Era Orde Baru
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri.
Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.
Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.
Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”
Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan.
Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.
Tidak heran jika kemudian muncul lembaga-lembaga seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan sebagai induk agama.
Dalam Islam misalnya, kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka.
Dengan pola intervensi ini tak heran berbagai varian dalam kelompok-kelompok keagamaan tidak muncul ke permukaan. Yang mampu bertahan adalah yang mampu menyiasati kekuasaan Orde Baru. Sebut saja kehidupan kelompok sempalan seperti Darul Hadis Islam Jamaah yang dianggap menyimpang dari arus maenstream. Dengan mendukung partai penguasa dan merubah nama menjadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) atau LDII (Lembaga dakwah Islam Indonesia), kelompok ini mampu bertahan sampai hari ini. Ini berbeda dengan yang dialami Darul Arqam. Kelompok tersebut dinyatakan sebagai kelompok “terlarang”.
Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi melalui islamisasi atau kristenisasi.
Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama.
Otoritarianisme Negara dan Eksistensi MUI
Kebebasan beragama adalah HAM. HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang dan tidak merupakan pemberian siapa pun, termasuk negara. Akan tetapi, HAM ini belum tentu memperoleh jaminan dari negara. Apabila negara telah mengakui dan melindungi HAM dalam konstitusi, maka HAM juga berarti bebas memeluk agama. Mengenai Jamaah Ahmadiyah, respon yang diperlihatkan oleh pemerintah dalam penanganan kasus tersebut kurang bijaksana. Akanlah aneh bila kita mengkaji dari pemberian fatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Keberadaan MUI dapat dibaca sebagai salah satu organ dari korporasi besar hasil bentukan pemerintahan Orde Baru. Berarti MUI merupakan representasi negara dalam kehidupan beragama. Jadi bila MUI memberikan fatwa haram kepada Jamaah Ahmadiyah dapat dikatakan pemerintah telah menyeleweng dari landasan konstitusional negara dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti yang telah dituliskan di awal.
Jelas sekali ambil contoh dalam konstitusi kita amatlah menjunjung tinggi kemerdekaan beragama, berkeyakinan, dan beribadah. Pemerintah telah salah masuk dalam ranah yang dicampurinya. Seharusnya pemerintah hanya berhak mengintervensi dan mencampuri ketika masyarakat agama tersebut mengganggu ketertiban dan merugikan warga lainnya. Dengan demikian negara sepatutnya tak mencampuri apa yang telah menjadi urusan privasi dari warga negara sepanjang tidak merugikan kepentingan warga lainnya.
Beberapa hal yang dapat memungkinkan pembatasan terhadap kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan antara lain: Pertama, pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di hadapan publik dapat dilakukan oleh pemerintah seperti pada prosesi keagamaan, upacara kematian, dalam rangka melindungi kebebasan individu. Kedua ialah pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum. Ketiga adalah pembatasan yang diizinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit. Keempat, pembatasan dapat dilakukan pemerintah untuk binatang tertentu yang dilindungi oleh UU agar tidak dikorbankan sebagai kelengkapan ritual agama tertentu. Dan yang kelima ialah membatasi manifestasi dari agama dan kepercayaan yang dapat membahayakan hak dan kebebasan fundamental yang dimiliki warga lainnya.
Penyesuaian Konsep HAM Dan Agama di Indonesia
Di Indonesia penghormatan HAM ini dimuat dalam UUD 1945 dan UU No. 3/1999 tentang HAM. Di antara HAM itu adalah perlindungan kebebasan beragama, sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 UUD 1945 dan pasal 22 UU HAM. Hanya saja, kini masih sering muncul perdebatan tentang implementasinya, apakah kita mengikuti praktik yang ada di negara-negara Barat yang notabene sekuler dan dianggap sebagai “universal”, ataukah kita bisa mengimplementasikan dengan menyesuaikan dengan filosofi serta struktur kemasyarakatan di Indonesia yang notabene religius? Tentu saja, pelaksanaan HAM ini harus disesuaikan dengan folosofi dan budaya bangsa, selama penyesuaian ini tidak dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan suatu rezim pemerintahan, seperti pembatasan kebebasan perpendapat dan meniadakan oposisi pada masa Orde Baru. Di Negara Barat sendiri pelaksanaan HAM juga tidak selamanya sama antara satu Negara dengan Negara lain. Misalnya, di sejumlah negara atau negara bagian di Eropa aliran (Gereja) Scientologi dilarang, tetapi di Amerika Serikat aliran ini tidak dilarang. Penyesuaian konsep dan praktek HAM ini sebenarnya sudah tertuang dalam pasal 23 ayat 2 UU HAM, yakni “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektroniik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Aliran-aliran yang menyimpang atau pendapat-pendapat (penafsiran-penafsiran) yang hanya berdasarkan “semaunya sendiri” yang tidak sesuai dengan penafsiran yang standar dianggap telah melecehkan kemurinan nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama, dan umat pun merasa terganggu dengan aliran dan pendapat ini, sehingga mengakibatkan gangguan ketertiban dan kedamaian dalam sebuah masyarakat.
Kesimpulan
Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam konteks negara Indonesia yang berdasar Pancasila yang mengakui posisi penting agama, perlindungan terhadap kebebasan beragama harus dipadukan dengan perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama. Hal ini berarti bahwa kebebasan beragama memang harus dijamin, tetapi kebebasan beragama secara menyimpang (sesat) tidak dapat dibenarkan (dijamin), kecuali jika negara ini meninggalkan dasar Pancasila dan menggantinya dengan negara sekuler, yang memisahkan sepenuhnya antara agama dan negara.
Hak dan Kebebasan beragama harus dimaknai dalam konteks agama dan Negara masing-masing dan tidak dapat dimaknai secara mutlak tanpa batasan. Untuk mengatasi konflik berkepanjangan antara DUHAM (Deklrasi Universal Hak Azasi Manusia) dan agama-agama diperlukan penjelasan lebih detail oleh masing-masing agama itu tentang prinsip-prinsip kemanusiaan dan kebebasan. Disisi lain DUHAM perlu mengakomodir kekhususan Negara-negara dan institusi agama dalam menafsirkan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan. Dengan cara ini yang satu tidak mengorbankan yang lain. Sudah tentu dalam hal ini peran institusi dan otoritas agama sangat sentral. Jika terjadi konflik antara tuntutan HAM dan umat beragama, atau antar umat bergama atau antar pemeluk dalam satu agama, maka Negara berkewajiban mengatur dan mengakurkan keduanya dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga resmi agama-agama tersebut.

Tidak ada komentar: